Judul Buku : The Catholic Way, Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita
Penulis : Mgr Ignatius Suharyo
Penerbit : Kanisius, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 248 halaman
JENAZAH orang muda bernama Giorgio Frassati diterbangkan dari kota Torino, Italia, menuju Sydney, Australia. Ini terjadi pada peringatan Hari Kaum Muda Sedunia di Sydney, 2008. Giorgio Frassati lahir dari keluarga kaya namun hidupnya ia dedikasikan untuk melayani orang miskin, sakit, dan telantar. Pelayanannya kepada kaum duafa membuat ia mati dalam usia yang relatif muda, 24 tahun. Ia meninggal akibat penyakit dari orang-orang miskin yang dilayaninya. Pada saat meninggal, ribuan orang miskin datang melayat sebagai bentuk penghormatan.
Dengan menghadirkan jenazahnya di Sydney, Paus Benediktus XVI menawarkan teladan kaum muda yang telah mengalami kehadiran Tuhan dan kasih yang mengubah dan membaharui hidupnya, sehingga menumbuhkan harapan di antara orang miskin yang mengalami ketidakberdayaan (hal. 213-214).
***
Kita memimpikan suatu dunia yang bebas dari kekerasan, dunia dengan keadilan dan harapan. Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesamanya, tanda perdamaian dan persaudaraan. Demikian ajakan lagu ''The Prayer'' yang popular beberapa tahun lalu. Lagu ini pula yang menjadi memberi semangat Mgr Ignatius Suharyo, penulis buku ini, ketika menjalani tugas pelayanan di Keuskupan Agung Semarang. Sebab, kenyataan menunjukkan dunia yang berbeda.
Dalam konteks Indonesia, saat ini masyarakat sedang berjuang melawan korupsi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam situasi semacam ini, menurut Uskup Haryo (panggilan Mgr Ignatius Suharyo, Red), perutusan untuk mewartakan pengharapan menjadi jelas. Dalam bahasa lain, iman mesti terlibat dalam upaya membangun harapan, di tengah situasi gamang dan kadang hopeless. Dalam buku ini uskup mengajak agar umat tetap teguh dalam iman, berpengharapan, dan penuh kasih, baik sebagai pribadi, warga masyarakat, gereja maupun negara. Dengan begitu, kita bisa melibatkan diri untuk membangun tata dunia yang lebih baik.
Buku ini merupakan buah pemikiran, pandangan, dan ajaran iman Mgr Haryo selama menjadi gembala umat di Keuskupan Agung Semarang (KAS). Di wilayah reksa pastoralnya, ia dikenal sebagai gembala yang murah hati, lembut, terbuka, dan bijaksana. Dengan keterbukaannya dia banyak membuat kebijakan pastoral yang memberdayakan umat.
''Silahkan umat dari berbagai elemen membuat karya, dengan siapa pun yang berkehendak baik. Kalau salah ya diampuni, kalau keliru yang dikoreksi.'' Itulah wejangan Uskup Haryo di berbagai kesempatan, agar umat tidak takut bereksperimen dan berekplorasi dalam mengembangkan iman dan dialog dengan siapa saja. Maka, karena kebijaksanaannya, kelembutannya, dan ketegasannya menggembalakan umat di KAS, Uskup Haryo amat dicintai umat.
Umat KAS merasa kehilangan gembala saat Mgr Haryo meninggalkan Semarang untuk bertugas perutusan di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Namun umat juga bangga, karena gembalanya mendapat tugas terhormat di kota metropolitan yang penuh tantangan dan situasinya lebih kompleks. Buku ini juga dimaksudkan sebagai kenang-kenangan atas kepergian Uskup Haryo untuk bertugas di tempat yang baru, dengan satu sesanti, ''Mari dengan tekun bekerja terus membangun komunitas yang berpengharapan''.
Buku ini dapat menjadi bacaan atau referensi masyarakat secara luas, karena isi pokok dalam buku ini mengulas bagaimana persoalan hidup berbangsa dan bernegara. Dari tema-tema itu, Uskup Haryo selalu menyelipkan tema harapan. Dia menegaskan betapa pentingnya keutamaan pengharapan bagi umat manusia yang hidup pada zaman ini.
Buku ini mirip buku Crossing the Threshold of Hope (Melintasi Ambang Batas Pengharapan) yang terbit pada 1994. Buku tersebut mengupas berbagai persoalan aktual di dunia saat ini, di mana Paus Yohanes Paulus II sebagai nara sumber menjawab dengan tuntas dan mendalam persoalan aktual zaman ini.
Nah, buku tulisan Uskup haryo ini rupanya tak jauh berbeda dengan buku Crossing the Threshold of Hope. Hanya saja, Uskup Haryo menjawab dalam konteks persoalan Indonesia saat ini.
***
Sudah sekian tahun sejak reformasi berjalan, keadaan masyarakat, bangsa, dan negara tampaknya tidak menjadi lebih baik. Korupsi tetap merajalela, masyarakat miskin bertambah, lingkungan hidup semakin rusak dan sekian banyak masalah lain membuat hidup semakin sulit. Dalam keadaan semacam itu, buku ini hadir untuk ikut berpartisipasi menyumbangkan gagasan dan inspirasi untuk membangun komunitas yang berpengharapan. Harapan tidak sama dengan optimisme. Optimisme lebih bernuasa psikologis, sedangkan harapan bernuansa spiritual. Optimisme mudah hilang kalau ternyata perhitungan-perhitungan yang melandasi optimisme itu salah. Harapan tidak akan hilang, karena dilandasi oleh janji Tuhan sendiri. Maka, dalam dekade terakhir, Konferensi Waligereja Indonesia banyak mengeluarkan Surat Gembala atau seruan pastoral yang berkaitan soal pengharapan.
Pada 1997, ketika situasi sosial-politik-ekonomi di Indonesia tidak menentu, KWI menulis Surat Gembala ''Keprihatinan dan Harapan''. Ketika terjadi pembaharuan dan reformasi pada 1999, KWI menerbitkan Surat Gembala dengan judul ''Bangkit dan Tegak dalam Pengharapan''.
Pada 2001, ketika negara tidak menjadi lebih baik terbit lagi Surat Gembala dengan judul ''Tekun dan Bertahan dalam Pengharapan: Menata Moral Bangsa''. Berpengharapan menjadi keutaman orang beriman, terutama saat menghadapi dunia yang penuh tantangan ini.
Buku ini ditutup dengan kata-kata pengharapan yang membuat orang tidak takut akan segala rintangan: be not afraid (jangan takut). ''Karena itu, saudara-saudaraku yang terkasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab, kamu tahu bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan payahmu tidak sia-sia'' (1 Kor 15:58).
Buku ini sungguh inspiratif dan menggugah kesadaran kita untuk mau berjuang dan berpengharapan di tengah kesulitan hidup pribadi, berbangsa, dan bernegara. (*)
D. Pujiyono, Guru SMA Kolese De Britto Jogjakarta
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 20 Desember 2009
No comments:
Post a Comment