Monday, May 12, 2008

Pustakaloka: Mengglobalkan Indonesia Lewat Buku

-- BI Purwantari

Zaman globalisasi saat ini memungkinkan berbagai jenis komoditas masuk pasar dunia, tak terkecuali komoditas kebudayaan seperti buku. Di Indonesia sendiri, ribuan buku karya dan tentang negeri lain masuk dan dikonsumsi jutaan penduduk. Sebaliknya, belum banyak buku karya anak negeri ataupun tentang Indonesia yang mengisi rak-rak buku warga dunia.

Peluncuran buku terbitan Equinox berjudul Indonesian Odyssey: A Private Journey Through Indonesias Most Renowned Fine Art Collections di Balaikota Jakarta, 20 April 2008, yang antara lain dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (kiri). (Dokumentasi Penerbit Equinox/Kompas Images)

Salah satu penerbit yang berupaya membawa Indonesia masuk ke dalam perbincangan komunitas dunia adalah Equinox. Didirikan tahun 1999 oleh Mark Hanusz, seorang warga Amerika Serikat, yang menjadi pemilik sekaligus managing editor, Equinox menerbitkan puluhan buku karya penulis asing tentang Indonesia ataupun beberapa karya penulis dalam negeri. Tema-tema buku sangat bervariasi, mulai dari tema akademik, seperti analisis ekonomi, politik, ilmu sosial di Indonesia, demografi, militer, kebijakan luar negeri Indonesia, hingga tema sastra, biografi, sejarah organisasi serta produk kebudayaan Indonesia, seperti rokok keretek, kopi, ataupun seluk-beluk kehidupan warga Jakarta.

Untuk bisa masuk pergaulan global, Equinox menerbitkan karya orang Indonesia dalam bahasa Inggris, selain puluhan buku yang memang ditulis dalam bahasa Inggris. Seluruh buku terbitannya juga dijual lewat toko buku terbesar dunia, yaitu situs www.amazon.com, selain beberapa distributor dunia dan institusi akademik, seperti Institute of South East Asian Studies (ISEAS). Ragam tema dan isi yang menarik membuat cukup banyak di antara buku-buku terbitannya menjadi pembicaraan buletin, koran, dan majalah asing, seperti New York Times, Asia Observer, South China Morning Post, Straits Times, Far Eastern Economic Review, Time Asia, The Asian Review of Books, dan International Institute for Asian Studies.

Namun, Equinox tetap menyediakan beberapa judul yang diterbitkan dalam bahasa Inggris ataupun Indonesia, agar lebih banyak warga Indonesia ikut membacanya.

Dari saham ke buku

Awalnya adalah tahun 1998, ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi. Saat itu Mark Hanusz telah bekerja di Swiss Bank Corporation (SBC) selama tujuh tahun dan dua tahun ditugaskan di Jakarta menangani penjualan saham. Krisis mengakibatkan perdagangan saham sepi, tak ada orang mau menjual atau membeli saham. Alih-alih kembali ke tanah airnya, Mark Hanusz memutuskan tetap tinggal di Indonesia. Ia pun lalu melakukan riset tentang keretek dan menuliskannya dalam bentuk buku.

”Sudah sejak lama saya ingin sekali menulis buku. Saya kira itu keinginan semua orang. It’s human nature,” ceritanya. Ia pun memulai riset tentang rokok keretek yang membawanya ke berbagai tempat di Indonesia bahkan hingga ke Belanda, terutama Tropen Museum di Amsterdam dan Leiden. ”Waktu itu banyak bisnis mati di sini, tetapi industri rokok tidak. Ia justru paling laku. Dan keretek itu tidak ada di AS, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri lain. Hanya ada di sini, khas Indonesia,” papar laki-laki kelahiran 26 Juli 1976 ini.

Totalitas menulis buku dibuktikan Mark Hanusz dengan bekerja full-time dari pagi hingga malam sejak konsep hingga akhir penulisan selama 18 bulan. Ia mendatangi keluarga Nitisemito, pelopor industri rokok keretek Indonesia, untuk menuliskan sejarah awal produksi massal keretek di Kudus, Jawa Tengah. Selain itu, ia juga berkeliling ke 60 perusahaan rokok yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta pergi ke Sulawesi untuk meneliti cengkeh yang digunakan di dalam produksi keretek. ”Saya pegang semua pekerjaan saat itu, wawancara, mencari foto-foto, menulis, mengedit, dan membiayai semua proses hingga penerbitan. Tidak ada sponsor, tidak ada penerbit. I was crazy at that time,” urainya lagi.

Penerbitan buku tentang keretek itulah yang menjadi awal mula berdirinya Equinox Publishing. Buku berjudul Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes diluncurkan pada 21 Maret 2000 di Jakarta yang dimeriahkan dengan peragaan pembuatan rokok kelobot, rokok dengan pembungkus daun jagung, dan sekaligus sebagai pengumuman tidak resmi tentang Equinox. ”Sebetulnya saya tidak pandai menulis. Ada dua buku lagi yang saya tulis bersama teman setelah Kretek, tetapi tidak sebagus Kretek. Namun, saya kira saya lebih pandai mengelola bisnis buku daripada menulis buku,” jelas Mark Hanusz dengan lugas.

Tentang Indonesia

Selama delapan tahun, Equinox telah menerbitkan 74 judul buku yang menjabarkan berbagai aspek tentang Indonesia. Terbagi atas kategori fiksi, nonfiksi, illustrated books, buku-buku akademik, dan seri klasik Indonesia, Equinox menampilkan ragam persoalan dengan berbagai sudut pandang, yang ditulis oleh orang Indonesia ataupun asing.

Beberapa buku nonfiksi yang ditulis oleh Ken Conboy, seorang konsultan manajemen keamanan yang telah tinggal di Indonesia sejak 1992, misalnya, memaparkan sejarah serta seluk-beluk lembaga militer Indonesia, baik pasukan elite di ke-empat angkatan, Kopassus, ataupun lembaga intelijen negara. Buku lainnya yang ditulis oleh Wimar Witoelar mengungkap hal-hal yang terjadi saat ia menjadi Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada aspek lain, terbit juga buku tentang pembunuhan wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin, berjudul The Invisible Palace yang ditulis Jose Manuel Tesoro, seorang koresponden majalah Asiaweek. Buku ini mendapat predikat buku terkemuka dalam Kiriyama Award pada tahun 2005, sebuah institusi yang mendorong terbitnya karya-karya untuk menumbuhkan dialog kebudayaan antarbangsa di kawasan Pasifik dan Asia Selatan.

Ulasan cukup banyak diberikan kepada buku Equinox lainnya yang berjudul Jakarta Inside Out, karya Daniel Ziv, mantan Pemimpin Redaksi djakarta!. ”Berbeda dengan buku-buku tentang wisata untuk para turis, Daniel Ziv menyajikan aspek yang tidak klise tentang sebuah kota dengan bahasa populer, foto-foto dengan sudut pengambilan gambar yang tidak biasa, tetapi tetap berbasis pada pengamatan yang mendalam,” tulis majalah Time Asia. Sementara itu, Far Eastern Economic Review menyebut buku Ziv, ”Berhasil memadukan gambaran tentang karakter sebuah Ibu Kota negara dengan format baru gaya penulisan pop-art.”

Gambaran tentang Indonesia dilengkapi Equinox dengan penerbitan kembali buku-buku yang tidak lagi dicetak, tetapi memiliki arti penting dalam pembentukan pemahaman tentang Indonesia. Terdapat 16 judul yang telah terbit dan dikategorikan sebagai Classics Indonesia. Sebagian besar di antaranya pernah diterbitkan oleh Cornell University, AS, seperti buku Language and Power dari Benedict Anderson yang pernah terbit tahun 1990, Army and Politics buah pena Harold Crouch dan terbit pertama kali tahun 1978 serta pernah dilarang beredar di sini, ataupun buku Villages in Indonesia karya Koentjaraningrat yang pernah terbit tahun 1967.

Dalam peluncuran tujuh judul seri Classics Indonesia pada Maret 2007, salah satu buku, yaitu The Rise of Indonesian Communism karya Ruth T McVey, dicekal oleh Bea dan Cukai. ”Buku itu dicetak di luar negeri. Ketika dibawa masuk ke Indonesia, ditahan oleh Bea dan Cukai. Kurang jelas alasannya. Sampai saat ini tidak ada yang memberi tahu saya kenapa buku itu tidak bisa keluar dari Bea dan Cukai,” jelas Mark Hanusz.

Ketika diajukan kemungkinan komunisme sebagai alasan pencekalan, ia menjawab sambil menunjukkan keheranannya, ”Buku itu adalah buku sejarah, bukan buku yang mempromosikan ideologi komunisme. Dan semua orang sudah tahu bahwa memang dahulu di Indonesia ada partai komunis yang besar sekali. Pada saat peluncuran itu Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengatakan bahwa buku itu boleh beredar di sini.”

Margin kecil

Sebagai penerbit berbahasa Inggris yang mengkhususkan diri pada buku-buku mengenai Indonesia, Equinox mendistribusikan sebagian besar buku-bukunya keluar Indonesia. Harga banderolnya pun dipasang sesuai standar pasar dunia, mulai dari 8 dollar AS hingga 75 dollar AS. ”Penerbit buku Indonesia yang agresif sekali adalah ISEAS, sementara Oxford Asia sudah tutup dan penerbit lainnya tidak banyak,” jelasnya lagi. Dengan kata lain, di dalam pasar buku Indonesia di dunia, Equinox hampir-hampir tidak memiliki saingan.

Hingga kini buku Equinox yang cukup banyak terjual adalah novel karya Pramoedya Ananta Toer yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Tales from Djakarta sekitar 4.000 eksemplar. Buku lainnya, Jakarta Inside Out, terjual 3.000 eksemplar dalam kurun waktu empat bulan. ”Awalnya kami mencetak di luar negeri, yaitu di AS dan Inggris. Sekarang semua buku kami cetak di sini dan Equinox sudah mengeluarkan banyak buku. Jadi bisnis ini sudah lumayan,” paparnya tanpa bersedia menyebutkan omzet yang didapat setiap tahun.

Meskipun demikian, Equinox memiliki komitmen lain, yaitu turut melestarikan lingkungan hidup, terutama hutan Indonesia. Oleh karena itu, sejak awal penerbitan buku seri Classics Indonesia, Equinox menggunakan kertas daur ulang yang diimpor dari Denmark. ”Ongkosnya memang lebih mahal sehingga margin profit kecil, but it’s good for the environment,” ujarnya.

Untuk menyiasati ongkos yang mahal tersebut, Equinox menerapkan sistem print on demand (POD), yaitu mencetak sesuai permintaan. Hal ini akan menghindari buku dengan ongkos produksi lebih mahal menumpuk di gudang. Hingga saat ini buku Java in A Time of Revolution karya Ben Anderson merupakan buku dari kategori ini yang paling banyak diminati. (BI Purwantari/Litbang Kompas)

Sumber: Kompas, Senin, 12 Mei 2008

1 comment:

infogue said...

Artikel di blog Anda sangat menarik dan berguna sekali. Anda bisa lebih mempopulerkannya lagi di infoGue.com dan promosikan Artikel Anda menjadi topik yang terbaik bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. Telah tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://www.infogue.com
http://buku.infogue.com/pustakaloka_mengglobalkan_indonesia_lewat_buku