Saturday, May 10, 2008

Batik Trusmi Potensi Bisnis dan Simbol Budaya

THE History of Java (1817) karya Sir Stamford Raffles, mengilhami Fiona Kerlogue, seorang antropolog untuk mendirikan museum batik di London, Inggris. "(Fiona) benar-benar teramat sangat mencintai seni batik, sementara kita?" ujar Subekti, dengan nada tanya.

Subekti merasa usianya sudah tidak lagi muda dan sewaktu-waktu maut akan menjemputnya. Namun, Subekti seakan belum rela meninggalkan dunia manakala belum ada orang yang benar-benar dipercayainya untuk menjaga batik peninggalan leluhurnya yang jumlahnya mencapai lebih dari 150 lembar dengan di antaranya ada yang berusia di atas 100 tahun.

"Semisal motif Banji dan Tokolan ini. Selain usianya yang sudah di atas 100 tahun dan peninggalan Sultan Kasepuhan, juga sampai saat ini belum ada yang mampu membuat seperti ini. Kalau saya sudah tiada, siapa nanti yang akan menjaga dan merawatnya?" ujar Subekti, kembali dengan nada tanya.

Kekhawatiran Subekti akan kepunahan batik trusmi peninggalan leluhurnya diungkapkan berkali-kali kepada sejumlah pejabat dari provinsi maupun daerah pada acara "Pesona Budaya Cirebon" yang digelar Balai Taman Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat (3 s.d. 10 Mei) hari ini. Tidak hanya kepunahan, tetapi juga kekhawatiran akan berpindahnya batik ke luar negeri yang peminatnya lebih banyak dibandingkan dengan di dalam negeri.

Salah seorang di antaranya, Putri Alexandra, salah seorang anggota keluarga Kerajaan Inggris. Tanpa malu-malu dia menyatakan kekagumannya pada jenis kerajinan kain ini ketika mengunjungi anjungan Indonesia di malam bazar amal yang digelar Kedutaan Indonesia di Inggris.

Kini, di lingkungan pebisnis, kerajinan batik juga memikat pengusaha mancanegara. Pada 2004 saja, misalnya, salah seorang konglomerat Jepang, Kageshima, telah menjalin kontrak bisnis untuk memasarkan batik trusmi asal Plered, Cirebon.

Hal ini sudah barang tentu menunjukkan naiknya minat terhadap batik trusmi dan membuka peluang bagi pengembangan sentra batik trusmi yang dalam beberapa dasawarsa terakhir mengalami kelesuan akibat digerus laju industri tekstil modern.

Dari Plered, Kageshima dikabarkan memesan beberapa jenis produk yang telah ditentukan dari Jepang. Desainnya secara umum ditentukan dari perusahaan raksasa itu. Hanya, corak batiknya diserahkan kepada perajin Plered sendiri. Beberapa jenis produk yang dipesan ialah futon, sejenis bed cover, obi (ikat pinggang), piyama, dan kimono.

Menurut Ny. Kurnia, pemilik galeri Batik Kurnia, kendala yang dihadapi perajin maupun pengusaha batik trusmi adalah pasokan kain untuk pengerjaan batik dari Pekalongan. Cirebon belum punya produsen kain yang bisa memproduksi kain katun dan sutra dalam jumlah besar. "Kendala ini membuat produsen sulit memenuhi pesanan dalam jumlah besar," ujar Ny. Kurnia.

Kini, saat budaya membatik kembali diminati anak-anak muda, batik trusmi tidak lagi menjadi semata tumpuan ekonomi warga. Melainkan, menjadi simbol yang membawa harum nama Cirebon dan sekitarnya secara internasional.

Ragam hias batik cirebon tidak terlepas dari sejarah pembauran kepercayaan, seni, dan budaya yang dibawa etnis Cina dan agama Islam maupun Hindu pada masa lampau. Sebelum abad ke-20, Cirebon yang memiliki pelabuhan laut menjadi sebuah kota perdagangan hasil bumi antarpulau yang ramai dikunjungi pedagang dari berbagai etnis serta saudagar asal Cina maupun Timur Tengah.

Pertemuan antaretnis dan budaya melalui jalur perdagangan ini telah memberi akses pengaruh terhadap corak seni budaya daerah Cirebon. Bentuk binatang khayal berupa singa barong dan peksi naga liman merupakan wujud perpaduan budaya Cina, Arab, dan Hindu, terlukis pula pada ragam hias batik trusmi.

Kisah membatik Desa Trusmi berawal dari peranan Ki Gede Trusmi. Salah seorang pengikut setia Sunan Gunung Jati ini mengajarkan seni membatik sembari menyebarkan Islam. Sampai sekarang, makam Ki Gede masih terawat baik, malahan setiap tahun dilakukan upacara cukup khidmat, upacara Ganti Welit (atap rumput) dan Ganti Sirap setiap empat tahun.

Kini angin segar sedikit berembus, lewat batik trusmi yang kembali diminati, seniman (batik) dan budayawan Cirebon sedikit berlega hati akan terjaganya satu artefak Cirebon peninggalan Sunan Gunung Jati dan istrinya Putri Ong Tien. (Retno HY/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 10 Mei 2008

No comments: