Friday, May 16, 2008

Fokus: Mereka (yang) Tak Lupa Masa Lalu

KARIER yang menjulang di sebuah organisasi internasional tidak membuat Bona Sigalingging (32) lupa pada akarnya. Meski kini bekerja office hour, dari pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore, Bona masih aktif dalam Aliansi Korban Kekerasan Negara alias Akkra. Tugasnya, mendampingi dan mengadvokasi keluarga korban tragedi Mei 1998, di antaranya kasus penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti, tragedi Semanggi 1, dan tragedi Semanggi 2.

”Kami mendesak agar pemerintah melakukan pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili mereka yang terlibat, baik tentara maupun polisi berpangkat rendah atau tinggi,” ujar Bona berapi-api.

Sisa-sisa ”kegarangan” Bona saat menjadi aktivis memang masih terlihat saat dia bercerita soal aktivitasnya di luar kantor itu. Saat demonstrasi besar-besaran Mei 1998, Bona adalah salah satu simpul mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta. Dia juga tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred).

Kini, dari sekian banyak aktivis, dia adalah satu dari sedikit yang masih peduli untuk melanjutkan perjuangan masa lalu. ”Banyak yang kini bersikap apatis, atau ada juga aktivis yang ikut arus. Tapi, itu di luar urusan saya. Terserah masing-masing,” katanya.

Selain Bona, mantan aktivis mahasiswa yang kini aktif di Akkra tak lebih dari lima orang. Mereka masih aktif bersilaturahim dengan keluarga korban yang tergabung dalam Paguyuban Keluarga Korban. Selain menguatkan keluarga korban, pertemuan-pertemuan itu juga memperkuat semangat Bona dalam memperjuangkan keadilan.

Dia tidak memungkiri, sebagai mantan aktivis, berbagai tawaran empuk datang menghampiri. Selain menjanjikan jabatan, tawaran-tawaran itu juga menjanjikan uang. Namun, Bona bergeming. Dia juga mengaku belum tertarik menjadi anggota eksekutif atau legislatif, meski dengan embel-embel ”mengubah kondisi negara dari dalam”.

”Saya merasa, kita kok terlalu overestimate terhadap diri sendiri kalau menganggap diri kita mampu mengubah sistem. Takutnya malah sistem yang mengubah kita,” ujarnya bijak.

Seperti Bona, Abdullah, mantan simpul Forkot Universitas Negeri Jakarta (UNJ; dulu IKIP Jakarta), juga masih aktif. Dia melakukan kaderisasi kepada adik-adik angkatannya di UNJ. Kepada para mahasiswa itu, dia menekankan bahwa mahasiswa juga memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat, bukan sekadar tanggung jawab di kampus.

Abdullah pada 1999 memutuskan keluar dari Forkot dan bergabung dengan Famred. Kini dia bekerja sebagai produser di sebuah televisi swasta. Dengan aktivitas pekerjaannya itu, kata Abdullah, dia tidak bisa sebebas dulu lagi dalam melakukan kegiatannya di dunia ”aktivis”.

”Kalau dulu, belum ada pikiran apa-apa. Mau seharian di jalan juga enggak apa-apa. Tapi, sekarang, saya harus lihat waktu saya. Ada waktu luang atau enggak,” kata Abdullah.

Menurut dia, seiring dengan bertambahnya usia dan tanggung jawab, para mantan aktivis 1998 tidak lagi bisa seaktif dulu. Mereka telah memiliki tanggung jawab untuk menghidupi keluarga. ”Tantangan ini nyaris tidak menjadi problem waktu kami masih sama-sama mahasiswa,” ujarnya.

Kendati demikian, bagi Abdullah, pilihan profesi apa pun yang kini digeluti oleh rekan-rekannya sesama aktivis diyakininya mampu menyumbangkan sesuatu bagi negara. Misalnya, dalam profesinya sebagai wartawan, kata Abdullah, dia bisa memberikan materi keterampilan jurnalistik bagi adik-adik angkatannya.

”Untuk menggalang kekuatan lagi di lapangan seperti dulu mungkin enggak. Tapi, kami bisa melakukan sesuatu yang lain,” katanya. (IRN)

Sumber: Kompas, Jumat, 16 Mei 2008

No comments: