Saturday, May 31, 2008

Fokus: Memahami Pancasila Lewat Museum

KENDARAAN lapis baja itu masih tampak terawat. Panser bertipe PCMK-2 Saraceen asal Inggris itu menjadi atraksi pertama yang langsung bisa dinikmati begitu melangkahkan kaki memasuki gerbang Monumen Pancasila Sakti di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur. (Dok SP)

Pada 1976, panser itu dipakai untuk mendukung operasi militer di Timor Timur (sekarang Timor Leste, Red). Pada Juli 1985, panser tersebut ditarik dari medan perang untuk diabadikan di monumen.

Bukan semata-mata karena pernah dipakai mendukung operasi militer, tapi panser itu dilestarikan di tempat itu. Panser itu ternyata termasuk saksi bisu Peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Buku panduan monumen menyebutkan panser itu dipakai untuk mengangkut jenazah korban G30S menuju Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta Pusat guna pemeriksaan visum et repertum. Jenazah-jenazah itu kemudian disemayamkan di Mabes Angkatan Darat.

Selain panser, kendaraan bersejarah lain yang dipajang di tempat itu adalah kendaraan dinas yang digunakan Soeharto, kemudian menjadi Presiden kedua Indonesia, pada 1965, yakni jip kanvas bermerek Toyota berwarna hijau tentara. Di sebelahnya, dipajang mobil dinas Jenderal Anumerta A Yani. Seperti jip kanvas dan beberapa kendaraan lain yang dipajang, mobil beregistrasi AD-01 itu tersimpan di bawah pendopo. Pagar rantai menjadi batas pengunjung yang ingin melihatnya.

Tidak jauh dari area parkir, terlihat replika truk berwarna abu-abu yang digunakan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mengangkut jenazah DI Panjaitan (mayor jenderal anumerta, Red) ke Lubang Buaya. Truk bermerek Dodge produksi 1961 itu merupakan kendaraan rampasan, milik Perusahaan Negara (PN) Arta Yasa.

Kendaraan-kendaraan bersejarah itu selama ini tak banyak dikisahkan. Keberadaannya kalah populer dengan lubang maut dan diorama-diorama yang mengisahkan peristiwa berdarah, bagian dari sejarah kelam republik ini. Monumen Pancasila Sakti itu resmi dibuka pada 1972, dibangun untuk mengenang Peristiwa G30S. Selain itu, pemerintah juga membangun Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) yang dibuka untuk umum sejak 1992.

Pembangunan kedua fasilitas tersebut, seperti dijelaskan petugas di museum tersebut, untuk mengingatkan generasi penerus mengenai pemberontakan PKI yang merenggut banyak korban, demi tercapainya tujuan mereka yaitu mengganti Pancasila dengan paham komunis sebagai ideologi negara. Fasilitas publik yang dikelola Pusjarah TNI itu, merupakan kumpulan fakta sejarah yang dapat dipelajari generasi penerus agar tetap setia dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara.

Mudah mencapai tempat itu. Kendaraan umum mikrolet M 28 dan Metro Mini T 45 melintasi kawasan tersebut. Lokasinya tak jauh dari Taman Mini Indonesia Indah. Tiket masuknya Rp 1.500.

Museum

Memasuki area, pengunjung harus mengikuti rute kunjungan, yakni Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), Gedung Paseban, dan Monumen Pancasila Sakti. Pengelola menyediakan jasa pemandu bagi perorangan maupun rombongan.

Tiga foto mozaik hitam putih di Ruang Intro menyongsong pengunjung yang memasuki museum. Masing-masing menggambarkan kekejaman PKI pada pemberontakan Madiun, penggalian jenazah korban keganasan Peristiwa G30S, dan pengadilan gembong PKI oleh Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).

Mengikuti alur, pengunjung dapat menikmati diorama-diorama yang menggambarkan berbagai kegiatan makar dan pengkhianatan PKI di seluruh wilayah Nusantara sejak 1945. Diorama pertama adalah Peristiwa Tiga Daerah pada 4 November 1945. Sejumlah 34 diorama berderet di sisi kanan-kiri menghiasi gedung berlantai dua itu.

Dilengkapi pendingin ruangan, pengunjung dapat menikmati tur sejarah tanpa pemandu, karena setiap diorama mencantumkan keterangan peristiwa yang digambarkannya. Masih di lantai satu, bagi pengunjung yang jeli, dapat melihat kilauan lampu flip-flop pada sketsa konsep umum rencana operasi penumpasan pemberontakan PKI Madiun 1948.

Di tempat itu juga dipamerkan beberapa senjata, seperti pistol jenis FN dan senapan milik DI Panjaitan, serta seragam pasukan PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak) lengkap dengan benderanya. Mendekati pintu keluar, di sisi kanan terdapat tulisan: "Jangan biarkan peristiwa semacam itu terulang kembali. Cukup sudah tetes darah dan air mata membasahi bumi pertiwi. Untuk itu pelihara dan tingkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Selamat jalan dan merdeka."

Foto-foto pengangkatan jenazah dan pemakaman Pahlawan Revolusi bisa disaksikan di salah satu bagian Gedung Paseban. Berdekatan dengan ruang pameran foto itu, terdapat ruang relik yang memamerkan pakaian korban, petikan visum, termasuk alat bantu pernafasan (aqualung) yang dipakai dalam pengangkatan jenazah.

Di sumur bergaris tengah 75 cm ini, tujuh pahlawan revolusi ditemukan dalam peristiwa G30S/PKI. (Dok SP/Yatti Harjiyo)

Monumen

Jalan menuju monumen melintasi lapangan berumput yang digunakan untuk upacara Hari Kesaktian Pancasila. Menaiki tangga, terlihat bangunan seperti pendopo bertonggak empat lengkap dengan penutupnya. Itulah cungkup dari sumur tua tempat menimbun jenazah korban Peristiwa G30S. Dalamnya 12 meter dan berdiameter 75 cm. Pada bagian mulut sumur, terdapat prasasti dengan tulisan ejaan lama. "Tjita-tjita perdjoeangan kami untuk menegakkan kemurnian Pantja Sila tidak mungkin dipisahkan hanja dengan mengubur kami dalam sumur ini, Lubang Buaja, 1 Oktober 1965."

Di sebelah kiri sumur, bisa disaksikan rumah yang dijadikan tempat penyiksaan keempat korban. Patung Pierre Tendean, R Soeprapto, S Parman, dan Soetojo Siswomihardjo yang disiksa, tergambar pada diorama yang dikelilingi kaca berwarna hitam itu.

Tidak jauh dari bangunan itu, terdapat rumah yang dijadikan pos komando untuk mempersiapkan rencana penculikan. Rumah berwarna putih pucat itu masih dipertahankan keasliannya. Tiga buah lampu petromaks, mesin jahit, dan lemari kaca dilestarikan sebagai peninggalan sejarah. Di seberangnya, bisa dilihat bangunan rumah yang dipakai sebagai dapur umum.

Tugu Pahlawan Revolusi bisa disaksikan 45 meter sebelah utara sumur maut. Di latar belakang tampak patung Garuda Pancasila. Ketujuh patung Pahlawan Revolusi, gelar bagi korban Peristiwa G30S, berdiri berderet setengah lingkaran dari barat ke timur.

Seharian mengunjungi monumen dan museum, pengunjung dapat beristirahat sejenak atau menikmati hidangan makanan yang tersedia di kantin dekat area parkir. Bahkan, pengunjung dapat memesan makanan cepat saji asal Negeri Paman Sam kepada pegawai kantin. [Raymond R Sumampouw]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 31 Mei 2008

No comments: