Sunday, December 20, 2009

[Kehidupan] Kreativitas Warga, Hidup Kota

-- Putu Fajar Arcana & Ninuk Mardiana Pambudy

JALAN Braga di tengah Kota Bandung sepanjang sekitar 1 kilometer pada Minggu (13/12) ditutup. Sekitar pukul 16.00, suasana jalan itu semakin meriah dan padat ketika iring-iringan pawai anggota delapan komunitas tiba dari Dago.

Sara (18) bersama teman-temannya dari komunitas seni pertunjukan Ganiati—Garing Mania Sampai Mati—berdandan lebay (berlebihan). Sara memakai pemulas bibir warna merah mencolok dengan pupur tebal. Temannya memakai rambut palsu warna-warni, berkacamata ekstra besar. Yang laki-laki bercelana stretch ketat, memperlihatkan tubuh ceking-langsing.

Kelompok Tatalu dari Universitas Pasundan memukul-mukul tong plastik bekas layaknya grup drumband. Lalu ada rombongan komunitas musik karinding yang memainkan alat dari bambu, komunitas fotografi, pencinta lingkungan, komunitas Graffiti Bike, dan benjang (gulat tradisional Sunda).

Iring-iringan pawai ini tidak terlalu panjang, kira-kira 100 meter, diikuti 300-an orang. Di Jalan Braga mereka bergabung dengan komunitas Bikers Brotherhood yang mengadakan Brotherhood Braga Bikefest. Menurut Reza Pamungkas, konsultan manajemen yang menjadi salah satu panitia Bikefest, ada 1.000 motor anggota Bikers Brotherhood hadir dalam acara itu.

Melintang di atas Braga pada ketinggian lebih dari 5 meter dipasang dua panggung dari besi-besi perancah dengan jarak satu dengan yang lain sekitar 100 meter. Di satu panggung musik rock terus-menerus dimainkan bergantian oleh band-band yang sebagian besar anggotanya juga anggota Bikers Brotherhood.

Di panggung terowongan satu lagi berlangsung peragaan busana yang kata Reza sebagian diproduksi oleh anggota Bikers. Maka, anggota Bikers, pengunjung, dan warga dari kampung-kampung sekitar tumpah ruah jadi satu di Jalan Braga.

Pamer

Arak-arakan itu menutup tiga bulan Helarfest—helar artinya pamer kebisaan—yang memamerkan potensi komunitas kreatif Kota Bandung, antara 17 Oktober dan 30 Desember.

”Tujuannya menunjukkan kepada publik kegiatan komunitas-komunitas ini. Biasanya tiap komunitas aktif di komunitasnya. Harapannya, masyarakat Bandung bisa melihat potensi kreatif warga kota, terinspirasi, lalu ketularan (kreatif),” kata Ridwan Kamil, Ketua Bandung Creative Community Forum (BCCF) yang mengorganisasi kegiatan.

Saat ini BCCF beranggotakan 30 komunitas dan secara legal berdiri Desember 2008. ”Pelegalan itu hanya untuk memudahkan dalam berhubungan dengan pihak luar. Selain itu, ekonomi kreatif juga berhubungan dengan HKI, hak kekayaan intelektual. Tanpa perlindungan HKI, kreativitas tidak tumbuh,” kata Rizky Adiwilaga SH, pengurus BCCF yang dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.

Dari target 60 kegiatan selama tiga bulan, terlaksana 66 kegiatan, sementara tahun lalu terlaksana 31 kegiatan selama 1,5 bulan. Sebagian besar biaya berasal dari komunitas anggota BCCF meski tahun ini menurut Wawan Djuanda, Presiden Republik Entertainment dan koordinator festival, pemerintah kota membantu Rp 500 juta dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberi Rp 500 juta.

Acara ini ditutup malam harinya dengan Festival Cikapundung, dihadiri Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf. ”Ini untuk menarik perhatian agar warga mulai memerhatikan kebersihan sungai mereka,” kata Wawan. Peserta karnaval lalu menghanyutkan perahu kertas yang diterangi cahaya lilin.

Komunitas

Kreativitas berbasis kultur urban di Kota Bandung dibangun berbagai komunitas di kota itu. Mereka berekspresi dan berkreasi mandiri dan informal melalui berbagai forum.

Tobucil (Toko Buku Kecil), Common Room, dan Rumah Buku, misalnya, menjadi tempat mereka bertemu, mengobrol, berencana, dan berekspresi. Itulah antara lain yang membuat Bandung terlihat selalu kreatif, dinamis, seperti tak pernah kekurangan ”peluru” menciptakan berbagai terobosan.

Rumah Buku—wujud fisiknya berupa rumah—didirikan Ariani Darmawan dan Oky Kusprianto di Jalan Hegarmanah tahun 2003. Ketika studi di Chicago, Amerika Serikat (1999-2001), Ariani melihat akses publik terhadap informasi sangat terfasilitasi. ”Di mana-mana ada perpustakaan kota, banyak toko buku, CD musik, dan penyewaan film,” tutur Ariani.

Sepulang studi, ia menggandeng Oky mendirikan Rumah Buku yang dikonsep sebagai pusat referensi alternatif. Di Rumah Buku pengunjung bisa menyewa atau membaca buku alternatif yang belum tentu ada di perpustakaan lain. ”Kami ingin menghilangkan kesan pergi ke perpustakaan sangat formal dan sulit meminjam buku,” kata Ariani.

Saat ini Rumah Buku beranggotakan 1.179 orang dengan koleksi 4.000 buku, 1.000 CD, dan 1.000 film. Di situ juga terdapat klub kreativitas film Kineruku. Selain tiap minggu memutar film yang tidak beredar melalui gedung bioskop, Kineruku juga memproduksi film-film pendek. ”Kineru juga bikin workshop film, mengundang pegiat film. Riri Riza misalnya,” kata Ariani.

Common Room di Jalan Kyai Gede Utama, kata fasilitator jejaring Common Room, Gustaff Iskandar, selain tempat berkumpul anak muda, juga menyediakan ruang pentas dan pameran karya puluhan komunitas berbagai bidang yang bergabung di situ.

”Ini ruang fasilitator yang terbuka terhadap seni, budaya, dan teknologi,” kata Gustaff. ”Umumnya anak muda. Dari yang suka musik underground, komik, peneliti budaya oral, sampai penggali budaya lokal,” kata Gustaff.

Dana kegiatan Common Room sebagian berasal dari donor, antara lain HIVOS dan Japan Foundation. ”Kami baru mengadakan pameran kujang gagasan komunitas Sunda Underground dan kini mendorong penelitian budaya oral orang Sunda oleh komunitas Open Lab,” kata Gustaff.

Helarfest hanya sarana pamer potensi kreatif Bandung, tetapi bagaimana potensi itu menjadi lokomotif kota yang membuat warga sejahtera dan hidup nyaman, jejaring itu harus dipelihara, diperluas, diperkuat, termasuk dengan pemda dan lembaga legislatif.

Sumber: Kompas, Minggu, 20 Desember 2009

No comments: