Saturday, December 05, 2009

Aksi Penolakan UN Mulai Merebak

[BANDUNG] Aksi unjuk rasa yang menolak pelaksanaan ujian nasional (UN) pascaputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi pemerintah soal pelaksanaan UN, mulai merebak di beberapa daerah. Mereka meminta agar pemerintah khususnya Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh mematuhi putusan MA tersebut, termasuk melaksanakan putusan lainnya, yakni meningkatkan pemerataan pendidikan nasional.

Ratusan guru dan siswa yang tergabung dalam Gerakan Guru dan Siswa Bersatu berunjuk rasa menolak pemberlakukan Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan untuk pelajar kelas III SMU di depan gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Jumat (4/12). (SP/Adi Marsiela)

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) Dedi Suwandi Gumelar kepada SP di Jakarta, Sabtu (5/12), mengatakan, siswa dan orangtua siswa melakukan aksi unjuk rasa karena mereka telah mendengar dan membaca hasil keputusan MA soal UN.

"Rakyat dan siswa sekarang menuntut keadilan pendidikan. Mendiknas M Nuh jangan ngotot melawan putusan MA," kata Dedi.

Ratusan siswa SMA dan guru yang tergabung dalam Gerakan Siswa dan Guru Bersatu, berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jumat (4/12). Mereka mendesak pemerintah untuk tidak menjadikan UN sebagai penentu kelulusan siswa seiring dengan ditolaknya kasasi terkait pelaksanaan UN oleh MA.

Mereka turun ke jalan dengan membawa berbagai spanduk dan selebaran yang isinya penolakan terhadap UN. "Kalau pemerintah tetap melaksanakan UN sebagai penentu kelulusan, mereka berarti melanggar keputusan MA," kata Diana, siswa kelas III SMA BPI I yang ikut berunjuk rasa.

Seperti diketahui, Mahkamah Agung telah mengeluarkan keputusan yang memerintahkan kepada pemerintah untuk terlebih dahulu meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta akses informasi yang lengkap ke seluruh daerah, sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN.

Koordinator Gerakan Siswa dan Guru Bersatu, Iwan Hermawan mengaku tidak menolak pelaksanaan ujian secara nasional dari pemerintah. Tetapi, pelaksanaan ujian itu baru bisa digelar jika kualitas sekolah dan sarana pendidikan di Indonesia sudah merata. "Kalau sekarang masih belum merata," katanya.

Iwan memandang pelaksanaan UN mengakibatkan kecurangan lebih banyak terjadi. Karena sekolah, guru, dan siswa hanya mementingkan hasil ujian daripada proses belajar. Selain itu, sambung dia, pelaksanaan UN telah melanggar hak anak dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Siswa SMA Negeri 9 Kota Bandung, Evant G Rady mengungkapkan dirinya akan terus mengajak rekan-rekannya berunjuk rasa apabila pemerintah tetap memutuskan UN sebagai standar kelulusan. "Kalau pemerintah ngotot, kita juga tetap ngotot," katanya.

DPRD Dukung

Ketua Komisi E DPRD Jawa Barat Syarif Bastaman yang menerima para pengunjuk rasa mengatakan, pihaknya sepakat dengan guru dan siswa. Sebagai bentuk dukungan terhadap aspirasi para guru dan siswa ini, DPRD Jawa Barat mengirimkan surat penolakan UN kepada Depdiknas dan DPR.

Aksi serupa juga digelar sejumlah siswa sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) sederajat di Bengkulu menolak UN dilaksanakan. Pasalnya, pelaksanaan UN selama ini merugikan siswa karena jika salah satu mata pelajaran yang diujikan tidak mencapai nilai minimal dinyatakan tidak lulus.

"Kebijakan pemerintah seperti ini sangat merugikan para siswa. Kami menolak UN kembali digelar, karena merugikan pelajar," kata Santi, salah seorang siswa SMA di Kota Bengkulu, Jumat (4/11).

Sementara itu, pengamat pendidikan asal Bengkulu, Prof Sudarwan Danim mengatakan, pihaknya tidak sependapat siswa menolak UN digelar di daerah ini. Alasannya, sepanjang siswa belajar dengan baik tidak perlu takut menghadapi UN, karena semua soal pasti bisa dijawab.

Desakan agar pemerintah mematuhi putusan MA juga datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dalam siaran persnya KPAI mengatakan, keputusan MA yang mengabulkan gugatan kelompok masyarakat itu merupakan perintah yang sangat jelas bahwa pelaksanaan UN telah kehilangan pijakan hukum. [M-17/153/143/155]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 5 Desember 2009

No comments: