Judul : Jawara, Angkara di Bumi Krakatau
Penulis : Fatih Zam
Penerbit : Metamind (Tiga Serangkai), Januari 2012
Tebal : xiv + 530 halaman
TAHUN 1990-an, membaca Banten melalui medium sastra mungkin hanya lewat Balada Si Roy, karya fenomenal Gola Gong. Kini telah bermunculan penulis muda Banten yang mengeksplor ihwal-ihwal lokalitas setempat dalam karya mereka. Novel Jawara, Angkara di Bumi Krakatau karya Fatih Zam yang terbit awal tahun ini, bisa menjadi semacam pintu masuk melihat Banten lewat karya sastra.
Novel hampir 50 bab ini berlatar sejarah dan budaya lokal Banten. Menarik dibaca karena mengangkat tema konflik horizontal antara jawara dan ulama (kiai dan santri) juga perihal meletusnya Krakatau.
Bab-bab awal kita disuguhi potongan-potongan kisah beberapa tokoh yang muncul silih berganti dengan problem masing-masing. Ada tokoh Badai, pendekar muda yang berambisi mencari kitab Serat Cikadueun yang ditulis Syekh Mansur, seorang ulama Banten yang memiliki karomah.
Badai tergoda dongeng yang mengeram di benaknya sejak kecil bahwa siapa pun yang mendapatkan kitab itu kesaktiannya berlipat. Lempeng batu yang diberi Abah Santa adalah penunjuk jalan bagi Badai menemukan kitab itu. Ada lempengan lain yang harus ditemukan Badai. Oleh Abah Santa, Badai diperintah mencari Kiai Kohar yang tahu tentang lempeng pasangannya. Jika kedua lempeng itu disatukan, tertera kalimat yang masih harus dipecahkan maknanya. Banyak aral yang ditempuh Badai dalam misinya mencari Kiai Kohar. Ada pula tokoh Jaka, santri yang diutus menimba ilmu silat kepada Kakek Lie Ching, mantan begundal yang tobat.
Jawara dan kiai adalah dua entitas di Banten yang sejatinya berkaitan erat dan bersimbiosis mutualisme. Kiai berdakwah, jawara mengawalnya. Yang satu lemah lembut, yang satu keras. Beda cara, memiliki tujuan sama. Jawara, yang artinya jagoan, wanian (pemberani), dan wara (rendah hati) sebenarnya bagian dari pesantren, namun lebih fokus ke olah kanuragan. Sayangnya perilaku segelintir oknum membuat istilah jawara mengalami pergeseran makna dari sifat-sifat luhur menjadi image negatif. Jawara kini indentik dengan preman, tukang onar, bermodal kekuatan fisik mencapai tujuan.
Praktek pecah belah sejak zaman penjajahan sampai sekarang masih marak di banyak tempat dengan kemasan berbeda. Dalam novel ini, ada pihak yang berniat buruk merusak hubungan kiai dan jawara, yaitu tokoh antagonis bernama Angkara. Ia sosok abstrak yang konon menyulut fitnah, menghasut para jawara membumihanguskan seluruh pesantren. Hanya kitab Serat Cikadueun yang bisa mengalahkan Angkara.
Sementara santri bernama Saefudin jadi sosok yang berbeda. Ia berhasil lolos dari pertempuran justru tak berniat membalas dendam kematian ayahnya yang kiai. Ia menolak terlibat dalam seteru ulama-jawara, memilih menjalani kehidupan sebagai nelayan dan jadi saksi atas sebuah kejadian santet. Korelasi Saefudin dan tokoh-tokoh lain adalah peristiwa meletusnya Krakatau.
Jika pembaca bertanya-tanya latar waktu dalam novel ini, petunjuknya bisa ditemukan pada bab Wajah-Wajah Beringas. Kita juga akan membaca riwayat golok, senjata tajam yang jadi ciri khas kaum jawara. Itu bukan untuk gagah-gagahan belaka, ada makna filosofis terkandung di dalamnya.
Di bagian terakhir, sisipan sejumlah lokus menarik di Banten yang disebut dalam novel. Misalnya, Sumur Tujuh yang pernah disinggahi Sultan Maulana Hasanuddin, seorang pendiri Kesultanan Banten. Sumur yang berada di bukit Puncakkarang dipercaya sebagai pusarnya Banten. Sumur itu diyakini sebagai bekas kemunculan Syekh Mansur dari dalam bumi setelah melakukan perjalanan ke tempat jauh, termasuk Mekah.
Bagaimana akhir perjuangan Jaka, Badai, dan para pendekar mencari kitab Serat Cikadueun? Apa sebenarnya keistimewaan kitab itu hingga diperebutkan banyak orang? Siapa atau apa sebenarnya Angkara? Semua pertanyaan itu akan terungkap di akhir cerita. Puisi-puisi hadir di awal setiap bab dalam novel ini mengingatkan pada Balada si Roy-nya Gola Gong, bisa dimaknai sebagai interpretasi atau intisari atas isi bab bersangkutan. Ada juga puisi Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri.
Imajinasi dan energi penulis dalam mendeskripsikan adegan-adegan silat di novel ini cukup terjaga. Adegan perkelahian terasa filmis menarik dinikmati. Dengan bahasa komunikatif, novel yang memadukan cerita silat, sejarah, dan budaya ini layak dibaca semua kalangan.
Akhirnya, tokoh Janari hanya muncul di bab pertama dan bab terakhir, secara implisit menjadi penanda bahwa sejarah memang acap berulang. Secara kontekstual ulama dan jawara masih kerap diperalat oleh sejumlah kalangan untuk mencapai kepentingan tertentu.
Arman A.Z., Pembaca buku
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Januari 2012
No comments:
Post a Comment