Sunday, May 04, 2008

Bingkai: Sinema Religius, Mantra atau Praksis?

-- Abdul Firman Ashaf*

AKHIR-AKHIR ini penikmat hiburan di Indonesia disajikan tontonan yang berbeda dari sebelumnya. Hal ini ditandai dengan munculnya sejumlah film bernuansa religius yang menjadikan Islam sebagai tema besar. Film-film tersebut tidak saja menarik dalam bentuk dan isi, tapi juga mengundang diskursus publik. Film-film tersebut mengintroduksi tema-tema yang menyentuh aspek terdalam kehidupan sehari-hari manusia Indonesia. Bagaimana memotret fenomena ini?

Terdapat dua entry point untuk memahaminya. Pertama, Islam sebagai tema besar sebenarnya merupakan keniscayaan sejarah di Indonesia, mengingat dunia hiburan berusaha untuk melayani penontonnya yang sebagian besar adalah muslim.

Kedua, Islam tetaplah merupakan tema yang menarik mengingat besarnya ketegangan yang dialami seorang muslim dalam kerangka modernitas. Hal ini berkaitan dengan politik identitas dan pertarungan nilai-nilai yang dialami seorang muslim. Kondisi ini membuat seorang muslim membutuhkan materi budaya yang membuatnya nyaman dan secara inklusif menjalin relasi dengan modernitas.

Sigfried Kracaurer menyebutkan alasan mengapa film dapat dianggap sebagai cerminan sebuah masyarakat, yaitu bahwa selain dibuat oleh banyak orang, film juga dibuat untuk banyak orang. Sebab itu film merupakan hasil negosiasi makna antara produsen dan konsumen budaya. Terkait dengan alasan kedua ini, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana dunia hiburan memahami penonton muslim?

Religiositas Mantra

Terdapat dua respons yang dilakukan oleh jagad hiburan, yaitu memproduksi film yang berorientasi religiositas mantra dan religiositas praksis. Respons jenis pertama menyajikan film atau sinetron yang mengeksploitasi kegamangan individu terhadap modernitas. Produk budaya tersebut menggambarkan figur individu-individu yang naif, yang memahami Islam sebagai sekumpulan mantra. Kuntowijoyo pernah mengkritik reduksi doa dalam Islam semata sebagai mantra.

Mantra adalah katup yang menghubungkan individu dengan realitas. Realitas yang menghasilkan kecemasan, ketakutan, atau yang melahirkan ekspektasi akan masa depan yang lebih baik dengan hidup berkecukupan atau bahkan kaya raya. Mantra adalah panasea. Ujung-ujungnya Islam menjadi mistis, sulit dijelaskan, irasional. Film-film demikian mengerangkakan alur hidup yang penuh dengan kejutan, karena itu harus dihadapi dengan kekuatan supranatural.

Religiositas Praksis

Bila religiositas mantra menjadikan mantra sebagai panasea, religiositas praksis mengembalikan makna doa sebagai praksis. Praksis yang memuat ikhtiar dan mengandaikan realitas sebagai buah dari tindakan manusia, karenanya harus dihadapi dengan kerja keras, silaturahmi, toleransi, dan kerja sama. Maka bisa dimengerti jika film-film berlandaskan pandangan ini menaruh perhatian pada etika dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

Produk budaya tersebut menggambarkan figur individu-individu yang kuat, berkarakter, dan penghargaan yang tinggi terhadap relasi manusia. Pandangan ini mengandaikan Islam sebagai sistem nilai yang hidup, dan jauh lebih membumi. Islam jenis ini dapat dijelaskan, sehingga menjadi sumber pelajaran untuk membangun kesadaran. Ia tidak muncul tiba-tiba, tidak ada kejutan, mengingat mukjizat telah dimuseumkan. Setiap muslim dapat berbagi makna karena ia hidup dalam praksis.

Inilah yang mungkin bisa menjelaskan mengapa begitu tingginya apresiasi masyarakat terhadap film Ayat-ayat Cinta. Media melaporkan bahwa film ini menembus angka tiga juta orang penonton dalam waktu yang sangat singkat. Film serupa sebenarnya telah mampu menjadi genre di pertengahan tahun 2000-an, sejak Kiamat Sudah Dekat dan Para Pencari Tuhan muncul di layar kaca. Film terakhir dengan jenis serupa, Kun Fayakun, diperkirakan akan mengalami nasib yang sama.

Semua film tersebut menyapu habis film-film berjenis religiositas mantra, yang bukan saja kurang diminati tapi mengundang kritik pedas. Film religiositas praksis minim akan khotbah, tidak bertopang sepenuhnya pada verbalisme ayat dan Hadis, tapi sarat dengan dakwah. Sesuai dengan agenda para produsen budaya yang bergerak di dunia hiburan, bahwa mereka ingin menyajikan wajah Islam yang lain. Islam yang lebih inklusif, etis, dan menyebarkan kasih sayang. Liputan media asing perihal Islam membuat kita kecolongan, karena membiarkan mereka memberi definisi yang semena-mena terhadap Islam. Namun, bereaksi berlebihan terhadap pencitraan tersebut juga bisa berpotensi menguatkan persepsi tersebut.

Merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan bahwa muslim yang taat semakin menyadari begitu pentingnya dunia hiburan dalam membangun kesadaran sekaligus dialog. Dunia hiburan sebelumnya didominasi oleh orang-orang yang memotong habis hak masyarakat untuk mendapatkan tontonan yang bermartabat. Hasilnya adalah sekalipun mereka menjadikan Islam sebagai tema besar, mereduksinya semata sebagai mantra.

* Abdul Firman Ashaf, Dosen FISIP Unila dan kandidat doktor Ilmu Komunikasi Unpad

Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Mei 2008

No comments: