Saturday, May 24, 2008

Teropong: Candi dan Tanggung Jawab Sosial Arkeolog

SETELAH kendaraan minibus itu menuruni tebing sungai, lalu dinaikkan secara perlahan ke ponton penyeberangan, Hasan Muarif Ambary akhirnya menarik napas panjang. Arkeolog bertubuh tambun itu menyusul turun dan naik ke ponton, bersiap melanjutkan kembali perjalanan untuk menguak tabir kehidupan masa lampau di daerah ini.

Bata berelief yang ditemukan di reruntuhan Candi Bumiayu di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanahabang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Candi ini diduga dibangun pada era Kerajaan Sriwijaya pada abad 9-13 Masehi. Keterbatasan dana menyebabkan penggalian yang mulai dilakukan sejak 1991 ini belum selesai hingga Kamis (8/5). (Kompas/Ahmad Arif)

Siang itu air Sungai Lematang—yang bermuara ke Sungai Musi—tidak terlalu keruh. Ponton bermuatan penumpang dan barang bergerak pelan membelah sungai, menuju titik persinggahan di Desa Teluk Lubuk. Dua lelaki bule yang ikut dalam perjalanan itu, Pierre Y’ves Manguin dan E McKinnon, sibuk dengan kamera mereka masing-masing.

Pada musim kemarau, Sungai Lematang memang berair surut, terlebih di bagian hulu. Pada banyak tempat, bagian tepinya membentuk semacam ”delta-delta”, yang oleh warga setempat mereka sebut ”tanah tumbuh”. Pada bagian ini tebingnya agak landai, tetapi tak bisa dirapati kapal-kapal motor berukuran agak besar seperti untuk ponton penyeberangan. Karena itu, dermaga untuk alat angkutan sungai semacam itu dipilihkan tempat yang relatif lebih dalam, tetapi dengan risiko berada di tepian sungai yang bagian tebingnya agak terjal.

Siang pada minggu ketiga Juli 1990 itu, serombongan arkeolog yang dipimpin Kepala Puslitbang Arkeologi Nasional Hasan Muarif Ambary tengah melakukan semacam perjalanan ”tapak tilas”. Berbekal catatan-catatan lepas Tombrink, Knapp, Schnitger, serta para naturalis dan arkeolog terdahulu tentang berbagai tinggalan purbakala di Sumatera Selatan (waktu itu juga mencakup Bangka dan Belitung), setiap situs yang pernah dikunjungi mereka ditengok ulang.

Perjalanan itu sendiri dimaksudkan sebagai survei pendahuluan untuk penelitian yang lebih intensif tahun berikutnya. Situs Bumiayu yang berada di wilayah Kecamatan Tanahabang termasuk salah satu yang disurvei, bersama situs Dangku dan situs Modong yang berada di wilayah Kecamatan Gelumbang.

Pierre Y’ves Manguin dari EFEO (Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh) dan E McKinnon, tenaga ahli dari Skotlandia, disertakan untuk membantu Puslitbang Arkeologi Nasional mendata ulang dan memetakan peninggalan sejarah purbakala Indonesia. Bambang Budi Utomo dari Puslitbang Arkeologi Nasional serta Junus Satrio Atmojo selaku Kepala Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala (SPSP) juga ikut dalam rombongan tersebut.

Sesampai di lokasi, kondisi lapangan memang cukup mengenaskan. Tumpukan bata, pecahan-pecahan keramik dari zaman Yueh (sekitar abad X), serta potongan antefiks alias simbar untuk bagian sudut bangunan candi ditemukan teronggok di belakang balai desa, persis di atas gundukan tanah setinggi sekitar 1 meter. Wartawan Kompas yang ikut dalam rombongan itu juga menemukan potongan kemuncak, yang biasanya ditempatkan pada bagian atap candi.

Hanya dengan sedikit mengorek gundukan tanah dengan ranting pohon, struktur candi yang terbuat dari kumpulan batu bata berukuran 30,5 x 21 x 8,3 cm sudah terkuak. Di beberapa lokasi lain, setiap ada gundukan tanah, begitu tanahnya sedikit dikorek, muncul struktur bangunan terbuat dari batu bata.

Hasan Muarif Ambary terlihat sangat bersemangat. Sebelumnya ia sempat kecewa ketika singgah di Modong lantaran gagal mencocokkan catatan terdahulu dengan kenyataan di lapangan. Sisa-sisa bangunan candi di wilayah sudah hilang tergerus erosi Sungai Lematang.

Begitupun ketika menengok situs candi di Desa Dangku. Tim hanya mendapat cerita dari kepala desa setempat, Mahusin, bahwa sisa-sisa bangunan candi di sana musnah bersamaan pembuatan pelabuhan ponton oleh Stanvac, perusahaan pengeboran minyak bumi di Kecamatan Talang Ubi, Pendopo. Bahkan, menurut Mahusin ketika itu, patung temuan dari lokasi bekas candi tersebut juga diangkut dan dibawa entah ke mana.

Candi Hindu-Buddha

Setelah melalui proses panjang sejak dilakukan penelitian intensif tahun 1991, kini struktur bangunan yang terpendam dalam gundukan-gundukan tanah selama berabad-abad itu sudah dimunculkan kembali. Sebuah gugusan percandian di atas lahan seluas sekitar 100 hektar bagai menyembul dari masa silam, menampakkan jati diri beserta peradaban yang diusungkannya pada sekitar abad IX hingga XIII.

”Berdasarkan data arkeologis yang bisa dikumpulkan, terlihat bahwa wilayah Bumiayu menjadi tempat terpenting sebagai entrepot, semacam gudang barang, bagi produk pertanian dan bahan baku lainnya yang diperoleh dari daerah pedalaman Kerajaan Sriwijaya yang kala itu berpusat di Palembang sekarang,” kata Nurhadi Rangkuti, arkeolog yang juga Kepala Balai Arkeologi Palembang.

Dari kondisi dan temuan-temuan arkeologis yang terpapar, kuat dugaan bahwa kawasan candi pernah dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, baik oleh para penganut agama Hindu maupun Buddha. Walau lebih menonjol tinggalan-tinggalan yang bercorak Hindu dalam wujud pemujaan Tantris Siwa, seperti terlihat dari temuan arca Siwa dan Agastya, tetapi tinggalan yang bisa dirujuk pada pemujaan Buddha pun bisa ditemui. Tak terlihat adanya indikasi kedua agama tersebut berbenturan sehingga menimbulkan konflik antarpara penganutnya. Secara tidak langsung, hal ini menggambarkan bahwa pada masa itu terlihat ada semacam harmonisasi dalam kehidupan, di mana satu sama lain saling menghormati dalam beribadah.

Kompleks percandian yang terletak hanya beberapa puluh meter dari tepi Sungai Lematang, sekitar 165 kilometer barat daya Palembang, itu sendiri memang baru empat yang sudah dipugar dari sedikitnya sembilan ”gundukan tanah” yang diindikasikan bekas bangunan candi. Sejak dilakukan penelitian intensif pada awal 1990-an, dilanjutkan pengupasan dan pemugarannya, berita tentang keberadaan gugusan candi di Bumiayu segera menyebar ke seantero wilayah ini.

Bahkan, atas prakarsa Balai Arkeologi Palembang, para siswa tingkat SMA kerap dilibatkan dalam penelitian lapangan. Hal itu tak lain dimaksudkan untuk mengeksplorasi ingatan publik tentang warisan budaya dan peradaban masa lampau.

”Ini semacam bentuk tanggung jawab sosial arkeolog kepada publik. Selama ini tertanam kesan bahwa dunia arkeologi itu eksklusif. Arkeolog asyik dengan dunianya sendiri, seolah mereka hidup terpisah dengan masyarakat,” kata Nurhadi.

Meski selama ini lebih banyak hanya sebagai penonton, kecuali dalam pembebasan lahan dari penduduk, pemerintah kabupaten setempat sudah mengklaimnya sebagai bagian dari aset wisata budaya. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan bukan saja telah mencantumkan kawasan ini dalam ”peta” daerah tujuan wisata, tetapi juga dijadikan salah satu titik yang ”dijual” dalam kalender Visit Musi, yang merupakan bagian dari gerakan Tahun Kunjungan Indonesia 2008.

Namun, sayangnya, kepedulian mereka baru sebatas itu. Jangankan membantu pendanaan pemeliharaan (apalagi pemugarannya), menyediakan rambu dan informasi yang memadai tentang lokasi candi pun masih setengah hati. Kecuali tanda kecil di Simpang Belimbing, tak satu pun tanda penunjuk jalan hingga lokasi candi yang dipasang. ”Pemerintah daerah memang tak ada yang peduli,” kata sang penjaga candi. (aik/ken)

Sumber: Kompas, Sabtu, 24 Mei 2008

No comments: