-- Sumbo Tinarbuko
TABIAT pejabat Pemerintah Indonesia selalu memiliki ciri suka membangun dengan menghancurkan bangunan, konsep, dan program kerja yang dianggapnya lama.
Padahal, realitas sosialnya masih cukup signifikan untuk dijalankan dan ditumbuhkembangkan jadi sesuatu yang lebih bermanfaat guna menghasilkan kebermanfaatan lebih besar.
Upaya membuat kebaruan juga dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berencana mengubah bangunan, konsep, dan program kerja lembaga pendidikan tinggi seni bernama Institut Seni Indonesia (ISI) menjadi Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI). Dasar perubahan itu konon karena berubahnya Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) jadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
”Tahun 2012, kami akan lakukan konversi institut yang selama ini ada. ISI akan dikonversi menjadi ISBI atau Institut Seni dan Budaya Indonesia,” kata Mendikbud M Nuh pada Dialog Budaya dalam Rangka Penyusunan Cetak Biru Pembangunan Nasional Kebudayaan di Jakarta, Senin, 12 Desember 2011.
Menurut M Nuh, selama ini, ISI lebih ditekankan kepada seni, baik pertunjukan maupun lainnya. Namun, sejalan dengan masuknya kebudayaan, kesenian tidak dapat berdiri sendiri.
Bukan hal baru
Dalam laman http://dikdas.kemdiknas.go.id/content/berita/utama/ide-pendiria-2.html berjudul ”Ide Pendirian Institut Seni dan Budaya, Bukti Keseriusan Kemdiknas” dikabarkan sebagai berikut. Ide Mendiknas itu merupakan bagian dari keseriusan Kemdiknas merawat kekayaan seni-budaya Indonesia.
Menurut Mendiknas, ISBI memiliki tiga peran. Pertama, menjaga dan merawat warisan budaya. Kedua, melakukan kreasi produk seni dan budaya dengan budaya baru. Ketiga, memperkuat hubungan antaranak bangsa. Namun, lanjut M Nuh, ’’Jangan hanya berhenti kepada perawatan, juga promosi atas budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur.’’ Informasi ini diunggah ke laman tersebut pada 21 Juni 2011, jauh sebelum perubahan Kemdiknas menjadi Kemdikbud diumumkan pada Oktober 2011.
Kalau rencana mengubah ISI menjadi ISBI hanya berdasarkan pemikiran seperti di atas, jauh sebelum rencana tersebut mengemuka, paling tidak ISI Yogyakarta, ISI Denpasar, dan ISI Surakarta sudah menjalankan konsep pendidikan tinggi seni berbasis budaya, seperti termaktub dalam visi, misi, ataupun tujuan penyelenggaraan pendidikan seni yang mereka kelola.
ISI Yogyakarta, misalnya, menggariskan tujuan pendidikan tinggi seni untuk menghasilkan sarjana seni yang peka dan tanggap terhadap masalah sosial budaya, secara etik, moral, dan akademik melalui berbagai jalur dan jenjang pendidikan tinggi.
Tujuan tersebut memiliki kompetensi yang signifikan, di antaranya mampu menciptakan dan mengekspresikan beragam gagasan ke dalam berbagai bentuk karya seni yang dapat dipertanggungjawabkan. Mampu mengkaji dan menganalisis fenomena seni-budaya. Mampu menyajikan karya seni secara kreatif, inovatif, dan profesional. Mampu mengelola kegiatan seni-budaya serta mengembangkan jiwa kewirausahaan, dan mampu mengembangkan pendidikan seni sesuai dengan kompetensi dan jiwa zamannya.
Sementara itu, himne ISI Yogyakarta dengan nada optimistis mengumandangkan nada dan syair berbunyi, ’’Kembangkan daya cipta berkreasi/Tuntut ilmu dan mari berkarya/Bersatu di bawah panji Saraswati/Bina insan seni Pancasila/Terampil dalam cita rasa junjung budaya bangsa/Sadar dan bertanggung jawab sebagai seniman sejati.’’
ISI Surakarta, seperti dikutip dalam laman mereka (http://www.isi-ska.ac.id/index.php/profil/visimisitujuan), mengusung misi pendidikan tinggi seni dengan mewujudkan pendidikan seni yang bermutu, berdaya saing, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Mewujudkan pusat kajian seni-budaya Nusantara, laboratorium kekaryaan, dan produksi seni yang responsif dan adaptif terhadap perubahan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Selain itu, untuk mewujudkan sistem pendidikan seni yang efektif dan efisien. Mendinamisasikan kehidupan seni-budaya dalam rangka pembentukan manusia seutuhnya. Mewujudkan pusat informasi yang baik dan benar tentang seni-budaya, serta mewujudkan tata kelola institusi yang profesional dan akuntabel.
Hal senada juga dikumandangkan ISI Denpasar (lihat: http://www.isi-dps.ac.id/profile-umum). ISI Denpasar bertujuan menciptakan dan mempresentasikan beragam gagasan ke dalam berbagai bentuk karya seni dan mempertanggungjawabkan secara etik, moral, dan akademik. Mampu mengkaji dan menganalisis beragam fenomena seni budaya. Mampu menyajikan karya seni secara kreatif, inovatif dan profesional, serta mampu mengembangkan kewirausahaan dalam mengelola kegiatan seni dan budaya.
Administrator pendidikan
Jadi, kalau Kemdikbud tetap ingin mengubah ISI menjadi ISBI, dapat dibayangkan, sistem dan kurikulumnya tidak akan banyak berubah. Kalaupun berubah, yang terjadi, pengelola lembaga pendidikan tinggi seni bernama ISI berubah menjadi bingung. Kebingungan tersebut secara kasatmata terlihat dalam menyusun kurikulum, silabus dan tetek bengek urusan administrasi pendidikan lain.
Kebingungan lain muncul akibat bingung dengan sistem akreditasi yang berdampak pada keharusan dosen menjadi seorang administrator pendidikan seni dan desain yang andal. Dampaknya, para dosen terkadang harus mengesampingkan perannya sebagai seorang desainer dan seniman yang dituntut mampu menghasilkan karya seni dan desain. Hal itu akan berakibat pada terhambatnya proses meneliti dan menulis buku seni dan desain yang menjadi pilihan hidupnya di dunia intelektualitas bidang seni dan desain.
Perubahan ISI menjadi ISBI akan membingungkan kehidupan sivitas akademika terkait dengan kompetensi dan kapasitas intelektual dosen pengajar mata kuliah yang terkadang tidak selaras antara teori dan realitas sosial di ranah industri kreatif.
Pertanyaannya, kalau alasan mengubah ISI menjadi ISBI seperti dipaparkan Mendikbud di atas, padahal realitas sosialnya sebagian besar ISI di Indonesia sudah memilih dan menjalankan konsep berkesenian yang berbudaya sejak 1984 (mengacu berdirinya ISI Yogyakarta) lewat visi misi dan tujuan penyelenggaraan pendidikan, seyogianya rencana tersebut ditakar ulang demi kenyamanan bersama. Dan, untuk itu, biarkan ISI tetap menjadi Institut Seni Indonesia dengan segala lokalitas dan keunikannya masing-masing. Bagaimana Pak Menteri?
Sumbo Tinarbuko, Dosen Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta
Sumber: Kompas, Senin, 30 Januari 2012
No comments:
Post a Comment