Friday, May 16, 2008

Suara Wong Cilik: "Repormasi" Apaan, Sik?

-- CM Rien Kuntari

SEPULUH tahun sudah reformasi mendasari persemaian demokratisasi di Bumi Pertiwi. Upaya yang dirintis para mahasiswa atau aktivis ’98 itu setidaknya mampu meruntuhkan otoritarianisme.

Paling tidak buah dari reformasi itu telah menciptakan nuansa kebebasan berpendapat. Kekhawatiran untuk ditangkap atau digerebek pun tertepikan. Namun, bagi rakyat kecil alias wong cilik, reformasi bahkan sama sekali tak membawa arti.

”Repormasi apaan, sik? Saya enggak ngerti,” kata wanita paruh baya yang biasa dipanggil Minah. Jawaban itu ia berikan begitu saja saat mendapat pertanyaan tentang reformasi. Ia bahkan sama sekali tidak memiliki referensi tentang kosakata tersebut. Apalagi makna reformasi.

Baginya, tak ada perbedaan antara kehidupan sebelum dan setelah 10 tahun terakhir. Dalam arti, kondisi kehidupan tidak membaik. Yang ia rasakan saat ini justru perjuangan hidup menjadi lebih sulit. Penghasilannya sebagai buruh cuci sebesar Rp 750.000 sebulan tak banyak memberi arti.

Yang ia tahu, ia tak lagi mampu memberi uang saku kepada keempat anaknya. Yang ia tahu, segala urusan menjadi semakin sulit sehingga sang suami tak bisa lagi menjadi petani lahan tidur. Lahan itu kini telah diambil kembali oleh pemiliknya meski hingga saat ini tetap sebagai lahan tidur. Yang ia tahu, ia kini harus bangun lebih pagi untuk ke tempat kerja karena tak ada lagi jatah naik angkot.

Minah hanya mampu mengelus dada ketika anak-anaknya mengeluhkan lauk-pauk yang tak pernah lagi digoreng. Minah pun hanya bisa mengusap keringat yang bercucuran di dahi kala berdiri dalam antrean berjam-jam sekadar untuk mendapat minyak tak lebih dari 2 liter. Satu hal yang ia paham, perjuangan hidup saat ini memerlukan keringat jauh lebih banyak.

”Yang saya ngerti, sekarang makin susah. Semua mahal,” ujarnya. ”Gak ngerti apa itu repormasi,” lanjutnya.

Hal senada diungkapkan Ratmono dan Suryadi, keduanya pengemudi taksi. ”Apa sih reformasi? Oh..., yang mahasiswa ditembak itu, ya,” kata Ratmono. Wah, iya, apa bedanya, ya?” sambung Suryadi.

Namun, tak lama kemudian, Suryadi mengatakan, ”Memang ada bedanya. Kalau dulu saya kerja dua hari cukup untuk satu minggu, sekarang kerja satu minggu untuk hidup satu hari juga susah.” Ratmono pun menimpali, ”Dulu itu rasanya cari uang gampang banget, sekarang ini susah banget.”

Tak jauh beda dengan Minah, Ratmono ataupun Suryadi menghadapi kesulitan yang sama. Mereka tak mampu membayar uang sekolah anak-anak mereka, tak bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar, dan tak bisa lagi lebih sering mengirimkan dana bantuan kepada keluarga besar.

Tetap tidak baik

Dalam konteks yang sedikit berbeda, Pasaoran Purba mengatakan, dua zaman yang pernah ia lalui, yaitu Orde Baru dan Orde Reformasi, pada akhirnya tiba pada titik yang sama. ”Akhir dari dua-duanya tetap tidak baik,” kata Purba, sarjana S-1 yang kini menjalani hidup dengan menjadi pedagang lapak di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan. Ia adalah satu dari ribuan, bahkan jutaan, korban kebijakan ekonomi di negeri ini.

”Hanya prosesnya berbeda. Kalau dulu seluruh tindakan itu undercontrol atau tetap di bawah kendali, sekarang ini sepertinya tidak ada satu kekuatan yang dominan atau menonjol. Ini sebenarnya sengaja atau gimana, ya?” lanjutnya.

Tidak adanya satu kekuatan dominan atau menonjol di era sekarang ini membuka peluang tumbuhnya raja-raja kecil dan premanisme, dalam arti, baik preman ”formal” dalam seragam dinas maupun preman dalam terminologi yang sesungguhnya. Berdasarkan pengalamannya, ia melihat kondisi ini menjadi salah satu penyebab yang signifikan terkait sulitnya mengembangkan usaha, baik dalam skala kecil maupun menengah.

Keresahan Purba diformulasikan dengan pas oleh Syafiq Alielha, aktivis ’98 yang membidani lahirnya reformasi. Ia mengakui, reformasi 1998 telah meruntuhkan sistem otoritarianisme, tetapi belum menghapus sentralisme ekonomi. Bahkan, pada akhirnya, upaya yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa itu hanya melahirkan oligarki baru yang justru menjadi penguasa bidang ekonomi ataupun politik.

”Sangat ironis. Ketika mengatakan APBN defisit, gaya hidup para politisi sama sekali tidak mencerminkan kondisi itu,” ujarnya. Sementara di sisi lain, masyarakat justru berada pada titik terendah. Dalam arti, bahkan untuk bertahan hidup pun mereka kesulitan. ”Orang (sekarang ini) benar-benar sudah tidak berani berharap. Dulu, harapan (untuk bisa hidup) itu masih tetap ada,” kata Syafiq.

Selaras dengan keresahan Minah, Ratmono, ataupun Suryadi, Syafiq pun menyoroti mahalnya pendidikan. Begitu pun Lodi Paat, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta. ”Sistem (pendidikan) ini memang sangat amburadul,” kata Lodi.

Lodi menekankan, reformasi memang membuat orang berani bicara. Namun, ia khawatir, amburadulnya sistem pendidikan akan membuat orang hanya bisa bicara, tetapi tanpa makna. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan cita-cita reformasi.

Menanggapi perkembangan yang ada, baik Syafiq maupun Lodi Paat menekankan perlunya kembali pada jati diri bangsa. Dalam arti, menghidupkan kembali suasana tepo sliro atau toleransi. Lodi Paat membahasakannya sebagai melibatkan kelompok terdekat untuk saling memerhatikan dan membantu.

Sementara bagi Syafiq, reformasi bisa terjadi sesuai dengan yang dicita-citakan jika kaum muda mampu menggunakan kondisi sekarang sebagai momentum. ”Di tengah krisis kepercayaan yang terjadi, kaum muda harusnya mengambil kesempatan dengan melakukan berbagai hal yang bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada mereka,” ujarnya. Hal itu, antara lain, bisa dilakukan dengan keberanian menghapus konsep feodalisme dalam tradisi parpol.

Walau begitu, Minah, Ratmono, matupun Suryadi tidak pernah bisa mengatakan—apalagi memastikan—dari titik mana mereka harus keluar dari lingkaran kesulitan yang ada sekarang ini. ”Saya enggak ngerti harus gimana. Yang saya arepin, harga segera turun,” kata Minah. Harapan senada disampaikan Purba, Ratmono, dan Suryadi. Tak ada sedikit pun makna reformasi yang tersimpan di benak mereka....

Sumber: Kompas, Jumat, 16 Mei 2008

No comments: