Thursday, December 31, 2009

Konsisten hingga Akhir Hayat


TAK salah bila banyak orang menilai pemikiran KH Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur melampaui pemikiran orang kebanyakan pada masanya. Pemikiran Gus Dur kerap jauh melintasi ruang dan waktu. Konsistensinya dalam menegakkan kehidupan demokrasi, menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme, memihak kelompok minoritas, serta aktif memantau perkembangan dunia, tetap terjaga hingga akhir hayatnya.

Buktinya, beberapa jam sebelum mengembuskan napas terakhir pada Rabu (30/12) pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Gus Dur masih meminta orang dekatnya membacakan berita dari majalah Gatra tentang pemilu di Cile dan kondisi Israel.

"Sekitar jam 12 siang, Bapak meminta saya membacakan berita dari majalah Gatra," kata Bambang Susanto yang menemani Gus Dur pada saat-saat terakhir.

Peti jenazah KH Abdurrahman Wahid diturunkan dari pesawat Hercules TNI AU, seusai mendarat di Bandara Internasional Djuanda, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (31/12). (ANTARA/Eric Ireng)

Saat itu Gus Dur dirawat di kamar A 116 RSCM, karena kondisi kesehatannya menurun setelah berziarah di Jombang, Jawa Timur. Presiden keempat RI itu masuk RSCM sejak Sabtu (26/12). Dalam kamar itu hanya ada putri bungsunya, Inayah Wulandari, asisten pribadi Sulaiman, dua pengawal pribadi, serta Bambang Susanto sendiri.

Tiba-tiba, kata Bambang, Gus Dur mengeluh sakit di bagian paha ke bawah dan minta dipijat. Kondisi kesehatan Gus Dur terus menurun sehingga harus dibawa ke gedung Pelayanan Jantung Terpadu RSCM di lantai lima atrium dua untuk keperluan tindakan medis. Di dalam ruang perawatan itu hanya ada tim dokter yang dipimpin Yusuf Misbach. Tak ada seorang pun anggota keluarga di ruangan itu, termasuk istri Gus Dur, Sinta Nuriyah yang tiba di RSCM pukul 12.30 WIB.

"Agak sore, dokter meminta tambahan darah golongan O. Sekitar pukul setengah lima, Bapak masih meminta audio book, saya pikir keadaan Bapak sudah enakan. Namun, sekitar pukul enam sore, dokter Yusuf mengatakan kondisi Bapak kritis karena tekanan darah drop," katanya.

Dalam kondisi yang kritis itu, sekitar pukul 18.15 WIB, hanya Presiden SBY ditemani menantu Gus Dur, Dhohir Farisi, bersama tim dokter, yang berada di kamar tersebut. "Saya tidak tahu kejadian dalam ruangan itu, karena yang ada hanya Presiden SBY, menantu Gus Dur, dan tim dokter," ujar Bambang. Akhirnya, pada pukul 18.45 WIB, Gus Dur meninggalkan dunia untuk selamanya.

Islah dengan Soeharto

Salah satu yang menonjol dari kehidupannya Gus Dur adalah perseteruannya dengan mantan Presiden Soeharto.

Menjelang Muktamar ke-29 NU pada 1994 di Tasikmalaya, Jabar, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Pencalonan ini ditentang Soeharto dengan menolak disambut dan bersalaman dengan Gus Dur pada prosesi pembukaan muktamar. Pascamuktamar, dimana Gus Dur tetap terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, perseteruan keduanya semakin meruncing.

Dua tahun kemudian, para ulama sepuh mencoba mencari jalan untuk mencairkan hubungan Gus Dur dengan Soeharto. Dalam Munas Asosiasi Pondok Pesantren se Indonesia di Ponpes Zainul Hasan, Genggong, Pajarakan, Probolinggo, keduanya akhirnya saling berjabatan tangan pertanda islah. [SP/Aries Sudiono/Anselmus Bata]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 31 Desember 2009

No comments: