Saturday, May 17, 2008

(Puisi) Pamflet Kebangsaan

-- Beni Setia

MESKI tampak sarkastik, sesungguhnya Anton De Sumartana [ADS], dalam kumpulan puisi Republik Satu Rakyat [Radya Juara dan Swawedar69, 2007] - seharusnya ditulis RI-1: Rakyat - sebenarnya sedang mengingatkan kita tentang bahaya dari demokrasi yang berlebihan, karena tanpa kontrol Nasionalisme.

Hal yang mungkin bisa dimengerti dari grafik ekstrim sebuah bandul, di mana setelah terlampau ke kiri akan balik ke kanan. Di mana setelah demokrasi terpuruk dalam oligarkhi di masa Orba, maka kini demokrasi terancam terjerunuk dalam anarkisme akibat euphoria kebebasan yang terlalu berlebihan.

Sajak "Republik 219.999.999 Presiden" - dengan catatan kaki: ketika jumlah penduduk 220 juta jiwa (menurut data BPS) -, dengan tegas mengisyaratkan itu. Dalam sajak itu ADS mengisyaratkan: Pilpres langsung tak akan menghasilkan seorang presiden yang berkerja untuk mensejahterakan 219.999.999 rakyatnya, atau sekedar akan melayani 219.999.999 rakyatnya. Karena itu [justru] akan jadi orang yang terpilih, dengan risiko suka rela dan iklas diperintah, dituntut, dan diklaim oleh 219.999.999 rakyat, yang atas nama kedaulatan dan etos demokrasi berhak mengatur dan mengontrol 1 orang presiden. Setidaknya itu yang terjadi ketika rakyat begitu kuat, begitu berdaulat, dan sekaligus begitu bisa mendikte presiden - karena merasa memiliki mandat kedaulatan.

Itu hanya sebuah utopia teoritis demokrasi, karena yang terjadi baru tahap wakil rakyat yang dominan, sekaligus mengkooptasi eksekutif, tanpa merasa harus bertanggungjawab pada rakyat dan terlebih mau dikontrol rakyat banyak - baru sampai tahap oligarkhi. Dan sesekali, di luar institusi teoritik demokrasi itu: terjadi sebuah hukum rimba, di mana dari 220 juta rakyat itu, hanya ada seorang presiden yang bertugas melayani rakyat dan karenanya dikutuk jadi rakyat, dengan sekitar 220 juta rakyat minus 1 [219.999.9999 orang] rakyat yang merasa lebih berdaulat dan sekaligus berhak mengatur dan memperlakukan Negara dan SDA-nya semaunya sendiri karena mereka merarasa dirinya masing-masing ada-lah individu presiden - bahkan PRESIDEN!

Semua kegelisahan itu diungkapkan ADS dalam sajak "Karena Majikannya Presiden" - yang menandaskan presiden resmi dari Pilpres hanya sahaya yang harus melayani seluruh rakyat yang memilihnya, yang derajatnya naik jadi majikan presiden. Atau, sajak "Bancakan Presiden" - yang menandaskan godaan ilusi kekuasaan ketika kesempatan jadi presiden terbuka lebar, karenanya semua orang kepingin berkuasa sebagai si presiden dan bukan yang melayani rakyat sebagai presiden. Dan hal itu ditegaskan lagi dengan sajak-sajak "Rakyat Seorang Diri", "Presiden Bersama", dan "Republik 219.999.999 Presiden". Situasi khaos karena rakyat terlalu kuat dan terlalu berani menyatakan keinginannya sehingga melanggar apa-apa yang telah disepakati bersama dalam kontrak sosiol tak tertulis.

Padahal, tanpa anarkisme, demokrasi mungkin melahirkan seorang presiden terpilih yang dengan rendah hati siap melayani seluruh rakyat, dan hanya ingin mensejahterakan rakyat. Ya! Sehingga pihak eksekutif dan legislatif, dengan kontrol resmi judikatif dan kontrol [sosial] tak resmi pers, sampai di tingkat otono-mi paling rendah, sepakat membantu dan merealisasii program presiden terpilih atau gubernur tepilih atau bupati/walikota terpilih dalam mensejahterakan rakyat.

Tapi bagaimana caranya? Tapi pendidikan politik semacam apa yang harus dibe-rikan pada orang yang terpilih itu? ADS mengeluarkan jawaban standar, seder-hana dan karenanya terdengar amat kolot: Nasionalisme.

Pendidikan kebangsaan, yang tak melahirkan chauvinisme atau provinsialisme tapi melahirkan kader dengan cita-cita mulia: berkeinginan untuk memajukan Negara dan mensejahterakan teman sebangsanya. Tapi apa itu dagangan ideologi yang masih laku di tengah generasi MTV yang hedoniskonsumtif? Tapi apa itu sesuatu yang tetap murni dan bernas di tengah epidemik Neo Liberalisme? Celakanya ADS cuma menulis puisi, yang diandaikan bisa mengobarkan Nasionalisme, padahal lebih enak bila menulis risalah tentang Nasionalisme di tengah dekadensi kebangsaan ini. Memang itu cacat sebuah puisi, cuma pamflet dan tak melahirkan ajakan buat melakukan kajian dan telaah kasus.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 17 Mei 2008

No comments: