Friday, May 16, 2008

Fokus: Pemainnya Dia Lagi Dia Lagi

-- Khairina

SEANDAINYA Bung Hatta masih hidup, barangkali dia menangis menyaksikan mimpinya padam di tangan generasi berikutnya. Mimpi Bung Hatta agar tercipta kebun koperasi yang buahnya dipetik oleh segenap rakyat Indonesia kandas di tengah jalan. Kebun itu hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha dan penguasa, dan tak lagi tersisa untuk rakyat.

Era reformasi justru menciptakan ketimpangan yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin. Reformasi memang berhasil menggulingkan kekuasaan sebelumnya, yang juga memangkas monopoli ”Keluarga Cendana” di bidang ekonomi. Namun, muncul pengusaha dan penguasa baru yang tetap saja menguasai sektor-sektor strategis bagi rakyat.

Nani, perajin batik tulis skala kecil di Banaran, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, adalah salah seorang pengusaha kecil yang megap-megap di era reformasi. Dia masih mengingat saat-saat usahanya berjaya belasan tahun lalu. Saat itu, dari Sukoharjo, dia menyetor batik tulis dan batik jumputan mulai dari Pasar Klewer, Solo, hingga ke Pasar Beringharjo, Yogyakarta, bahkan sampai ke Sumatera.

”Dulu, belum lagi warna batik kering, sudah ditunggu orang. Saya kalau membatik nonstop, dari pagi sampai malam,” ujar Nani.

Usaha Nani mulai seret saat krisis moneter melanda Indonesia awal 1998. Di era reformasi, yang kata orang era perbaikan ekonomi, usahanya malah semakin terpuruk. Harga bahan baku naik tak terkendali, demikian juga tarif listrik dan bahan bakar minyak. Di sisi lain, produk batik tulis hancur digempur oleh berbagai produk batik sablon dan produk tekstil asal China.

”Tak ada lagi yang mau pakai batik tulis dan seprai jumputan karena katanya mahal. Saya enggak mungkin jual murah karena selain harga bahan bakunya mahal, batik tulis kan pengerjaannya juga lama dan sulit,” ujar Nani.

Dia kini memilih menutup usahanya dan bergantung semata pada pesanan yang datang sesekali. Nani juga menerima perbaikan batik.

Pengusaha kecil seperti Nani dan pengusaha di bidang pertanian, tekstil, industri makanan, dan lainnya yang tergolong sektor tradable memang semakin terpuruk pascakrisis ekonomi. Menurut ekonom Faisal Basri, sektor tradable yang menopang hidup sebagian besar rakyat justru harus menopang sektor non-tradable yang dikuasai segelintir orang. Sektor non-tradable, misalnya listrik, jalan tol, televisi, air minum, perkebunan, dan jasa.

Pada era perdagangan bebas, sektor tradable dituntut untuk bisa bersaing di pasar global. Di sisi lain, tidak ada insentif dari pemerintah untuk sektor ini. Tarif listrik, air, dan harga bahan baku terus naik sehingga banyak pengusaha kecil megap-megap. ”Ibaratnya, disuruh bersaing bebas, tapi kaki diinjak,” kata Faisal.

Era Soeharto

Pada era Soeharto, sektor non- tradable dikuasai oleh klan ”Cendana” dan kroni-kroninya. Pada era reformasi, sektor-sektor ini memang tidak lagi dikuasai oleh keluarga Cendana namun kepemilikannya berganti oleh segelintir pengusaha lain.

”Harus diakui, perbaikan di era reformasi memang ada. Monopoli banyak yang diberangus, BPPC sudah enggak ada, terigu boleh impor, kalau dulu kan enggak boleh. Ruang ekonomi makin terbuka sekalipun pemainnya, ya, dia lagi dia lagi,” kata Faisal.

Data dari Badan Pusat Statistika menunjukkan, pertumbuhan sektor tradable merosot pada akhir kuarter keempat 2007 dibandingkan dengan kuarter sebelumnya. Pada kuarter ketiga 2007, sektor tradable tumbuh 5,2 persen, sementara sektor non-tradable tumbuh 7,9 persen. Namun, pada kuarter keempat, sektor tradable pertumbuhannya hanya 2,3 persen dan sektor non-tradable tumbuh 10,6 persen.

Pertumbuhan sektor pertanian turun tajam, dari 8,9 persen pada kuarter ketiga 2007 menjadi 3,1 persen pada kuarter keempat 2007. ”Belum ada insentif yang baik di bidang pertanian. Orang menjadi petani karena terpaksa, bukan karena sektor pertanian memang menjanjikan,” ujar Faisal.

Pada era reformasi juga belum ada upaya konkret untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Pada 2007, garis kemiskinan nasional mencapai 16,6 persen dari jumlah penduduk, dan pengangguran mencapai 9,1 persen dari angkatan kerja. Bandingkan dengan kondisi sebelum reformasi, dengan garis kemiskinan nasional 15,7 persen dari jumlah penduduk dan angka pengangguran mencapai 4,9 persen dari angkatan kerja.

Penduduk nyaris miskin dan miskin absolut ini, kata Faisal, jumlahnya bertambah terutama karena kenaikan harga bahan bakar minyak yang keterlaluan pada 1 Oktober 2005. Masyarakat miskin sangat rentan terhadap gejolak harga, terutama harga pangan.

”Semestinya ada upaya dari pemerintah untuk memberdayakan masyarakat sehingga dalam kondisi gejolak apa pun, masyarakat bisa bertahan,” katanya.

Neokolonialisme

Nyatanya, reformasi justru menciptakan ketergantungan negara kepada pihak asing di beberapa sektor. Hal ini diamini oleh peneliti di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir. Bagi Soni, panggilan akrab Revrisond, era reformasi adalah era penyempurnaan neokolonialisme yang sebelumnya telah diciptakan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

”Reformasi itu dimulai dengan penandatanganan letter of intent dengan IMF dan itu justru menghabisi demokrasi ekonomi,” tambah Soni.

Di era reformasi justru dilakukan amandemen Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menghilangkan bagian penjelasan. Padahal, dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tercantum dasar demokrasi ekonomi, yakni produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dan di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.

”Demokrasi ekonomi artinya semua anggota masyarakat harus ikut serta dalam produksi nasional, tidak boleh ada yang menganggur. Jadi, sebenarnya secara konstitusional ekonomi Indonesia menghendaki full employment,” katanya.

Namun, era reformasi justru membuka lebar keran neokolonialisme, memperkuat apa yang sudah dilakukan pada era Soeharto, dengan UU Penanaman Modal Asing-nya. Undang-undang yang muncul pada era reformasi, kata Soni, lebih drastis dibandingkan era sebelumnya. Ada UU Migas, Ketenagakerjaan, air, dan undang-undang lain yang tidak prorakyat.

”Tapi target mereka (komprador asing) belum selesai. Mereka ingin mengamandemen seluruhnya Pasal 33 UUD,” kata Soni.

Itu sebabnya, Soni memperkirakan kondisi sepuluh tahun ke depan akan lebih buruk. ”Yang dibutuhkan sekarang adalah pemimpin bangsa yang kuat, yang tidak tunduk kepada kepentingan asing,” tambahnya.

Sumber: Kompas, Jumat, 16 Mei 2008

No comments: