-- Iwan Gunadi*
"AKU mencari diriku sendiri," ujar Herakleitos dalam Fragmen 101. Setelah sekitar 32 tahun hidup dalam kekuasaan "kami" yang dibalut kain semu "kita", sejak 1998, kita mulai kembali meraih "aku", walau belum sepenuhnya. Perubahan psikososiopolitiko belakangan ini dan repleksinya ke masa depan memang bisa diterangkan dengan tiga kata ini: kami, aku, dan kita.
Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang disusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, aku, kami, dan kita sama-sama merupakan pronomina persona (kata ganti orang) pertama. Aku adalah pronomina persona pertama tunggal, sedangkan kami dan kita merupakan pronomina persona pertama jamak. Kami bersifat eksklusif, yakni mengacu pada pembicara/penulis di pihaknya, tapi tak mencakupi orang lain di pihak pendengar/pembaca. Sebaliknya, kita bersifat inklusif, yakni mencakupi pembicara/penulis, pendengar/pembaca, dan mungkin pula pihak lain.
Pada masa rezim Orde Baru, yang menonjol adalah peran "kami", tapi tentu dengan makna yang mengalami pembiasan di sana-sini. Kekuasaan ada dalam dominansi sekelompok elite, baik dalam aras regional maupun nasional, yang selanjutnya layak diidentifikasi sebagai "kami". Merekalah yang secara diam-diam mengklaim sebagai pemilik kebenaran sekaligus tafsirnya.
Kalau ada kebenaran yang ditafsirkan di luar perspektif "kami", tafsir tersebut cenderung akan dikategorikan sebagai tafsir yang inkonstitusional. Bila tafsir tersebut berkembang menjadi sebuah gerakan politis, siap-siaplah ia diklasifikasikan sebagai sebuah gerakan subversif, sebuah frase yang sangat tidak menyamankan dalam rezim tersebut bagi pihak yang menyandangnya. Ini biasanya berlaku untuk sesuatu yang boleh dibilang kurang atau bahkan tidak "kasat mata". Sementara, untuk sesuatu yang "kasat mata", senjata pamungkasnya adalah jargon-jargon seperti "demi kelangsungan pembangunan" dan "demi stabilitas nasional". Semua ini menjadi tameng untuk setiap usaha yang mencoba merongrong dominasi "kami".
Dominasi "kami" mengesankan adanya penyebaran kekuasaan, walaupun dalam wilayah yang sangat terbatas. Dalam rezim yang otoriter, secara teoretis, kesan tersebut sulit diterima. Faktanya pun, menurut banyak pihak, memang demikian. Sebab, "kami" memang tetap memiliki pusat, yakni "aku", manusia tunggal, penguasa tertinggi--selanjutnya disebut "aku-tunggal". Dalam konteks tersebut, segala upaya untuk membangun tafsir tunggal atas kebenaran sebenarnya bukanlah upaya dari dan untuk "kami", melainkan dari dan untuk "aku". Karena itu, segala upaya "mengamankan" tafsir tersebut atau tidak membiarkan begitu saja setiap upaya merongrong kekuasaan "kami" pun bisa dibaca sebagai upaya mengamankan kekuasaan "aku-tunggal".
"Kami" tampaknya merupakan langkah pertama bahasa politik "aku-tunggal" untuk membentuk komunitas dasar. Karena ada imbalan yang biasanya bersifat material dan punya imbas sosial, komunitas dasar tanpa terlalu sukar segera terbentuk. Setelah komunitas dasar ini menguat, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi "kami" sebagai "kita".
Bagi kelompok-kelompok kritis, ini usaha yang tidak mudah. Sebab, yang mereka butuhkan bukan hanya imbalan yang bersifat material, melainkan juga nonmaterial: kebebasan menafsir. Sementara, bagi masyarakat awam, semuanya berlangsung lancar-lancar saja. Meski begitu, untuk kedua kalangan tersebut, tanpa disadari, upaya ini relatif berhasil ketika kita tidak lagi membedakan makna kami dan kita dalam wacana sehari-sehari yang kita bangun.
Dalam rezim yang gemar memanfaatkan eufimisme, kita memang kata lain dari kami dan kami adalah kata lain dari aku. Kedua langkah bahasa politik tersebut merupakan upaya manipulasi agar kebenaran yang hanya menguntungkan "aku-tunggal" dirasakan sebagai kebenaran yang berlaku untuk semua orang.
Setelah kekuatan moral yang dapat diidentifikasi sebagai "kami" dan berjuang untuk "kita" --selanjutnya disebut "kami-kita"--mampu melenyapkan sentralitas "aku-tunggal", maka buyarlah pula "kami", walaupun kerancuan pengidentifikasian kami dan kita dalam berbahasa tetap terjadi. Secara fisik, "kami" memang tetap ada, tapi seperti kehilangan unsur pengikat, kehilangan koordinasi. Walaupun, "kami" merupakan suatu institusi formal semacam kabinet atau organisasi politik, misalnya.
Bahkan, karena khawatir tidak termasuk dalam barisan para reformis, beberapa di antaranya berusaha membersihkan biografinya dari hegemoni "aku-tunggal" dengan menglaim bahwa selama ini mereka menjadi kerikil di hadapan "aku-tunggal". Ya, hanya kerikil. "Kami-kita" pun menguap dengan begitu indahnya karena sifat alamiahnya sebagai kekuatan moral yang tanpa pamrih.
Terbitlah "aku-majemuk". Kekuasaan menjadi seperti menyebar, tidak lagi memusat. Hak-hak individu seperti kembali ke pangkuan sang pemilik. Kita seakan memasuki era modernitas yang sesungguhnya setelah selama ini kita memasukinya pada tataran kulit. Kebenaran dan tafsirnya menjadi milik setiap "aku", setiap individu. Tafsir kebenaran menjadi sangat beragam. Padahal, pelbagai aturan hukum yang akan menjamin semua itu belum definitif.
Namun, beragamnya tafsir atas kebenaran bukan otomatis pertanda bahwa kehidupan kita sudah demokratis. Dendam kesumat dan kebencian yang mendalam terhadap rezim masa lalu membuat tafsir atas kebenaran hanya berupa kecaman, tudingan, dan penyalahan yang beragam. Betul pemakluman Nurcholish Madjid bahwa kita baru belajar bebas, tapi kita telah memulainya dengan cara yang tidak simpatik. Kita memang sedang belajar menuju kebebasan yang sejati. Tapi, pada saat yang sama, jangan-jangan kita juga sedang belajar mengubah dendam dan kebencian tadi menjadi sebentuk trauma yang abadi, sebagaimana yang terjadi selama ini dengan segala sesuatu yang berbau Partai Komunis Indonesia (PKI) atau komunis. Trauma semacam itu bisa dijadikan justifikasi untuk perbuatan apa saja, termasuk yang tidak demokratis dan manusiawi sekalipun.
Kondisi seperti itu berpotensi mengembalikan tradisi yang memosisikan orang lain sebagai ancaman. "Asal mula kejatuhanku adalah eksistensi orang lain," tulis Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness (1953: 263). Kepercayaan seperti itu bisa mewujud dalam bentuk yang baru dengan esensi yang sama: kultus individu. Padahal, sebagaimana dinyatakan Fuad Hassan dalam Kita & Kami, An analysis of the basic modes of the togetherness, pengobjektifan individu berdampak memperlemah kesadaran kolektif, kesadaran sebagai "kita".
Kemerdekaan "aku-majemuk" tetaplah bukan pertanda bahwa hanya "aku"-lah pemilik kebenaran. Hancurnya "aku-tunggal" tidak berarti bahwa segala tafsir kebenaran yang selama ini dikembangkannya tidak berarti sama sekali. Buyarnya "kami" bukanlah jaminan bahwa mereka tidak bisa berubah sama sekali menuju kebenaran sebagaimana disepakati bersama. Sebagaimana kita, mereka juga manusia. Seburuk-buruknya manusia, sisi baik tetap melekat di dirinya. Sebaliknya, sebaik-baiknya manusia tetap menyimpan sisi buruk. Karena itu, kebenaran yang datangnya dari manusia bersifat relatif.
Relativitas seperti itulah yang seyogianya mendorong manusia hadir sebagai sebuah kebersamaan. Ya hadir sebagai "kita" tanpa harus menyingkirkan sang "aku". Sebab, selama ini, kita memang terbiasa memandang orang lain sebagai orang lain. Bukan sebagai bagian dari "kita". Itulah pelajaran dari posmodernism yang lupa kita terapkan lantaran ketika datang ke sini pada sekitar awal 1980-an cenderung hadir sebagai mode. Memang, ada waktu dan tempatnya kita hadir sebagai "aku", "kami", atau "kita". Itulah tiga hal yang harus kembali dikaji dan atau diwaspadai dalam menjalani pelbagai perubahan belakangan ini, termasuk perubahan semu.
* Iwan Gunadi, Peminat Masalah-Masalah Sosial Budaya
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Desember 2009
No comments:
Post a Comment