Sunday, May 11, 2008

Kembalikan Bahasa pada Puisi

-- Yunit Permadi*

PUBLIK pernah dihentakkan oleh kredo puisi dari ”presiden”penyair Sutardji Calzoum Bachri.Kredo tersebut ditulisnya dalam kumpulan O Amuk Kapak. Baginya,penulisan puisi adalah mengembalikan kata pada mantra.

Kredo ini juga bukan hanya penolakan tentang kemapanan makna bahasa,melainkan juga bicara tentang esensi bahasa.Di dalam puisinya kita dapat menemukan kata yang bermain-main, merujuk ke berbagai arah, bahkan juga kadang tak merujuk apapun.

Dalam kehidupan sehari-hari, hubungan kata dengan yang dirujuknya (penanda dan petanda) memang kerap kali tak bisa dihindarkan. Sebab, komunikasi dapat berjalan akibat adanya pengertian bersama mengenai sesuatu yang dirujuk oleh bahasa itu. Juga kerap kali pengembangan bahasa oleh moralitas tak terhindarkan. Ada pemilahan tegas antara mana bahasa yang baik dan mana yang tidak.

Namun, itu sebenarnya bukanlah esensi bahasa.Itu merupakan bahasa yang telah terkontaminasi berbagai hal,mulai dari budaya,politik,sampai moralitas.Di dalam bahasa,seakan sudah terdapat hal yang kotor, hal yang baik, dan yang buruk.

Pelimpahan makna langsung, referensi, dan moralitas kepada bahasa menjadikan bahasa tak lagi otonom pada dirinya, tak lagi mampu menggapai maknanya sendiri, melainkan selalu ditunggangi maknanya.Bahasa menjadi kerdil dan sempit. Hikmah yang bisa diambil dari praktik bahasa sehari-hari adalah bahwa bahasa merupakan language game.

Suatu permainan bahasa dalam konteksnya yang berbeda-beda.Perbedaan- perbedaan bentuk dan ungkapan bahasa dalam berbagai budaya merepresentasikan itu. Dalam keberbedaan itu,bahasa sejatinya hanyalah permainan dan konsensus di dalam masyarakat dan budaya tertentu.

Makna bahasa di sini dimengerti sebagai hasil konsensus dan permainan dalam masyarakat tertentu. Makna dimengerti bukan sebagai sesuatu yang given dan stabil,melainkan sesuatu yang selalu bisa dinegosiasikan. Dengan itu, bahasa pada mulanya sesuatu yang dapat secara langsung dan penuh merepresentasikan realitas. Bagaimana sebenarnya hakikat bahasa? Tulisan ini berusaha untuk menjawab persoalan tersebut.

Bahasa Bukan Gambaran Realitas

Bicara mengenai apa sebenarnya bahasa tak pernah bisa lepas dari seorang filsuf asal Austria, Ludwig Wittgentsein. Dalam perkembangan pemikiran Ludwig Wittgenstein terdapat dua tahapan perkembangan pemikiran.Tahap perkembangan ini tidak saja bermakna periodik, tetapi juga terkait perubahan pandangan Wittgenstein mengenai bahasa itu sendiri.

Tahapan itu sering kali dinamai sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Perkembangan pemikiran tersebut demikian: pada awalnya Wittgenstein memandang bahasa sebagai picture of reality(gambaran realitas).Namun, di kemudian hari pandangan ini berubah. Dengan melihat pada realitas penggunaan bahasa sehari-hari masyarakat dalam setiap budaya, akhirnya Wittgensein menyadari bahwa bahasa sebenarnya adalah kegunaan (language as use).

Language as use berarti bahwa bahasa merupakan bentuk dari konsensus, sebagai alat untuk menampilkan realitas, bukan realitas itu sendiri. Berbagai bentuk kehidupan dalam banyak budaya menampilkan dan menegaskan hal tersebut. Bagaimana bahasa digunakan secara berbeda oleh berbagai anggota komunitas masyarakat.

Perubahan bahasa dari language as picture of reality ke language as use ini menegaskan bahwa sebuah kata, pada dirinya sendiri,tak pernah langsung dapat merujuk kepada objek atau benda di luar bahasa. Memakai istilah Jacques Derrida,dalam bahasa selalu terdapat di dalam dirinya ”perbedaan” dan ”penundaan”. Dalam bahasa selalu mengandung penundaan karena ia tak pernah bisa langsung merepresentasikan dan merujuk kepada sesuatu di luar bahasa.

Sekali lagi,bahasa yang digunakan sehari-hari pada awalnya bukanlah sesuatu yang telah mengandung dan merujuk makna. Karena itu, bahasa juga tak pernah bisa dibebani budaya, politik, dan moralitas. Pada dirinya sendiri, tidak ada kategori baik dan buruk dalam bahasa. Tidak ada sebuah kata yang mengandung keburukan, juga sebaliknya tidak ada sebuah kata yang mengandung kebaikan. Kebaikan dan keburukan dalam bahasa tak lain merupakan beban yang dilimpahkan oleh manusia terhadapnya.

Bahasa sebagai Puisi

Bentuk pengejawantahan bahasa yang paling murni sebenarnya ada dalam puisi. Dalam puisi, bahasa lepas dari berbagai beban-beban makna yang tadinya telah terdapat dan digunakan dalam kehidupan seharihari. Dalam puisi, penulis dan pembaca meletakkan bahasa dalam hakikatnya yang fundamental.

Kata-kata dalam puisi menemukan kebebasan dan otonominya karena ia tak terjerat makna konvensional bahasa. Kategori baik dan buruk juga lebur di dalam bahasa puisi.Tidak ada sebuah kata yang dinilai baik, juga tak ada kata yang dinilai buruk.Bahasa betul-betul menemukan hakikat ontologisnya.

Hakikat bahasa sebagai puisi juga ditegaskan misalnya oleh Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman.Dalam pandangannya, kebenaran hakikat bahasa sesungguhnya terdapat dalam puisi. Mengapa? Karena di dalam puisi, bahasa menemukan eksistensinya. Lebih jauh Heidegger menyatakan bahwa dimensi fundamental bahasa sebenarnya adalah ”diam”.

Ia menganggap bahwa bahasa verbal yang digunakan dalam kehidupan sehari- hari bukan merupakan representasi realitas. Realitas sebenarnya tak pernah bisa direpresentasikan oleh bahasa secara utuh.Sebab,dalam bahasa verbal selalu ada reduksi dan distorsi. Dalam diam hakikat bahasa terjelma secara utuh.

Tidak ada distorsi, tidak ada reduksi, tidak ada beban makna, dan juga tidak ada tanggung jawab baik dan buruk. Itulah hakikat sebenarnya bahasa. Bahasa tidak dapat langsung merujuk kepada realitas. Beban makna baik dan buruk dalam bahasa bukanlah hakikat dari bahasa itu sendiri, melainkan makna yang dibebankan pada bahasa.

Referensi yang selalu dialamatkan dalam bahasa juga bukan merupakan sifat dari bahasa,melainkan bentuk tanggung jawab yang dilimpahkan pada bahasa.Maka,benar apa yang dikatakan Sutardji Calzoum Bachri, ”kembalikanlah kata pada mantra itu sendiri”.(*)

* Yunit Permadi, Peneliti Freedom Foundation, Jakarta

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 11 Mei 2008

No comments: