Saturday, May 17, 2008

Renungan 100 Tahun Kebangkitan Nasional: Waspadai "Mesin Budaya"

[BATU] Komunitas warga Kota Batu, Provinsi Jawa Timur, yang tergabung dalam kelompok 'Guyub Seduluran' yang dimotori Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, menggelar Peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional, bertajuk "Kau, Aku, Bersama Warnai Dunia" di Kota Batu, selama tiga hari penuh, 14-16 Mei 2008.

Penyair kondang si Burung Merak, Rendra sedang menyampaikan renungan tentang datangnya era Kalabendu, yakni zaman yang stabilitasnya mantap, namun alat stabilitas adalah penindasan. Orasi budaya yang disampaikan di depan ribuan elite politik, eksekutif, militer, polisi, pengusaha, dan budayawan se-Jatim di Kota Batu, Rabu (14/5) malam itu dalam rangka Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. (SP/ARIES SUDIONO)

Selain menghadirkan banyak tokoh nasional ambil bagian dalam pergelaran orasi politik, sebagai bagian dari orasi seni budaya, selain mantan wakil Perdana Menteri (PM) Malaysia Dato Sri Anwar Ibrahim, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr A Syafii Maarif, juga seniman Dalang Kontemporer Sudjiwo Tedjo, juga penyair Si Burung Merak, Rendra.

Dalam orasi budaya berjudul "Megatruh Kambuh", Rendra mengajak masyarakat Indonesia mewaspadai mesin budaya yang berwujud aturan-aturan yang mengikat dan menimbulkan akibat. Usaha setiap manusia yang hidup bermasyarakat, kapan dan di mana pun, senantiasa akan tertumbuk pada "mesin budaya".

Mesin budaya yang berdaulat rakyat, adil, berperikemanusiaan dan menghargai dinamika kehidupan, adalah mesin budaya yang mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggota masyarakat dalam negara.

"Tetapi, mesin budaya yang berdaulat penguasa, yang menindas dan menjajah, yang elitis dan tidak populis, sangat berbahaya untuk daya hidup dan daya cipta bangsa," ujarnya.

Tata hukum dan tata negara, sebagai mesin budaya di zaman penjajahan Hindia Belanda menjadi mesin budaya yang buruk bagi kehidupan bangsa. Karena tata hukum dan tata negara Hindia Belanda diciptakan untuk kepentingan penjajahan.

Ketika membangun negara, pemerintah Hindia Belanda tidak memiliki kepentingan untuk memajukan bangsa, tetapi membangun guna dapat mengisap keuntungan sebanyak-banyaknya demi kepentingan kemakmuran dan kemajuan Kerajaan Belanda di Eropa.

Begitu pula industrialisasi yang dilakukan dengan mendatangkan modal asing yang bebas pajak, alat berproduksi didatangkan dari luar negeri dengan bebas pajak, dan bahan baku diimpor dengan bebas pajak pula. Kemudian, pabrik yang didirikan di atas tanah negeri ini pun juga bebas pajak, karena yang dikenai pajak hanyalah keuntungannya semata. Itu pun boleh ditransfer keluar negeri sehingga menjadi devisa terbuka.

Alangkah total dan rapi pemerintah Hindia Belanda membangun mesin budaya penghisapan terhadap daya hidup rakyat dan kekayaan alam Indonesia. Yang semuanya itu dikokohkan dengan diterbitkannya Ordonansi Pajak 1925.

Sesudah Indonesia merdeka, ternyata cara membangun Hindia Belanda masih terus dilestarikan oleh elite politik kita. Ordonansi Pajak l925 (OP'25) hanya diubah judulnya menjadi Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Sehingga, sampai sekarang, kita sangat bergantung pada modal asing. Oleh karena itu, tidak terlalu mengherankan, jika kemudian selama ini pembentukan modal dalam negeri melalui perdagangan antardesa, antarkota, dan antarpulau tidak pernah dibangun secara kokoh dan serius. Di sisi lain pembentukan sumber daya manusia (SDM) hanya terbatas pada; melahirkan tukang-tukang, mandor dan operator, sehingga kreator dan produsen tak pernah ada.

Bagaimana mungkin mengembangkan SDM tanpa menggalakkan lembaga-lembaga riset sebanyak-banyaknya. Juga dalam pembentukan industri sebagaimana penjajah tempo dulu, sengaja melengahkan pembentukan industri hulu. Akibat tidak adanya industri hulu maka hampir semua industri negeri ini didapat dari impor.

"Fakta menunjukkan, bahwa pabrik baja kita ternyata tidak bisa mengolah bijih baja karena tidak memiliki industri hulu. Pabrik baja kita hanya memiliki kemampuan mendaur ulang besi tua yang tentunya tidak memiliki keunggulan kualitas. Oleh sebab itu, tanpa riset kita hanya akan menjadi konsumen dalam perkembangan ilmu pengetahuan," kata Rendra.

Demikian pula tanpa memiliki kemampuan industri hulu, pabrik-pabrik hanyalah kepanjangan tangan dari pengusaha (modal) asing yang terus mengisap 'darah' kita. Jangan mengkonsumsi teknologi yang dibeli lalu disamakan dengan mengambil alih teknologi. [SP/Aries Sudiono]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 17 Mai 2008

No comments: