Friday, May 23, 2008

Abdurrahman Wahid: Ketegaran Pluralisme Akar Rumput

-- Mohammad Bakir/M Zaid Wahyudi

BAGI sebagian kalangan, kiprah tokoh Nahdlatul Ulama ini sering kali mengundang kontroversi, bahkan rasa tidak simpatik. Namun, di kalangan umatnya warga nahdliyyin, kelompok minoritas, dan mereka yang gigih mendorong pluralisme, Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur ini adalah simbol kebebasan dan kesetaraan.

KH Abdurahman Wahid (Kompas/Heru Sri Kumoro)

Bicara apa adanya, blakblakan, dan tidak jarang membuat kuping pendengarnya panas. Ungkapan-ungkapan lantangnya tak jarang membuat orang terkaget-kaget. Bagi pria yang lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren ini, pluralisme adalah keniscayaan sekaligus berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak akan terhapus di bumi Indonesia sampai kapan pun.

Perjalanan sejarah bangsa sejak zaman Kerajaan Majapahit telah membuktikan adanya pluralisme itu. Para pendiri Indonesia juga telah mewariskan nilai-nilai utama dalam membangun kehidupan bangsa yang majemuk. Mereka mampu menempatkan antara agama dan nasionalisme secara seimbang.

Sikap dan perjuangan Gus Dur membela mati-matian pluralisme tidak datang seketika. Ia memahami sejarah kebangsaan dan ke-NU-an dengan cermat, sebelum akhirnya memilih jalan itu. Tokoh-tokoh NU sejak sebelum kemerdekaan, KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah, telah memikirkan bagaimana menempatkan Islam agar dapat berfungsi dalam Indonesia yang majemuk serta menjadikan Islam hidup berdampingan dengan agama lain.

Bahkan, pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU telah memutuskan bahwa Hindia Belanda (nama Indonesia waktu itu) tidak memerlukan Islam sebagai ideologi negara. Namun, umat Islam tetap wajib membela negaranya meskipun negaranya tidak berbentuk negara Islam.

Keputusan ini pulalah yang membuat NU mengakui Pancasila dan UUD 1945 saat ormas-ormas Islam lain masih memperdebatkannya. UUD 1945 dan Pancasila yang memberikan jaminan atas pluralisme juga banyak mengandung nilai Islam, seperti mewujudkan kesejahteraan bersama serta menciptakan masyarakat adil dan makmur.

Sering kali Gus Dur mengutip atau bahkan mendasarkan tindakannya sesuai dengan kaidah ushul fiqih, menanggapi keadaan atau situasi bangsa. Dalam soal kepemimpinan, misalnya, Gus Dur sering mengutip kaidah ushul, tasharruful imam ’alal ra’iyah, manuutun bil maslahah (kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya, bergantung pada kemasalahan atau kesejahteraan).

Dalam soal pembaruan, Gus Dur juga memakai kaidah ushul al muhafadzatu ’ala al qadimis shalih, wal akhdu bil jadidil ashlah (memelihara sesuatu yang lama tetapi baik, dan menerima sesuatu yang baru, yang lebih baik). Artinya, sikap pluralisme Gus Dur sudah terbangun sejak kecil dan menerapkannya pada era modern. Apa yang selama ini dipahami sebagai tradisi, Gus Dur mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih bermakna.

Lihat bagaimana Gus Dur melihat perbedaan pendapat yang sering kali mewarnai para pendiri NU. Menurut Gus Dur, perbedaan itu tidak sedikitpun mengurangi penghormatan mereka terhadap yang lain serta tidak mengurangi sedikit pun keyakinan agamanya. ”Para pemimpin NU telah mewariskan nilai-nilai toleran dan tahu harus bertindak apa dalam kondisi-kondisi tertentu tanpa mengabaikan keyakinannya,” kata Wahid.

Semangat itu pula yang menginspirasinya untuk menjadikan Indonesia yang sejahtera dengan kemajemukan warganya. ”UUD 1945 telah menjamin hak hidup dan kemerdekaan untuk menganut keyakinan dan mengungkapkan pendapat. Ini harus dipertahankan mati-matian apa pun risikonya,” kata Wahid.

Kemanusiaan

Dalam hidup berbangsa, umat Islam perlu saling mengembangkan dialog dan kerja sama dengan umat agama lain. Hanya dengan dialog dan kerja sama inilah yang akan membuat umat Islam terus belajar dan mampu hidup berdampingan dengan umat lain. Kondisi ini menempatkan Islam bukan sebagai alternatif, tetapi sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa.

Memaknai ajaran agama, di mata Gus Dur, juga tidak dapat dilepaskan dari sisi kemanusiaannya. Untuk menjadi penganut agama yang baik, selain meyakini kebenaran ajaran agamanya, juga harus menghargai kemanusiaan. ”Jika kemanusiaan diabaikan, itu adalah pangkal hilangnya nilai-nilai keagamaan yang benar,” katanya.

Fundamentalisme yang marak akhir-akhir ini diyakini tidak akan bertahan lama. Gerakan yang dilakukan oleh kelompok radikal agama ini dinilai Wahid hanya memanfaatkan waktu yang tersisa sembari memanfaatkan sokongan dana dari luar negeri. Radikalisme itu tidak akan mengancam pluralisme selama rakyat Indonesia masih meyakini UUD 1945.

Bagi kalangan minoritas, Wahid dianggap sebagai pembela utama eksistensi mereka. Masyarakat Papua, etnis Tionghoa, atau umat Nasrani menganggap Wahid sebagai pembela di tengah tentangan dan ancaman politis masyarakat atau negara. Menurut Wahid, pembelaan terhadap kelompok minoritas bukan perjuangan gampang. Oleh karena itu, nasib kelompok minoritas yang selama ini tersisih harus terus diperjuangkan sesuai dengan amanat UUD 1945.

”Mereka (kelompok minoritas) hanya ingin diperlakukan sebagai manusia. UUD 1945 telah menjamin perlindungan bagi semua warga negara tanpa pandang agama, etnis, ataupun budayanya. Ini yang saya lakukan,” katanya.

Menurut Gus Dur, pemerintah tidak perlu melihat segala tuntutan kelompok minoritas hanya dari kacamata politis. Jika segala tindakan kelompok minoritas dipandang sebagai gerakan politis, berarti negara telah kehilangan penghargaan atas keragaman yang dibangunnya sendiri. ”Pluralisme Indonesia paling kuat dibandingkan negara lain. Karena itu, perbedaan itu tidak perlu dipolitisasi,” lanjutnya.

Kegigihannya membela pluralisme inilah yang membuat Wahid pada awal Mei lalu dianugerahi Medals of Valor dari The Simon Wieenthal Center di Amerika Serikat. Ia dinilai gigih memperjuangkan moderasi dalam Islam dan membangun dialog dengan agama-agama lain dan turut menciptakan perdamaian dunia.

Negara-negara luar umumnya melihat proses toleransi dan demokrasi di Indonesia tetap baik meskipun semangat fundamentalisme dan radikalisme menguat. Keyakinan ini terlihat dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat madani yang ada. Namun, negara asing sering kali dibingungkan oleh sikap pemerintah dan birokrasi yang tidak mampu bersikap tegas dalam menghadapi isu-isu agama.

Sumber: Kompas, Jumat, 23 Mei 2008

No comments: