-- Ninuk Mardiana Pambudy
KECUALI tulisan besar di bagian fasad, Fadli Zon Library, bangunan di kawasan Penjernihan, Jakarta Pusat, itu tampak seperti rumah biasa bertingkat tiga dengan desain seperti layaknya rumah-rumah yang dibangun dua-tiga tahun terakhir, bersih dan minimal.
Ruang perpustakaan. (KOMPAS/YUNIADHI AGUNG)
Saya ingin membangun oase intelektual. Banyak orang Indonesia tidak suka baca. Mudah-mudahan perpustakaan ini bisa menginspirasi orang yang punya kemampuan lebih besar dari saya juga membangun pusat- pusat intelektualisme yang bisa mencerdaskan masyarakat daripada membuat ruang-ruang ko song yang hanya aktif saat pilkada,” tutur Fadli di ruang kerjanya di perpustakaan itu.
Di ruang kerja di lantai dasar itu suasana perpustakaan sudah terasa. Di satu sisi dindingnya terdapat lemari kaca dari lantai ke langit-langit, penuh berisi buku. Di dinding yang lain terdapat patung kayu karya Hendra Gunawan dan lukisan karya Le Mayeur, pelukis yang lama menetap di Bali pada tahun 1930-an.
Di situ tersimpan buku-buku tua, antara lain naskah kuno Serat Cabolek yang ditulis Yosodipuro, Lokapala, dan Wulangreh yang berwujud tulisan tangan dan disalin dari buku aslinya pada tahun 1800-an dalam huruf Jawa Kuno. ”Buku yang tertua berasal dari tahun 1747, tulisan Rumphius tentang flora Ambon,” jelas Fadli.
Perpustakaan yang mulai dibangun pada Desember 2007 dan selesai pada Oktober 2008 itu, menurut Fadli, untuk menampung koleksi buku di rumah tinggalnya di Cibubur yang jumlahnya mencapai 10.000 buah. Sayang beberapa bulan lalu rumah di Cibubur terbakar dalam suasana kampanye pemilu tanpa sebab jelas. ”Semua buku habis. Untung sebagian sudah saya pindahkan kemari,” tutur Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Fadli mengatakan, konsep perpustakaan ini adalah menggabungkan perpustakaan yang menyimpan buku-buku, galeri, rumah tinggal, juga tempat berkumpul dan berdiskusi, pokoknya multifungsi.
Keinginan memiliki tempat seperti ini di lokasi yang strategis adalah cita-cita lama suami dari Grace dan ayah dari Safa dan Zara yang sudah rajin mengumpulkan buku, koran, majalah, dan berbagai naskah sejak remaja ini.
Di atas tanah seluas 240 meter persegi itu, Fadli dengan bantuan teman-temannya, arsitek dan insinyur sipil, merancang bersama perpustakaan itu. ”Teman-teman saya, alumnus Universitas Indonesia juga, mengakomodasi keinginan saya tentang bangunan perpustakaan yang multifungsi,” tambah Fadli.
Buku, patung, lukisan, fosil
Begitu masuk ke dalam bangunan berlantai tiga itu, patung kayu, fosil, dan lukisan menyergap mata. Setelah meja penerima tamu, berikutnya adalah ruang tamu yang terdiri dari seperangkat sofa serta satu meja panjang dan di salah satu ujungnya terdapat televisi layar datar ukuran besar.
Di sofa dan di meja panjang itu hampir sepanjang waktu selalu ada orang, tamu dan teman pemilik perpustakaan. Di ruang berikut ada kolam kecil tempat dipeliharanya ikan koi dan ikan nila, dapur, serta ruang shalat. Di atas kolam adalah ruang terbuka yang memungkinkan cahaya matahari masuk langsung dan memberi penerangan alami.
Di lantai dua ruangan dibagi untuk menyimpan buku-buku serta 700-an keris dan tombak, fosil, serta patung dari berbagai daerah Indonesia. Di lantai ini juga terdapat dua kamar tidur. ”Saya sempat tidur sementara di sini waktu rumah saya terbakar, sebelum kami menyewa apartemen. Istri dan dua anak saya menumpang di rumah teman,” kata Fadli.
Kamar tidur satu lagi untuk tamu yang butuh tempat menginap. Rabu lalu seorang perupa dari Sumatera Barat menginap di sana setelah mengikuti kegiatan pengumpulan dana bagi korban gempa bumi Sumatera Barat.
Lantai teratas, lantai tiga, menjadi ruang diskusi yang bisa memuat lebih dari 60 orang. Di sini disimpan buku-buku dengan topik ekonomi, segala sesuatu tentang Rusia—Fadli adalah lulusan Sastra Rusia Universitas Indonesia dan melanjutkan pendidikan S-2 di London School of Economics and Political Science di Inggris—biografi dan buku sastra.
Di sini juga disimpan koleksi sekitar 150 piringan hitam dan sekitar 700 bungkus rokok berbagai merek produksi industri kecil dan menengah, kebanyakan diproduksi di Jawa.
Di ketiga lantai itu pendingin ruang selalu hidup, terutama untuk mengatur kelembaban udara karena sekitar 25.000 buku, majalah, dan naskah tersebut sebagian besar buku tua. Penerangan ruang sebagian besar berasal dari cahaya matahari yang masuk ke ruangan melalui jendela-jendela berukuran besar. Tentu saja buku-buku dan benda-benda seni tersebut tidak diletakkan di dekat jendela karena cahaya matahari dapat mengubah warna dan melapukkan benda.
Rumah cerdas
Dengan perpustakaan ini Fadli mengatakan ingin membangun rumah cerdas yang bisa melahirkan pemikiran baru. ”Semacam rendezvous intelektual dalam pemikiran kebudayaan dan bagaimana memajukan republik ini,” kata Fadli.
Di perpustakaan ini sudah berlangsung dua diskusi, yaitu mengenai penanganan pascagempa Sumatera Barat 30 September dan diskusi musik bersama Idris Sardi. Semua kegiatan itu masih dibiayai dari dana pribadi direktur produksi sebuah perusahaan perkebunan sawit itu.
Saat ini proses pengatalogan oleh enam pustakawan masih berlangsung. Jika semua telah selesai, judul-judul buku itu akan diunggah ke internet dan dihubungkan dengan perpustakaan di luar negeri.
Atas nasihat pamannya, penyair Taufik Ismail, perpustakaan ini dibuka untuk umum terbatas. ”Buku, majalah, koran, dan naskah boleh dibaca di tempat untuk yang ingin menulis buku dan sedang penelitian untuk sarjana, master, atau doktor. Tetapi, harus dengan perjanjian,” kata Fadli.
Sumber: Kompas, Minggu, 13 Desember 2009
No comments:
Post a Comment