Sunday, December 27, 2009

[Buku] Keberagamaan yang Tunabudaya

Judul buku: Gerakan Wahabi di Indonesia
Penulis: Bunga Rampai, Editor: Yudian Wahyudi
Penerbit: Nawesea Press-Jogjakarta
Cetakan: I, Juni 2009
Tebal: vi + 391 halaman

ALIRAN keberagamaan Islam puritan Wahabiyyah/Wahabisme dicetuskan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab (1115-1201 H/1703-1787 M), yang lahir di Uyainah, Najed, di jazirah Arab. Kata Wahabi sesungguhnya pada awalnya diberikan oleh lawan-lawannya, namun kemudian ia menjadi label yang umum digunakan untuk menandai kekhasan identitas para pengikut ajarannya. Mereka mengklaim sebagai muslim yang berkiblat pada ajaran Islam yang pure, murni.

Mereka sering juga menamakan diri sebagai muwahiddun, yang berarti pendukung ajaran yang memurnikan keesaan Allah (tauhid). Tetapi, mereka juga menyatakan bahwa mereka bukanlah sebuah mazhab atau kelompok aliran Islam baru, tetapi hanya mengikuti seruan (dakwah) untuk mengimplementasikan ajaran Islam yang (paling) benar.

Dengan dilengkapi transkrip wawancara dengan kalangan tokoh-tokoh gerakan Wahabis, buku ini memperlihatkan secara tajam analisis fenomenologis sekaligus telaah genealogi sejarah tentang bagaimana gerakan Wahabi termanifestasi ke dalam berbagai bentuk institusi pergerakan (harakah) yang bermain di wilayah publik umum (FKAWJ, MTA, MMI, jamaah tablig, laskar jihad, gerakan anti-Maulidan, dan sebagainya) sampai pelebarannya di dalam institusi-institusi pendidikan, dari pesantren-pesantren di tanah Jawa sampai universitas-universitas tertentu di berbagai belahan Indonesia.

Dengan pisau psikologi analitik, buku ini mengajak kita untuk menemukan sebentuk corak ketidaksadaran kolektif kaum Wahabis yang tersembunyi di balik ideologi mereka yang kaku dan naif, yakni "rasa kalah" (sense of loseness) terhadap modernisme dan peradaban Barat yang mereka lihat sebagai biang keladi tenggelamnya peradaban Islam. Modernisme telah membawakan perbenturan nilai yang teramat keras dalam segala level kehidupan, dan efek psikologisnya pun bisa sangat besar. Kalau merasa kalah, biasanya manusia akan merasa frustrasi. Dan setelah itu akan muncul agresivitas yang menjadi urat akar paham oposisionalisme dalam gerakan mereka.

Bila dilacak dari akar historisnya di Indonesia, pemikirian puritanisme Wahabiyyah mulai menjamur sejak akhir abad ke-18. Yang kali pertama terpengaruhi adalah kaum Paderi di Sumatera. Ini berawal pada 1803, saat trio haji yang terdiri atas Hadji Miskin dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Hadji Sumanik dari Luhak Tanah Datar, dan Hadji Piabang dari Luhak 50 Koto berangkat ke tanah suci Makkah dan mengalami pencerapan diskursif dengan karakter kota Makkah yang saat itu mengalami perubahan politik yang amat hebat karena serangan kaum Wahabi. Kemungkinan besar saat itu Wahabisme tengah menguasai Makkah dengan telak. Dan karenanya tiga haji tersebut terpukau dengan ajaran-ajarannya yang tampak menjanjikan kemurnian absolut dalam beragama Islam.

Buya Hamka berkata, "Kaum Wahabi mempunyai ajaran yang amat keras agar umat Islam yang saat itu dipandangnya sudah terlalu jauh melenceng dari garis yang lurus kembali ke jalan Allah yang benar sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah." Maka tak heran, saat pulang kembali ke tanah Minang, tiga haji tersebut gerah melihat perilaku masyarakat dengan adat-adat yang menyimpang, seperti mengadu ayam, minum tuak, dan berjudi.

Maka, sejak itu, dengan bantuan delapan pembesar Minangkabau yang terkenal dengan julukan "Harimau Nan Salapan" (antara lain: Tuangku Nan Renceh, Tuangku Lubut Aur, Tuangku Berapi, Tuangku Padang Laweh, Tuangku Padang Luar, Tuangku Galong, dan Tuangku Kapau), mereka bertekad menegakkan pemurnian ajaran Islam di tanah Minang. Aksi kekerasan mereka dalam melarang kemaksiatan (nahi munkar) kemudian berujung pada perang saudara yang legendaris antara kaum Paderi dan kaum adat. Kekerasan semacam itulah yang juga sekarang bisa kita lihat dari perilaku sosial kaum Wahabis masa kini.

Memang, bila dilihat secara saksama, pola penetrasi Wahabisme terhadap kebudayaan kita (baca: pluralitas budaya Indonesia) selalu bercorak sama dari dulu hingga kini. Yakni, mereka datang sebagai agen sosial yang memecah tubuh dan jiwa kebudayaan setempat yang mereka pandang tidak sehaluan dengan ajaran Islam.

Gerakan Wahabisme selalu antibudaya. Sebab, mereka memandang bahwa kebudayaan lokal adalah sesuatu yang ada di luar agama -atau dalam istilah mereka TBC (tahayul, bid'ah, chufarat)- sehingga keberadaannya harus diperangi. Kebencian mereka terhadap budaya lokal dan anasir sintetis dan sinkretis ritual agama (seperti maulidan, tahlilan, serta ziarah kubur) terepresentasikan dari sikap seorang pemuka Wahabi di Solo yang pernah berkata, "Untuk masuk neraka, kita tidak perlu melakukan maksiat, melainkan cukup dengan melakukan tahlilan dan ziarah kubur." (hlm 258). Maka, beramai-ramai mereka lalu mengadopsi perilaku-perilaku kultural bangsa Arab yang mereka sangka sebagai bentuk-bentuk perilaku islami yang murni.

Selain membunuh karakter, dengan pola adopsi Arabisme semacam itu, bisa kita lihat tindakan-tindakan Wahabisme pun mandul budaya. Utopia ideologis mereka tampak disorientatif karena memiliki tendensi penyeragaman terhadap segala sesuatu yang secara mendasar sudah ditakdirkan berbeda dan beragam. Semua itu adalah manifestasi dari pola penafsiran keberagamaan mereka yang sangat sempit.

Skripturalisme dan penolakan total terhadap usul fikih yang aqliyah serta perkembangan-perkembangan hermeneutika merupakan ciri utama skema kognitif kaum Wahabi. Kebenaran bagi mereka adalah apa yang tertulis secara letterlijk dalam teks. Kaum Wahabi melandaskan sistem diskurus syariat mereka pada mazhab fiqh Imam Hambali yang sistem fikihnya memang memiliki kecenderungan skripturalistik atas Alquran dan hadis sebagai landasan keberagamaannya.

Nasr Hamd Abu Zayd mengkritik keras sikap mereka yang menerima begitu saja (taklid buta) teks-teks fikih yang mereka anut. Padahal, teks-teks fikih bukanlah teks ilahiyah yang sakralitasnya absolut. Melainkan teks insaniyah yang memiliki basis kontekstual dan epistemologi zamannya sendiri yang harus selalu diijtihadi ulang setiap kali watak zaman dan tuntutan-tuntutannya berubah. (*)

Ridwan Munawwar, bergiat di komunitas filsafat Being Community Jogjakarta dan studi di Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga Jogja

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 27 Desember 2009

No comments: