Saturday, December 19, 2009

[Teroka] Pengawasan di Sekitar Kita

-- Ridha al Qadri*

PADA zaman teknologi informasi ini, tiap hari dan di mana saja, pelbagai mode pengawasan (surveillance) mengelilingi kita. Pengawasan itu bisa secara langsung atau lewat mediasi, terutama melalui beragam sirkuit komunikasi. Implikasinya, sebuah masyarakat global yang bisa saling membagi, mengakses, dan memonitor informasi apa saja.

Beberapa istilah diajukan untuk menamai mekanisme ini, seperti synopticon, electronic eyes (David Lyon), superpanopticon (Mark Poster), yang meluaskan metafor panoptikon Jeremy Bentham dan Michel Foucault atas kontrol aktivitas dalam penjara.

Sebuah masyarakat pengawasan (surveillance society) dicirikan oleh pentingnya informasi digital dan elektronis. Mulai dari kartu identitas, situs pribadi di internet, hingga DNA, kartu kredit, dan rekening gaji.

Semua ini berimplikasi pada klasifikasi sosial seseorang sebagai glass consumers: konsumen seperti gelas kaca, orang lain bisa sangat tahu tentang kita, bahkan bisa melihat melalui kita (Susanne Lace, 2005).

Pengawasan jadi bersifat digital dan elektronis, tetapi mudahnya saling akses informasi ini memiliki ambiguitas. David Lyon menyebutkan dua sifat ambigu pengawasan di era digital ini, yakni ”perhatian” (caring) dan ”pengontrolan” (controlling) (2007: 1). Di satu sisi, tiap orang dapat saling mengawasi dan menaruh perhatian. Di sisi lain, aktivitas seseorang bisa diprediksi, diklasifikasi, dan kemudian berujung pada penyortiran sosial.

Sortir sosial

Salah satu kasus dialami Prita Mulyasari, yang menulis keluhan pelayanan rumah sakit lewat e-mail yang berujung pada tuntutan hukum. Pada kasus ini teknologi informasi yang memudahkan publik membagi dan memperoleh informasi ternyata memudahkan pula bagi beberapa pihak untuk melakukan pemeriksaan terhadap aktivitas dan informasi yang beredar. Pemeriksaan ini bisa bersifat memilah, menyaring, menyeleksi, atau menyortir kegiatan sosial.

Contoh lainnya mengenai kartu kredit yang dimiliki, kartu keanggotaan klub olahraga atau organisasi sosial yang dimiliki, hingga asuransi kesehatan. Kepemilikan ini memengaruhi pembedaan seseorang dalam memperoleh pelayanan mulai dari pelayanan kesehatan hingga di ruang tunggu bandar udara.

Masyarakat ibarat disortir dan dilabeli menurut konsumen yang bernilai atau tak bernilai, menguntungkan atau tidak menguntungkan.

Budaya curiga

Mode pengawasan melalui teknologi informasi makin canggih ketika muncul Global Positioning System dan Geographical Information Systems, yang memungkinkan memonitor dan menyediakan informasi secara langsung atas posisi siapa saja, di mana saja, dan kapan pun. Film Enemy of the State mengilustrasikan kondisi ini, di mana setiap langkah seseorang yang dikejar dan hendak ditangkap selalu teridentifikasi keberadaannya melalui satelit pengawas.

Dalam film ini, pihak-pihak yang melakukan pengawasan punya asumsi kecurigaan terhadap orang yang hendak dikejar. Padahal, buronan itu tidak pernah bersalah. Praktik pengawasan kemudian jadi perluasan budaya curiga. Bukankah dalam kasus Prita, kecurigaan juga tampak dari upaya memonitor informasi yang dianggap mencela nama baik sebuah lembaga kesehatan?.

Pada kasus-kasus di atas, seperti penyortiran sosial, pengontrolan konsumen, dan budaya kecurigaan, semuanya berpotensi menimbulkan diskriminasi dan eksploitasi atas informasi-informasi digital. Pertanyaan bagi kita semua: mungkinkah mengelak dari pengawasan di sekitar kita?

* Ridha al Qadri, Studi Kajian Budaya dan Media di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Aktif di Bale Sastra Kecapi, Solo

Sumber: Kompas, Sabtu, 19 Desember 2009

2 comments:

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Unknown said...

mantap!