Sunday, May 04, 2008

Esai: Politisasi Estetika

-- Miming Ismail*

DI atas kegairahan yang menghiasi etalase industri kesenian negeri ini, patut dicurigai perangkap estetika dan politik kesenian era kapitalisme.

Bahkan, ketika industri film mulai bergairah mempertontonkan lakon heroisme, patriotisme, kegetiran hidup,hingga romantika anak muda berbau spiritual dalam narasi cerita yang tercipta dari sineas kita. Fenomena kerumunan massa yang tumpah dalam fantasi, baik dalam tontonan film maupun pentas musik, adalah cerminan dari hilangnya refleksi diri dalam lanskap budaya massa.

Akibatnya, kesenian tak lagi memiliki pesona auratik.Kegairahan dan fantasi yang dipoles dalam etalase modern itu telah memungkinkan diri tercebur dan bahkan seketika akan meleburkan eksistensi yang lain dalam tumpahan reality showyang dipertunjukkan.

Estetika dan Perangkap Komoditas

Kebangkitan sinema dan bentuk estetika lainnya di negeri ini memang sedang meriah dirayakan. Segudang karya di pentaskan,baik dalam industri film,musik,fotografi,ataupun bentuk kesenian lainnya. Fenomena itu seakan mendapatkan gairah estetisnya ketika disokong alibi kapital yang menghidupkan sekaligus menggiring roh kesenian ke arah pudarnya dimensi auratik dalam seni.

Teknologi dengan ragam dan varian tekniknya seakan telah menjadi relevansi paling sekuler dalam dunia estetika. Berbarengan dengan teknik dan montase dalam ranah kesenian yang bergulir secara revolusioner di satu sisi meski pada saat yang sama telah memudarkan dimensi kultis dari estetika dalam kebudayaan mutakhir. Muara estetika akhirnya jatuh dalam perangkap komoditas.

Pada titik ini pula, hal tersebut tak dapat disangkal menjadi sesuatu yang determinan terhadap perkembangan estetika modern. Salah satu pencapaian gemilang dari modernitas adalah perkembangan teknik dan reproduksi mekanis dalam karya seni.Seni tak lagi berdiri sebagai yang bermakna kultural semata yang bebas dari kontaminasi, kompromi, dan represi, sebagaimana dalam kesenian tradisional tempat melekatnya dimensi auratik dalam seni, berdaya magis karena muncul dari habitusnya.

Dalam proses dan perkembangannya karya seni, terutama di era modern, kian bergeser seiring proses sekularisasi dalam masyarakat industri. Implikasinya, determinasi estetis oleh industri semakin tak terhindarkan. Itu tercermin dalam proses masifikasi atas karya seni,lewat proses reproduksi secara mekanis. Kapitalisme di era kini bahkan telah menjadi takdir yang muskil untuk di bendung kecuali pertikaian dalam sistemnya sendiri sehingga estetika modern memiliki karakter dasar,yaitu repetisi.

Lewat salah satu karyanya yang monumental The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (1998), Walter Benjamin,salah satu filsuf dan esais kebudayaan terkemuka dari neomarxisme,misalnya,menyebut fenomena reproduksi mekanis (mechanical reproduction) dalam kesenian sebagai sesuatu yang revolusioner karena memiliki daya politis di dalamnya. Meski dimensi auratik di dalamnya telah hilang karena proses repetisi dan reproduksi karya seni meniscayakan bergesernya kemurnian estetis, ke arah reproduksi masif dalam era kapitalisme lanjut.

Jadi, modernitas dalam arti tertentu sesungguhnya telah merangsang dimensi kesenian ke arah estetika yang bersifat politis, sebagaimana terjadi dalam rezim fasisme. Lebih jauh Benjamin menyinggung bahwa proses reproduksi mekanis dalam karya seni sesungguhnya dapat mengangkat sisi dialektis dalam masyarakat, yakni politisasi estetika dalam kebudayaan modern itu memu n g k i n k a n elemen kontradiksi dan konstelasi dalam masyarakat terungkap secara masif.Implikasinya karya seni tak lagi mem i l i k i ruang yang m a g i s d a l a m terang kemurniannya s e b a g a i karya estetis, tetapi melampaui dimensi s p a s i o - t e m - poralitas.

Momen kesementaraan pada titik ini menjadi sesuatu yang niscaya dalam dialektika sejarah. Arus sejarah tak lagi dilihat sebagai suatu alur dan plot narasi yang bergerak linear sebagaimana dalam paham historisme. Namun, ia suatu laju sinkronitas sekaligus diakronitas dialektis yang bergerak dalam dimensi kesementaraan. Dalam konteks ini, kita dapat melihat pudarnya aura dalam karya seni di era reproduksi mekanis tersebut.

Sebut saja misalnya sebuah maha karya dari pelukis masa lalu, seperti Michel Angelo dan Leonardo da Vinci. Kesemuanya bila dilihat nuansa keotentikannya kini tak lagi memiliki auranya sebagaimana dibayangkan di masa lalu karena proses reproduksi atau repetisi masif telah sedemikian dilegalkan elemen kapitalisme. Hal itu juga menunjukkan bahwa semangat kebaruan yang diusung modernitas terlihat dalam rekayasa dan daya kreatif terhadap peninggalan tradisional yang direpetisi sebagai fragmen kebudayaan, dengan diberi makna baru dalam industri massa.

Teknik industri sebagai mahakarya kapitalisme seakan tak henti menerobos wilayah kemurnian estetis sebagaimana di masa lalu; seni selalu dijadikan medium ekspresi yang otentik dalam penciptaannya. Kemurnian itu kini hilang tergeser oleh sublimasi estetis. Terlebih, elemen peninggalan fragmen budaya di masa lalu itu memiliki daya jual yang tak berhingga. Maka, tak heran jika selera estetis di kalangan masyarakat lebih memiliki nilai prestisius semata atau bergesernya kesadaran estetis ke arah fetisisme komoditi.

Dari Mimesis ke Repetisi

Sebagaimana dikatakan Plato dan Aristoteles, seni di era modern tak hanya sebuah proses mimesis, tapi proses repetisi yang terus-menerus menerobos batas ruang dan waktu. Bahkan, suatu mimesis katastropik yang ditandai dengan suatu transgresi atau kemunduran dalam cara mendengar (transgression of listening) sebagaimana tercermin dalam sekerumun individu yang sedang menyaksikan konser musik.

Perangkap komoditi dalam hal ini juga menjadi sesuatu yang tak terhindarkan sehingga dalam lajunya yang kencang itu, pertikaian dan perebutan image atau pencitraan selalu sudah inheren dalam sistem kapitalisme itu sendiri. Di sinilah estetika politik dalam kesenian memainkan peranannya dalam membangun kesadaran estetis masyarakat,meski bersifat temporer.

Meski demikian, bahwa bentuk teknik dan reproduksi secara mekanis dalam industri kesenian sesungguhnya dapat menjadi momentum yang revolusioner untuk meretas keterjarakan seni dan masyarakat, yakni seni tak lagi berdiri sendiri sebagaimana semboyan “la art four art” atau ‘seni untuk seni’. Lebih dari itu, seni dapat bersifat politis yang mampu mengangkat isu dan perkembangan kontemporer, baik dalam bentuk fotografi maupun sinema.(*)

* Miming Ismail, Pegiat sastra dan filsafat pada PSIK Universitas Paramadina, Jakarta

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 4 Mei 2008

No comments: