Friday, May 16, 2008

Sosok: Syafiq dan Mimpi Keberagaman

-- CM Rien Kuntari*

IA baru menyadari berasal dari keluarga miskin saat merantau ke Yogyakarta. Di kota ini, ia dihadapkan pada kenyataan, kelonggaran ekonomi kawan-kawan yang tak dimanfaatkan semestinya. Di sinilah titik balik hidupnya berawal. Titik balik itu pula yang melibatkannya dalam gerakan reformasi 1998.

Syafiq Alielha, begitu ia menuliskan namanya. Namun, kadang tertulis dengan Syafi’ atau Savic. Sejak dilahirkan pada 1974 hingga tahun 1993, ia tak pernah merasa miskin. Keluarga orangtuanya dengan lima anak bisa dikatakan berkecukupan.

Ayahnya, almarhum Ali Hamdan, adalah guru madrasah dengan usaha sampingan warung kelontong, sedangkan Karsi, sang ibu, guru sekolah dasar. Mereka mampu mengirim Savic belajar ke Yogyakarta.

Savic yang sejak kecil nyantri di Madrasah Mathali’ul Falah asuhan KH Sahal Mahfudz, Rais Aam Nahdlatul Ulama (NU), pada 1993 memutuskan kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga. Ia pun menjadi pemuda pertama dari kampung halamannya, Tayu, yang kuliah.

Di kota inilah ”ketenangan” hatinya terusik. ”Tahun 1993 saya mendapat uang saku Rp 40.000 sebulan, sementara teman-teman ada yang mendapat kiriman Rp 150.000 per bulan,” ujarnya.

”Secara ekonomi mereka diberi kelebihan, tetapi tidak berbuat apa-apa,” lanjutnya.

”Sejak itu, saya baru merasa berasal dari keluarga miskin dan kampung saya berada di bawah garis kemiskinan,” sambungnya.

Kondisi itu mendorongnya terus mencari jawaban. Pergumulannya dengan berbagai buku dan majalah Prisma membuat dia menemukan jawaban mengapa kampung halamannya miskin. Pemiskinan bukan semata-mata karena ketidakmampuan atau kemalasan individu, melainkan secara struktural, oleh negara.

Dalam arti, negara menjauhkan masyarakat dari akses dan sarana yang memungkinkan mereka terbebas dari kemiskinan. Ia mencontohkan sulitnya akses pendidikan.

”Jadi, kalau ada orang yang bodoh, itu bukan semata-mata karena bodoh, melainkan bodoh secara struktural,” katanya.

Titik balik

Pergaulannya di IAIN membawa titik balik dalam hidup Savic. Realitas itu menjadi motivasi terbesar yang membuatnya keluar dari bayang-bayang santri tradisional. Ia bermetamorfosa menjadi bagian dari generasi yang ia istilahkan sebagai ”hibrida”.

”Di IAIN pula frame saya tentang agama lain berubah. Dari sebelumnya cenderung paranoia terhadap agama lain, saya menjadi lebih terbuka. Di sini pengaruh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) sangat signifikan. Gagasan pribumisasi Islam yang diwartakan Gus Dur membuka mata kami, bagaimana semestinya Islam diterapkan di Indonesia. Tanpa sosok Gus Dur, sulit membayangkan saya dan generasi muda NU umumnya bisa memiliki frame pluralistik seperti sekarang,” tuturnya.

Pemahaman tentang pluralisme itu membuatnya keluar dari lingkaran santri tradisional. Ia tak lagi hanya berkeinginan memperdalam pemahaman agama, melainkan tertarik pada sosiologi, filsafat, dan studi kultural. Tahun 1996 ia meninggalkan IAIN dan hijrah ke Jakarta. Dia memilih Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara.

”Di STF saya menemukan suasana yang terbuka, tanpa memandang agama. Saya merasa agama tidak menjadi dinding pemisah buat mereka,” jelasnya.

Ia mengaku, pilihannya itu sempat membuat sang ibu khawatir pada kemungkinan Savic pindah agama.

”Tetapi belakangan, setiap kali pulang kampung, beliau selalu ngingetin untuk nyelesain kuliah, tanpa peduli lagi anaknya kuliah di sekolah calon pastor. Beliau percaya dan menyadari bahwa kekhawatirannya selama ini lebih merupakan paranoia semata. Namun, paranoia seperti itulah yang tampaknya menghinggapi sebagian besar masyarakat kita sehingga cenderung curiga terhadap masyarakat agama lain,” lanjutnya.

Pemahaman itu membuat Savic semakin berasyik-masyuk dengan pluralisme. Hal itu semakin kental kala ia bergabung dengan Forkot maupun Famred. Di matanya, Forkot maupun Famred adalah contoh ideal bagi Indonesia karena bisa menjadi tempat bersatunya anak muda tanpa membedakan suku maupun agama.

Alasan itu pula yang membuat dia melibatkan diri secara penuh pada gerakan reformasi 1998. Namun, keasyikan itu kembali membuatnya tak mampu menyelesaikan kuliah di Driyarkara.

Keberagaman

Ia mengakui, gerakan 1998 yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa itu belum menuai hasil. Lebih dari itu, upaya itu bahkan berkembang jauh dari yang dibayangkan. Ia tidak menampik kenyataan, reformasi justru melahirkan oligarki baru.

Mungkin bukan mengada-ada jika ia berharap Indonesia mampu berbuat seperti Rusia. Tepatnya, tindakan Presiden Rusia Vladimir Putin menangkap oligarch Mikhael Khodorkovsky, bos perusahaan minyak kedua terbesar di Rusia, Yukos. Di mata Savic, langkah itu merupakan usaha Putin menasionalisasi aset pengusaha korup.

”Indonesia tentu bisa melakukan ini,” ujarnya.

Terlepas dari harapan itu, ia kini benar-benar berusaha mendorong lahirnya blok sosial-politik baru di Indonesia. Satu kekuatan sosial-politik yang disandarkan pada nilai-nilai kebangsaan, keberagaman atau kebhinnekaan, dan keadilan.

”Saya prihatin dengan tendensi fundamentalis yang berkembang beberapa tahun belakangan ini. Menurut saya, itu akan menghancurkan ikatan tali kita sebagai bangsa,” tegasnya.

Ia mengaku tidak akan meninggalkan NU. Terbukti ia tetap aktif memajukan masyarakat NU. Tahun 1996-1997 ia menjadi reporter tabloid Warta NU, membantu Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan saat ini ia adalah Wakil Ketua Lajnah Ta’lif wan Nashr atau Lembaga Pengkajian dan Penelitian NU.

”Saya ingin teman-teman tidak meninggalkan intensitas di kelompok asalnya. Saya ingin mereka tetap di sana (NU, Muhammadiyah, Katolik, maupun abangan), kemudian saling menyambungkan sehingga terajut hubungan antarkelompok yang lebih kuat,” ujar Savic.

Dia kini membuka usaha penerbitan buku bertajuk Fresh Book. Ia juga bercita-cita menjadikan toko buku on-line miliknya, Khatulistiwa.net, semacam Amazon-nya Indonesia.

Diakui, pilihan hidupnya sering membuat jantung Ibunda tercinta berdebar-debar. ”Tetapi, untung semua baik-baik saja,” ujarnya sambil tertawa.

Namun, satu yang terus ia ingat. Nasihat sang Ibu. Urip ning rantau sing ati-ati. Golek mangan ora usah aneh-aneh. Urip sing ora mbarokahi ora usah dilakoni.” (Hidup di rantau berhati-hatilah. Tidak usah aneh-aneh ketika mencari makan, dan hidup yang tak membawa berkah tidak perlu dijalani).

Ia yakin, mengejar mimpi tentang keberagaman, membangun kembali Indonesia dalam semangat dan nilai-nilai kebangsaan serta keadilan, adalah hidup yang membawa berkah.

Sumber: Kompas, Jumat, 16 Mei 2008

No comments: