Sunday, May 25, 2008

Pustaka: Membaca Kepeloporan Taufiq Ismail

SASTRAWAN Taufiq Ismail agaknya ingin menegaskan lagi kata-katanya, "Tanpa buku tidak mungkin saya jadi pengarang." Dan, tanpa karya (yang diterbitkan menjadi buku), tak mungkin orang mengukuhkannya sebagai pengarang, sebagai sastrawan.

Maka, Rabu (14/5) di Auditorium Mahkamah Konstitusi, Jakarta, tiga buku tebal pun diluncurkan untuk memaknai 55 tahun pergulatan Pelopor Angkatan 66 itu dalam sastra Indonesia. "Taufiq Ismail tidak bermaksud memeringati usianya, tapi perbuatannya. Sebab, hidup itu perbuatan," kata Ketua Panitia Pelaksana Acara 'Taufiq Ismail 55 Tahun dalam Sastra Indonesia', Fadli Zon.

Perbuatan utama Taufiq sebagai pengarang, sebagai sastrawan, adalah menulis. Dan, itulah yang dilakukan Taufiq selama 55 tahun (1953-2008). Tidak kurang dari 517 puisi, 346 prosa, dan 96 lirik lagu, telah ditulisnya. Hasilnya adalah buku kumpulan puisi setebal 1.076 halaman, dua buku kumpulan prosa setebal 880 halaman dan 801 halaman, serta buku kumpulan lirik lagu setebal 102 halaman.

Keempat buku tersebut disatukan dalam empat jilid buku bertajuk Mengakar ke Bumi, Menggapai ke Langit. Ia mengaku tak menduga jika tulisannya sebanyak itu. Semula, untuk buku kumpulan prosa ia memprediksi cukup satu jilid, setebal sekitar 800 halaman.

''Ternyata tulisan saya yang berhasil ditemukan terus bertambah, hingga harus dua jilid," ujar Taufiq Ismail. "Untuk puisi sebagian besar masih saya ingat puisi apa saja yang pernah saya tulis. Tapi, untuk prosa, sebagian besar sudah lupa apa yang pernah saya tulis," tambahnya.

Orang yang tidak kalah kagetnya adalah Hamzah, anak muda pengagum Taufiq Ismail yang mendapat tugas untuk mengumpulkan semua tulisan Taufiq yang pernah dimuat di berbagai media massa, termasuk di Republika. "Saya tak menduga, ternyata tulisan Pak Taufiq banyak sekali," katanya, "Itu pun saya yakin masih ada tulisan yang tak berhasil saya temukan, dan Pak Taufiq sudah lupa tulisan itu."

Buku Mengakar ke Bumi, Menggapai ke Langit jilid 1 menghimpun 517 puisi Taufiq yang ditulis sejak 1953 sampai 2008, termasuk sajak-sajak yang pernah dibukukan dalam Benteng (1966), Tirani (1966), Buku Tamu Museum Perjuangan (1972), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999). Pada buku jilid 1 ini pembaca juga dapat menikmati sajak-sajak Taufiq pada masa awal kepenyairannya yang belum pernah dibukukan. Sajak pertamanya, berjudul Doa Dalam Lagu, ditulis pada 1953 saat Taufiq masih berusia 18 tahun (masih SMA). Sangat menarik untuk disimak:

Ibuku karena engkau merahimiku
Merendalah tenteram karena besarlah anakmu
Ayahku karena engkau menatahku
Berlegalah di kursi angguk laki-laki anakmu
Tuhanku karena aku karat di kakiMu
Beri mereka kesejukan dalam dan biru.

Sedangkan buku Mengakar ke Bumi, Menggapai ke Langit jilid 2 dan 3 menghimpun semua prosa yang pernah ditulis Taufiq Ismail sejak 1960-2008, baik berupa kolom, esai, cerpen, maupun drama. Tulisan-tulisan pada jilid 2 dikelompokkan berdasarkan media massa yang memuatnya, seperti Horison, Republika, Harian Kami, Tempo, Gatra, Ummat, Kompas, dan Sinar Harapan. Sementara, jilid 3 disusun secara tematik, dan berdasar jenis tulisan.

"Dari buku-buku itu kita jadi tahu, bahwa Pak Taufiq sangat produktif, dan tidak hanya menulis puisi dan esai, tapi juga cerpen dan naskah drama. Buku-buku itu makin mengukuhkan kebesaran Pak Taufiq sebagai sastrawan," kata Maman S Mahayana, kritikus sastra dari UI.

Peran dan kebesaran Taufiq Ismail sebagai sastrawan juga diakui oleh cendekiawan Muslim, Yudi Latif. "Kita memiliki tiga sastrawan besar, Taufiq Ismail, Rendra, dan Sutardji Calzoum Bachri," katanya, "Bagi bangsa Indonesia, Taufiq Ismail memiliki peran sangat penting, karena menampakkan kepeloporan dalam mengupayakan kebangkitan bangsa melalui jalan kebudayaan."

Dalam ketiadaan platform politik yang jelas, menurut Yudi, gerakan kebudayaan menjadi alternatif penting untuk menjaga kewarasan publik. Adalah melalui sastra, nyanyian, dan seni yang lain, yang dibudayakan dalam masyarakat, yang dapat membuat gerakan dan cita-cita sosial dapat bertahan dalam memori kolektif.

Buku-buku tebal menjadi penanda terpenting untuk memaknai peran dan perjalanan panjang Taufiq Ismail dalam sastra Indonesia. Dalam buku, karya-karya dan ide-ide cemerlangnya diabadikan untuk diwariskan kepada anak cucu, serta disosialisasikan kepada publik yang luas.

Hajatan Besar untuk Sang Pelopor

Peluncuran empat jilid buku tebal itu menjadi penanda terpenting rangkaian hajatan '55 tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia' yang digelar oleh majalah Horison. Peluncuran buku-buku Mengakar ke Bumi, Menggapai ke Langit (Penerbit Horison, 2008) diberi bobot dengan orasi budaya oleh Dr Anies Baswedan.

Peluncuran yang diadakan pada Rabu (14/5) di Aula Mahkamah Konstitusi, Jakarta, itu juga dimeriahkan dengan pembacaan puisi oleh seniman Studiklub Teater Bandung (STB), Iman Soleh, dan pertunjukan musik oleh Bimbo. Menandai peluncuran buku, Pemimpin Redaksi Horison, Jamal D Rahman, menyerahkan satu set buku tebal itu kepada Taufiq Ismail. Sastrawan kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935, ini lantas menyerahkan masing-masing satu set buku ke berbagai kalangan.

Rangkaian acara berlanjut di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu (17/5), dengan seminar nasional yang menampilkan pembicara Prof Dr Budi Darma, Prof Dr Arief Rachman, Prof Dr Suminto A Sayuti, dan Dr Yudi Latif, serta orasi sastra oleh Mendiknas Dr Bambang Sudibyo. Juga diserahkan penghargaan kepada para juara lomba menulis esai tentang peran Taufiq Ismail dalam sastra Indonesia.

Rangkaian acara masih akan berlanjut di Studio TVRI Padang, Rabu (28/5), berupa seminar internasional. Dr Fasli Jalal akan tampil sebagai keynote speaker. Tampil pula pembicara Dr Rebecca Fanany (Australia), Darman Moenir, Dr Ismet Fanany MA, Drs Yulizal Yunus MA, Dr Ir Raudha Thaib, dan Upita Agustine. Seminar ini akan dibuka oleh Gubernur Sumatra Barat, H Gamawan Fauzi, dan dilanjutkan dengan pembacaan puisi-puisi Taufiq. Acara pamungkas ini akan disiarkan langsung oleh TVRI Padang.

Menurut Anies Baswedan, potret perjalanan Taufiq Ismail adalah potret sebuah transformasi sosial di Indonesia. Taufiq menjadi saksi permanen naik-turunnya denyut jantung bangsa. "Taufiq Ismail memang menembus batas bangsa-bangsa. Tapi, rumah Taufiq Ismail tetaplah Indonesia. Kepeduliannya kepada Indonesia melebihi deretan puisi-puisi yang pernah ditulisnya tentang bangsa lain," katanya.

Di kaki Gunung Merapi dan Gunung Singgalang, Padang, kini Taufiq juga sedang membangun Rumah Puisi, yang kelak juga akan dipenuhi buku-buku. Untuk Rumah Puisi itu, sastrawan Ikranegara menyerahkan secara simbolis koleksi buku-buku pribadinya selama 30 tahun. Sedangkan budayawan Emha Ainun Najib membacakan doa-doa khusus untuk Taufiq, agar diberi berkah kesehatan dan kesempatan untuk terus memberikan yang terbaik bagi kemajuan anak bangsa. (ahmadun yh)

Sumber: Republika, Minggu, 25 Mei 2008 11:04:00

No comments: