Wednesday, December 16, 2009

Mendiknas: Hentikan Kontroversi UN

[BANDUNG] Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menegaskan, pihaknya tidak akan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA), yang menolak permohonan kasasi yang diajukan pemerintah, terkait pelaksanaan ujian nasional (UN). Menteri juga meminta semua pihak menghentikan kontroversi soal pelaksanaan UN.

"Jadi, PK itu sudah tidak relevan lagi. Kenapa sudah tidak relevan, karena putusan pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi itu, tidak memerintahkan untuk menghentikan UN. Sehingga persyaratan legalitas dari keputusan PN/PT itu saja yang dijalankan," katanya kepada wartawan seusai menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman antara Depdiknas dan perguruan tinggi negeri (PTN) seluruh Indonesia, tentang pemberian program beasiswa bagi calon mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu di Bandung, Rabu (16/12).

Dia menjelaskan, perintah pengadilan agar pemerintah meningkatkan kualitas guru, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, serta akses informasi yang luas di seluruh Indonesia, merupakan kalimat biasa saja. Artinya, diperintah ataupun tidak diperintah, itu memang sudah semestinya dijalankan dan menjadi tugas pemerintah.

Dia menjelaskan, kenaikan anggaran pendidikan 2008 sebesar Rp 60 triliun atau tiga kali lipat dibandingkan pada tahun 2006 itu, untuk menjawab apa yang diperintahkan pengadilan itu.

Dia menyatakan, langkah Depdiknas untuk tetap menjalankan UN berdasarkan banyak pertimbangan. Salah satunya, ahli-ahli hukum independen dari berbagai perguruan tinggi yang dimintai pertimbangan, dan juga melakukan eksaminasi atas putusan di tingkat pertama dan banding, termasuk melakukan pengkajian apabila putusan MA menyatakan UN harus dihentikan.

"Jika putusan PN, PT, dan MA memerintahkan pemerintah harus menghentikan UN, tentunya pemerintah akan melakukan evaluasi pelaksanaan UN. Tapi, dari kajian ahli hukum independen menyatakan, tidak ada masalah dan putusan pengadilan itu tidak melarang UN, sehingga UN bisa jalan terus dan tidak melanggar aturan," paparnya.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal menambahkan, jika melihat dari aspek hukum, yang diperdebatkan antara pihak yang pro-UN dan yang tidak pro-UN adalah pasal mengenai evaluasi pendidikan dilakukan pendidik, dan pemerintah yang berkewajiban untuk memastikan standar internasional yang dicapai di tingkat siswa, pendidik, satuan pendidikan, dan sistim pendidikan.

Sementara itu, Koordinator Education Forum Suparman, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan polemik dan perdebatan soal UN. Caranya, kata dia, dengan merevisi PP Standar Nasional Pendidikan Nomor 19/2005. "Presiden SBY perlu turun tangan dalam persoalan UN. SBY diharapkan bisa merevisi PP mengenai Standar Nasional Pendidikan (PP SNP) Nomor 19/ 2005, terutama menghapus UN sebagai syarat kelulusan seperti tertera di Pasal 72," ujarnya.

Siswi Hamil Ikut

Sementara itu, dari Yogyakarta dilaporkan, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Djemari Mardapi mengatakan, siswi hamil diperbolehkan ikut UN. Menurutnya, kebijakan tersebut dimaksudkan untuk memberikan hak belajar bagi siswa karena selama ini banyak siswi hamil yang tidak mengikuti UN, karena takut dilarang oleh sekolah.

"Peraturan untuk menegakkan akhlak siswa harus tegas. Tetapi, di satu sisi juga harus mempertimbangkan hak siswa," katanya pada Rabu (16/12) siang. [M-17/152]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 17 Desember 2009

No comments: