-- Didit Putra Erlangga
JARUM jam menunjukkan sekitar pukul 15.00. Di sebuah meja, di sebuah kafe di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (26/12), seorang peramal, Mira Delima (27), sedang menghamparkan kartu tarot.
Layanan jasa peramal tidak lagi mengharuskan konsumen menemui peramal seperti dulu, tetapi kini juga dapat melalui telepon, seperti yang dilakukan peramal Mira Delima, saat ditemui di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (26/12). (KOMPAS/RADITYA HELABUMI)
Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. ”Halo, Bang,” jawab Mira, menanggapi telepon dari seseorang. Beberapa saat Mira terlibat percakapan dengan si penelepon. Ia kemudian menjepit telepon genggam dengan pundak dan kepala, sementara kedua tangannya mengeluarkan satu set kartu. Kartu dikocok, lalu dihamparkan di atas meja dengan posisi tertutup. Tangan kiri Mira kemudian mengeluarkan tiga kartu secara acak dan membaliknya sehingga terlihat gambarnya.
Ia sempat terdiam. ”Masalah ini tidak akan mengganggu rumah tangga Abang,” kata Mira selanjutnya.
Beberapa saat kemudian, Mira kembali mengeluarkan tiga kartu lagi, melanjutkan pekerjaannya.
Kepada Kompas, Mira menjelaskan, si penelepon adalah seorang notaris yang memiliki masalah keluarga. Mira membantunya dengan jasa meramal melalui kartu vendra atau seven indra.
Selain masalah keluarga, dia juga sering diminta untuk meramal jodoh, karier, keuangan, atau kesehatan. Yang datang mulai dari pelajar, karyawan, pejabat, artis, hingga pekerja media. Tidak cukup sekali datang, pasien (begitu istilah yang digunakan Mira kepada orang yang datang meramal) biasanya rutin bertemu.
Sekali meramal dengan kartu tarot, dia mematok tarif Rp 50.000-Rp 100.000. Sedangkan ramalan dengan kartu vendra biayanya Rp 70.000-Rp 120.000. Setiap hari ada 25-30 orang yang meminta diramal, baik melalui telepon maupun bertemu langsung.
Bahkan, untuk 31 Desember 2009, perempuan berpotongan rambut pendek ini sudah dikontrak untuk praktik di Hotel Aryaduta, Jakarta.
Panggilan meramal juga diterima Fitri Indayani yang lebih tersohor dengan nama Madame Vie. Bahkan, sampai ke luar kota, seperti Bandung. Pasien dia umumnya remaja yang ingin memastikan kesetiaan pasangan.
Peramal tarot, Priya Shiva Akasa, mengaku bukan sekadar meramal, tetapi lebih mengedepankan layanan konsultasi.
Menurut dia, peramal hanya sebagai pengarah dengan membantu melihat kode kehidupan seseorang lewat tarot. ”Kami hanya membantu menyelesaikan masalah, mengarahkan klien dalam menyikapi hidup,” kata Priya.
Kelenteng juga menjadi tempat mendapatkan pedoman hidup. Seperti yang dilakukan Tony Librado (57), Sabtu petang di Kelenteng Hian Thian Siang Tee, Palmerah, Jakarta. Sore itu, ia mencari pengumuman Vihara Dharma Jaya Toasebio, yang menurut dia, merupakan pedoman hidup tahun depan. Setelah mendapatkan kertas, dia langsung lega.
”Saya bersyukur, tapi tetap waspada juga. Nasib saya bisa saja jelek kalau saya tidak hati-hati,” kata ayah dua anak itu.
Selain di Jakarta, fenomena ramal-meramal juga terjadi di daerah seperti Solo, Salatiga, dan Semarang.
Ketidakpastian situasi
Teolog Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Izak Lattu, menilai, maraknya upaya untuk meramal tidak terlepas dari situasi psikologi akibat ketidakmenentuan situasi ekonomi, politik, dan sosial.
Maka, saat memasuki tahun baru yang penuh dengan ketidakpastian, meramal menjadi jalan pintas bagi mereka untuk mendapatkan ”pegangan”.
Namun, tambahnya, hal itu menjadi sangat bersifat material dan hanya akan berbicara tentang ”saat ini” dan ”di sini”. ”Di sini peranan agamawan sangat penting. Memberikan keyakinan kepada masyarakat agar mereka jadi memiliki harapan di tengah ketidakpastian,” tuturnya.
Sosiolog Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Hermawan Pancasiwi, juga menilai, fenomena ramal-meramal menjelang tahun baru menunjukkan perilaku masyarakat yang mulai kehilangan norma atau dalam istilah sosiologi dikenal dengan anomi.
”Mereka memanfaatkan dunia metafisika untuk mengetahui masa depan karena tidak mampu memprediksi masa depan secara rasional,” katanya.
Menurut Hermawan, anomi muncul karena perubahan yang cepat di masyarakat. Mereka meninggalkan pola kehidupan yang lama, tetapi belum menemukan yang baru.
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat menjadi labil dan diperparah dengan munculnya bencana alam serta tayangan-tayangan film yang menceritakan kehancuran masa depan. ”Meski tidak logis, film-film seperti ini menimbulkan histeria massa,” ujarnya.
Akibatnya, masyarakat mendatangi peramal untuk mendapatkan harapan pada masa depan. Padahal, harapan tersebut merupakan harapan semu yang tidak didasarkan pada perhitungan rasional.
Semua peramal, lanjutnya, tidak akan mengatakan ramalan yang jelek karena mereka mendapatkan uang atas jasanya. Hal tersebut akan menjadi fatal apabila orang yang diramal berhenti dan hanya menunggu hasil ramalan.
Hermawan mengatakan, pemerintah harus membantu masyarakat agar tidak larut dalam kondisi tersebut. Ramalan harus dihindari karena tidak mendewasakan masyarakat.
Misalnya, dengan menyeleksi buku-buku ramalan serta mengontrol tayangan yang menawarkan jasa ramalan di televisi.(YOP/ACI/WIE/GAL/HEI/EKI)
Sumber: Kompas, Minggu, 27 Desember 2009
No comments:
Post a Comment