Saturday, May 24, 2008

100 Tahun Kebangkitan Nasional: Seni Tradisi di Antara Geliat Anak Muda

Jakarta – Gembar-gembor satu abad Kebangkitan Nasional, termasuk perayaan yang tercatat di Museum Rekor Indonesia (Muri) di Stadion Gelora Bung Karno, Selasa (20/5) malam, mungkin hanya dirasakan di Ibu Kota Jakarta saja. Kebangkitan Nasional itu tidak terasa jika sudah memasuki daerah-daerah terpencil.

Belasan tahun yang lalu, pengarang novel laris Laskar Pelangi, Andrea Hirata, mengalami masa-masa sulit menuntut ilmu. Bangunan sekolahnya nyaris roboh, jika malam, bangunan itu digunakan untuk kandang kambing. Ia masih lebih baik karena jika ke sekolah hanya dengan berjalan kaki saja.

Temannya, Lintang, anak tercerdas di sekolahnya, harus menaiki sepeda, berjalan kaki, menyeberangi sungai, yang berjarak 40 km. Artinya, ia harus menempuh jarak 80 km untuk pergi dan pulang sekolah.
Itu belasan tahun yang lalu, dan mungkin orang menyangka itu hanya ada dalam cerita Laskar Pelangi saja. Faktanya, keadaan itu belum berubah sampai sekarang.

”Secara pribadi, kita juga harus fair kepada pemerintah. Dalam beberapa hal, kita maju, tapi tidak semuanya. Di bidang pendidikan, misalnya. Apa yang saya ceritakan belasan tahun lalu ternyata masih terjadi, lho, sekarang. Masih ada sekolah yang mau roboh, atau sekolah yang disenggol kambing saja sudah roboh,” kata Andrea.

Mira Lesmana menganggap keadaan kita lebih parah daripada yang diceritakan Andrea. ”Menurut saya, ini adalah titik kritis Indonesia,” katanya.

Mira bukan hanya menyoroti pendidikan, ia juga menyoroti masalah korupsi, juga kekerasan yang terjadi di mana-mana.

”Apakah Indonesia seperti ini yang kita harapkan sejak merdeka? Kita betul-betul membutuhkan rasa keindonesiaan. Menurut saya, kita sedang krisis kebudayaan. Identitas kita tidak bisa dilihat,” kata Mira.

Budaya Anak Muda

Tentang kebudayaan, banyak yang memiliki pendapat berbeda. Djaduk Ferianto, misalnya, memandang anak muda sekarang tengah membentuk kebudayaannya sendiri. ”Anak muda dikatakan tidak konsen terhadap tradisi. Itu perlu digali lagi, apakah benar? Justru anak muda baru menciptakan tradisi yang baru, tinggal kesiapan kita aja untuk menerima yang baru,” katanya.

Boleh jadi ada yang meremehkan anak muda, tapi tidak sedikit pula anak muda yang mengapresiasi seni tradisinya. Djaduk, semasa muda, misalnya, sudah mengotak-atik seni tradisi. Sampai saat ini ia bersama dengan adiknya, Butet Kertaredjasa, mengelola Kua Etnika yang menggabungkan seni tradisi dan modern.

Mungkin hanya cara mereka saja yang belum dipahami. Anak muda punya caranya sendiri untuk mengekspresikan nasionalismenya. Musik, film, atau bidang seni lainnya bisa saja menjadi media.

Di era 1970-an, ada Guruh Soekarnoputra yang memopulerkan gamelan Bali ditambah dengan rock ballad. Kini, ada Bondan Prakoso, mantan basis Funky Kopral, yang berkolaborasi dengan Fade 2 Black yang membawakan ”Kroncong Protol”.

”Ini contoh anak muda yang membela negerinya dengan musik,” kata Bens Leo dalam peluncuran film dokumenter Astro Awani bekerja sama dengan Garin Nugroho, Sepasang Mata Bola dan 10 episode dokumenter musik Indonesia, yang disutaradai Kamila Andini, Dian W Sasmita, dan Renny Fernandez.

Contoh paling dekat adalah Slank dan Iwan Fals yang banyak mendapat sorotan pemerintah atas syair-syair kritisnya.

Mungkin orang-orang seperti mereka yang membuat Garin berpikiran bahwa musik, lagu, dan musikus punya peran penting dalam mengartikan kebangkitan nasional. ”Kebangkitan Nasional selama ini dimaknai secara profesional, padahal banyak sisi lain dari Kebangkitan Nasional,” kata Garin dalam pembuka film dokumenter yang diproduserinya itu.

Dan pemaknaan Garin itu, jauh dari gemuruh perayaan Kebangkitan Nasional secara formal seperti yang diselenggarakan di Stadion Gelora Bung Karno yang lalu. (mila novita)

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 24 Mei 2008

No comments: