-- Yurnaldi*
ENTAH sampai kapan ada titik temu untuk menyatukan visi kebudayaan bangsa ini. Perdebatan dan gugatan seperti tak pernah berhenti. Namun, sejarah mencatat, pertengkaran seputar kebudayaan mengawali pembentukan nasion Indonesia. Ini bukan kisah balik untuk pertengkaran itu, yang diawali sejak puluhan tahun lalu.
Kita cermati saja kebudayaan sebagaimana yang kita tangkap dalam kondisi kekinian. Jangan ungkit-ungkit lagi harapan-harapan yang disampaikan para seniman, cendekiawan, dan budayawan kepada calon presiden ketika kampanye, yang kemudian dialas dengan kalimat, ”…akan dipertimbangkan” oleh calon presiden.
Atau jangan sebut-sebut lagi rekomendasi kongres kebudayaan terakhir di Bogor beberapa waktu lalu, yang mengusulkan kebudayaan menjadi departemen sendiri. Usul serupa juga dikemukakan dalam kongres-kongres sebelumnya. Namun, gagasan tersebut tetap belum diterima oleh presiden.
Dalam Kabinet Indonesia Bersatu Kedua, walau masalah kebudayaan tetap diurus oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata—dan oleh orang yang sama (baca: Jero Wacik)—induk semangnya sudah berganti. Tidak lagi di bawah koordinasi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, tetapi di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian.
Sepertinya masalah kebudayaan mengerucut pada dimensi ekonomi. Kondisi seperti ini kemudian melahirkan pesimisme di kalangan pemikiran kebudayaan. Kebudayaan yang sejatinya adalah pengembangan segenap potensi manusia terpaku pada satu potensi. Potensi kerja seakan-akan dikembangkan habis-habisan guna menggenjot laba. Semua nilai pun direduksi ke dalam bilangan harga.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik ketika ditanya mengenai visi dan misi dengan induk semang baru tersebut, pada awal tugasnya, belum bisa menjelaskan secara tegas. Boleh saja, karena itu pula, dengan caranya sendiri, para seniman, cendekiawan, dan budayawan menggelar Temu Akbar Mufakat Kebudayaan Indonesia, 28-29 Oktober 2009 di Jakarta.
Mufakat kebudayaan
Mufakat kebudayaan, menurut budayawan Radhar Panca Dahana, adalah medium tempat seniman, cendekiawan, dan budayawan berkumpul, mencoba menjalankan fungsi dan peran strategis serta historisnya dalam, antara lain, menemukan beberapa kesimpulan yang penuh visi terhadap berbagai persoalan yang melanda Indonesia.
Dari puluhan poin-poin utama hasil mufakat kebudayaan, salah satu poin yang menarik adalah pernyataan bahwa kebudayaan kerap disalahartikan oleh negara. Mestinya kebudayaan harus menjadi sebuah gerakan pembebasan. Kebudayaan harus mempunyai ideologi, juga harus diatur dalam kebijakan.
Kebudayaan mensyaratkan adanya kebebasan demokratis agar terjadi internalisasi nilai oleh publik, bukan hanya dimaknai oleh kepentingan elite saja. Kebudayaan harus diposisikan sebagai sistem nilai yang mendasari kebijakan. Dan kebijakan itu harus mempertimbangkan karakter masyarakat Indonesia.
Mufakat kebudayaan merekomendasikan, strategi budaya harus melakukan beberapa langkah fundamental: (a) menginventarisasi muatan-muatan kebudayaan lokal, (b) mengidentifikasi kemampuan kultural apa yang membuat secara kultural kita menjadi lebih kokoh dan kaya, (c) mengabstraksi nilai-nilai fundamental apa yang seharusnya menjadi pegangan dalam interaksi dan dialog antarbudaya, dan (d) menolak intervensi birokratis yang justru memperlemah proses penguatan dan pengutuhan yang sedang ditempuh bangsa kita secara kultural.
Kepedulian
Mencermati sejumlah kasus besar yang terjadi sepanjang tahun 2009, seperti kasus Proyek Pusat Informasi Majapahit di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, dan kasus munculnya tari pendet dari Bali dalam iklan pariwisata Malaysia yang telah menimbulkan berbagai reaksi di Tanah Air, seperti hendak menegaskan betapa kepedulian pemerintah terhadap budaya masih minim.
Terlepas dari persoalan mematenkan budaya lokal, kepedulian pemerintah baru sebatas mengejar sertifikat sebagai warisan budaya dunia, seperti untuk wayang, keris, dan batik. Kini angklung dan juga kesenian Mak Yong juga sedang menjalani tahapan untuk mendapatkan pengakuan.
Yang menjadi pertanyaan, setelah sertifikat itu didapatkan, mau dibawa ke mana kekayaan khazanah budaya bangsa itu? Lalu bagaimana dengan budaya/seni tradisi di banyak daerah yang kini keberadaannya mencemaskan dan terancam punah? Terlalu panjang diurai mengapa kondisi seperti itu terjadi. Keberpihakan pemerintah terhadap kesenian tradisi/budaya lokal masih setengah hati. Terbukti dengan relatif kecilnya anggaran untuk pembinaan seni tradisi tersebut. Tragis memang, nasib seni tradisi dan seniman.
Belajar dari asing
Yang teramati selama ini, pihak asing begitu peduli dengan khazanah budaya Indonesia. Dan jangan heran, di beberapa kesenian tradisi, orang kita belajar dengan pihak asing.
Salah satu hasil kebudayaan kita yang sudah lama menjadi perhatian orang asing adalah naskah. Naskah-naskah dari Kepulauan Nusantara kini tersimpan di beberapa perpustakaan di sejumlah negara di dunia, seperti Belanda, Inggris, Perancis, Portugal, Jerman, Denmark, Australia, dan Rusia. Naskah-naskah Nusantara itu dijaga dengan baik di luar negeri. Mereka sadar sekali, the knowledge is power.
Banyak orang yang melakukan studi mengenai budaya sejarah Indonesia harus ke Leiden, misalnya, karena begitu lengkapnya koleksi literatur (tulisan ataupun visual) mengenai Indonesia.
Sekarang terdapat puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu lagi, naskah-naskah yang masih tersebar di masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Sementara itu, minat bangsa asing terhadap naskah-naskah Indonesia tetap tinggi. Di Indonesia sendiri justru terjadi hal sebaliknya, jangankan menambah koleksi naskah (atau mereproduksinya dari masyarakat), naskah-naskah yang tersimpan di perpustakaan saja sering hilang, seperti yang terjadi di Solo. Ironis memang!
Kalau memang dana pemerintah sangat terbatas dan karena itu perhatian terhadap kebudayaan setengah hati, seharusnya dicarikan solusi, untuk pembinaan, pengembangan, dan pelestarian kebudayaan Indonesia.
Pemerintah juga sebaiknya menggugah visi kebangsaan dan kebudayaan orang-orang kaya di negeri ini untuk menyisihkan kekayaannya guna pelestarian dan pemeliharaan kebudayaan tradisional.
Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Desember 2009
No comments:
Post a Comment