Friday, May 23, 2008

Sosok: Ridwan Effendy, Spirit Kesenian Makassar

-- Nasrullah Nara

IA ikut merancang aksi ”merebut” Societeit de Harmonie ketika berlangsung reformasi 1998. Kini, Ridwan Effendy dan kawan-kawan menjadikan gedung tua itu sebagai ajang pergelaran seni yang kian diperhitungkan.

Sebelum era reformasi, gedung peninggalan Belanda itu silih berganti ditempati berbagai instansi pemerintah. Pada masa itu fungsinya sebagai gedung kesenian tenggelam. Di tangan Ridwan Gedung Kesenian Societeit de Harmonie (GKSdH) rutin untuk pentas teater, tari, musik, dan pameran seni rupa.

Rata-rata dalam sebulan di gedung tersebut ada 10 kali pertunjukan. Dari frekuensi itu, 2-3 kali di antaranya adalah hajatan seniman dari luar Sulawesi Selatan.

Kiprah Ridwan menggairahkan kesenian lewat pementasan di gedung berkapasitas 300 penonton itu setidaknya mengimbangi gersangnya Kota Makassar akan kontemplasi seni-budaya. Dahsyatnya gempuran budaya populer dan kapitalisme telah menyulap kota berpenduduk 1,5 juta jiwa ini sebagai kota sejuta ruko.

Dia mudah ditemui di gedung yang terletak di jantung Makassar, Jalan Ribura’ne 15, sekitar 100 meter arah barat balaikota itu. Selepas mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, ia menghabiskan waktunya sebagai manajer program acara di sini.

Dia salah satu tokoh yang berhasil ”memaksa” Pemerintah Provinsi Sulsel memfungsikan kembali Societeit de Harmonie sebagai gedung kesenian. Hal tersebut bermula dari reformasi 1998. Waktu itu Ridwan bersama 200-an seniman/pekerja seni yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Seniman Proreformasi (Kasprosi) menduduki gedung tersebut selama empat hari.

Pada periode awal kepengurusan Badan Pengelola GKSdH (2000-2003) yang semuanya para seniman/tokoh kesenian, Ridwan menjabat sebagai wakil direktur. Namun, pada periode kepengurusan selanjutnya, pimpinan GKSdH dijabat oleh birokrat di Pemprov Sulsel secara ex-officio. Dia menjadi manajer program acara.

Kendati hanya mendapat bantuan dana pas-pasan dari Pemprov Sulsel, GKSdH secara perlahan semakin memantapkan diri sebagai pusat kesenian di Makassar. Dengan keterbatasan fasilitas, mereka menghadirkan pertunjukan dan pameran seni, seperti teater Payung Hitam (Bandung) serta Bandar dan Tetas (Jakarta). Adapun pusat kebudayaan asing yang rutin menggelar acara di sini adalah Belanda, Jepang, Inggris, AS, Australia, dan Belgia.

Keberhasilan itu didukung terbentuknya jejaring dengan grup dan lembaga kesenian di berbagai tempat. Mereka menerapkan sistem subsidi silang. Dana yang disisihkan dari biaya kontribusi acara nonprogram dimanfaatkan untuk membiayai acara yang diprogramkan Badan Pengelola GKSdH. Sebesar Rp 1,5 juta dana yang diterima dari setiap penyelenggara acara, Rp 300.000-nya disisihkan untuk pembinaan internal.

GKSdH pun berfungsi sebagai ruang interaksi para seniman ataupun dengan orang dari beragam kalangan. Gedung itu tak sekadar fasilitas berkesenian, tetapi juga semacam ”oase” atau ”kantong budaya” di tengah kegalauan hidup sehari-hari.

Merangkak dari bawah

Ridwan mulai berkesenian ketika duduk di kelas III SMP. Tahun 1974 ia bergabung sebagai pemain di Teater Buana pimpinan S Jamalul Alam Tinggi, yang kerap pentas di Taman Hiburan Rakyat (THR) Makassar.

Kala itu Ridwan pentas di tengah hiruk-pikuk berbagai kegiatan di THR, seperti permainan ketangkasan, pedagang obat, teater boneka Baco Puraga, dan orkes melayu. Sore hari sebelum malam pementasan, mereka berpawai keliling kota dengan kostum lengkap untuk pentas.

Tahun 1976 ia menjadi anggota Studi Teater Tambora (STT), yang pementasan drama kolosal bernuansa lokalnya selalu dipadati penonton. Ia pun mendirikan Teater Kampus Unhas (TKU) pada 1984, setahun sebelum menyelesaikan studinya di Fakultas Sastra Unhas.

Pada tahun yang sama ia menjadi sutradara terbaik dalam Festival Teater Mahasiswa se-Indonesia Timur lewat lakon Orang Gila di Atas Atap karya sastrawan Jepang, Kikuchi Khan. Dengan lakon itu pula ia membawa TKU berpentas di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, sebagai finalis lomba teater dalam Porseni mahasiswa tingkat nasional.

Menjadi dosen FIB Unhas tahun 1987, pada 1989 Ridwan mengambil S-2 Ilmu Susastra pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI). Di Jakarta ia indekos di Jalan Kalipasir, bersebelahan dengan TIM.

Setelah meraih gelar magister ilmu susastra 1994, ia mengajar di UI dan IKJ, di samping mengikuti berbagai acara kesenian di Ibu Kota. Ia juga menulis laporan dan kritik seni pada koran Republika.

Ridwan ikut mendirikan Asosiasi Teater Jakarta (ATJ) tahun 1995. Pada 1996 ia menjadi Ketua Panitia Jambore Teater di Bumi Perkemahan Cibubur. Acara itu diikuti oleh lebih dari 100 grup teater dari berbagai daerah di Indonesia serta menghadirkan pakar, kritikus, dan sutradara teater.

Kembali ke Kampus Unhas pada 1997, Ridwan terpilih menjadi Ketua Harian Dewan Kesenian Makassar (DKM) 1997-2002.

Modal awal untuk setiap proses penggarapan teater, kata Ridwan, didapat dengan menyisihkan separuh gajinya sebagai dosen dan pendapatan lain di luar kesenian. Kawan-kawannya yang mapan sering membantunya mengatasi kesulitan keuangan untuk kesenian.

Di tengah maraknya hiburan populer di Makassar, ia bisa menyajikan pertunjukan teater yang menghibur dan relevan dengan situasi masyarakat. Ia juga menerapkan manajemen modern dalam organisasi teater dengan memisahkan tugas pimpinan produksi dan sutradara serta memantapkan kerja promosi dan pemasaran.

Alhasil, dalam tiga tahun terakhir ia dapat menghadirkan pertunjukan di Teater Tertutup GKSdH. Penontonnya pun berasal dari berbagai kalangan, seperti pengusaha, akademisi, dan politisi. Judul pementasan teaternya, antara lain Pakaian dan Kepalsuan karya Achdiat K Miharja (2006) dan Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam (2007).

Pada 24-27 April 2008 ia menampilkan sandiwara Konglomerat Burisrawa karya N Riantiarno. Dalam produksi Studi Teater Tambora itu, ia menggabungkan pemain senior dan pemain muda. Dengan pertunjukan teater itu, Ridwan meniupkan spirit kesenian dan keberagaman...

Sumber: Kompas, Jumat, 23 Mei 2008

1 comment:

Unknown said...

Terimakasih sudah mau memuat biografi ayah saya.