-- Dhipa Galuh Purna dan Yulianto Agung*
YOSEPH Iskandar, sosok sastrawan motékar telah berpulang ke pangkuan Allah Yang Mahaakbar. Ia menderita komplikasi jantung dan gula, sampai akhirnya meninggal dunia di rumahnya, Kecamatan Ujungberung, Bandung, pada 26 Maret 2008, jam 1.00 WIB. Karya-karya besar Yoseph Iskandar telah mengakar dan menjadikan orang Sunda semakin sadar akan kekarnya sosok Ki Sunda.
Yoseph adalah satu-satunya sastrawan Sunda yang berhasil mempertemukan sejarah Sunda dengan karya sastra. Ia sangat gigih mengangkat ajén-inajén Sunda melalui karya-karyanya. Ketika naskah Wangsakerta menjadi bahan polemik di kalangan para sejarawan, dengan berani Yoseph menulis novel-novel yang bersumber dari naskah kontroversial tersebut, seperti Perang Bubat (1998), Wastukancana (1990), Prabu Wangisutah (1991), Pamanahrasa (1991), Putri Subanglarang (1991), dan Prabu Anom Jayadéwata (1996).
Yoseph berhasil mereka ulang sejarah ke dalam karya fiksi. Roman sejarahnya, Tanjeur na Juritan, Jaya di Buana (Unggul Dalam Perang, Sejahtera Dalam Hidup, 1991) mendapat hadiah Sastra Rancagé tahun 1992. Pada tahun 1997, ia mendapatkan kembali hadiah sastra Sunda paling bergengsi tersebut atas romannya yang berjudul Tri Tangtu di Bumi (1996). Biarlah naskah Wangsakerta diragukan kebenarannya, tetapi roman sejarah karya Yoseph Iskandar tidak diragukan lagi kehadirannya. Ia telah merasuk ke dalam hati masyarakat Sunda yang pareumeun obor kepada leluhurnya.
Ketertarikannya pada sejarah Sunda bermula dari kedekatannya pada Saleh Danasamita ketika Yoseph menjabat redaktur di majalah Manglé (1979-1985). Maka, artikel Yoseph mengenai sejarah Sunda pun menghiasi Manglé. Tentu saja, minatnya yang serius terhadap sejarah sangat membantu proses kreatifnya dalam menulis karya sastra.
Seolah tidak mau kalah oleh para sejarawan, Yoseph pun membuktikan diri bahwa ia mampu menulis sejarah. Silakan simak buku Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa) yang diterbitkan Geger Sunten, atau Sejarah Kebudayaan Jawa Barat (empat jilid), Sejarah Cirebon, dan Sejarah Banten. Yoseph bahkan sempat menulis peristiwa serangan pasukan RI terhadap tentara Inggris di daerah Sukabumi pada masa revolusi. Baik karya fiksi maupun sejarah, ditulisnya dengan menggunakan bahasa yang indah dan lincah sehingga sangat nikmat untuk dibaca. Buku-bukunya banyak dijadikan sumber rujukan oleh para penulis, akademisi, dan para peminat sejarah Sunda.
Selain menulis prosa, Yoseph Iskandar menulis puisi dan drama Sunda. Sastrawan kelahiran Purwakarta, 11 Januari 1953 ini tercatat sebagai penulis drama berlatar sejarah yang paling produktif. Tengok saja naskah drama berjudul "Ngadegna Pajajaran", "Pemberontakan Cakrawarman", "Runtagna Pajajaran", "Nyi Puun", "Tanjeur Pajajaran", "Haji Prawatasari", dan sebagainya. Ia sangat berperan dalam membangun gairah dan tradisi drama berbahasa Sunda.
Sebagai penulis yang peduli terhadap sejarah, Yoseph pun terbilang peka dalam menyelami realitas sosial di sekitarnya. Silakan tengok naskah drama berjudul "Juag Toéd", "Haréwos Nu Gaib", "BOM", atau "Cucunguk". Di dalamnya, banyak kritikan pedas nan berani. Pada Festival Drama Basa Sunda (FDBS) IX tahun 2006, "Cucunguk" menjadi naskah drama yang paling banyak dipilih oleh peserta FDBS.
Drama "Juag Toéd" (1984) dipentaskan berkali-kali di Bandung, Jakarta, dan berbagai kota lain di Jawa Barat, dengan disutradarai langsung oleh Yoseph. Drama komedi ini tidak bisa lepas dari sejarah perkembangan seni tari jaipongan yang dipopulerkan menjelang akhir tahun 1970-an oleh Gugum Gumbira, Tati Saleh (alm.), dan Euis Komariah. Cerita dalam "Juag Toéd" merupakan semacam bantahan dan pembelaan Yoseph terhadap seni jaipongan. Pada saat itu, jaipongan diprotes oleh kalangan istri pejabat karena dianggap terlalu vulgar, erotis, dan hanya membangkitkan nafsu berahi. Drama "Juag Toéd" menyindirnya dengan mengambil setting tatar Sunda sebelum zaman perang. Pada zaman itu, istri seorang wedana disebut juag toéd dan bupati pun masih disebut kangjeng dalem.
Orang teknik
Yoseph Iskandar sebetulnya orang teknik. Selepas SMA, ia meneruskan kuliah ke Akademi Teknik Pekerjaan Umum (ATPU) Bandung. Meski menuntut ilmu di bidang teknik, Yoseph lebih tertarik terhadap kesenian. Terbukti, di kampus teknik itu aktivitasnya lebih banyak tercurah pada kegiatan seni, seperti memimpin Teater Khas (1977-1981).
Bahkan, selanjutnya Yoseph memilih untuk meninggalkan dunia teknik, demi mendalami sastra Sunda. Bersama sastrawan seangkatannya seperti Eddy D. Iskandar, Godi Suwarna, Juniarso Ridwan, Beni Setia, dan sebagainya, ia mendirikan sebuah organisasi para sastrawan Sunda generasi muda yang bernama Durma Kangka. Saksi dan bukti dari sejarah Durma Kangka di antaranya adalah buku Antologi Puisi Sunda Mutakhir (1980) dan Tumbal (1982).
Nama Yoseph telah terukir pula di bidang pers Sunda dan dunia pendidikan. Selain pernah menjadi redaktur Manglé, ia pun pernah menjadi redaktur tabloid Giwangkara. Sementara itu di bidang pendidikan, Yoseph pernah menjadi dosen di UNPAS, UNTIRTA, dan bahkan di UC Santa Cruz, California, Amerika.
Dari perjalanan karier Yoseph Iskandar, kita bisa menyimpulkan bahwa ia adalah seorang sastrawan yang produktif, penulis sejarah, penggiat teater Sunda, organisator, insan pers yang gigih, dan kepala rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap keluarganya. Di hari-hari terakhirnya, dalam keadaan sakit pun Yoseph masih tetap berkarya, seakan mau nyacapkeun kasono kepada sastra Sunda, sebelum akhirnya harus berpisah untuk selama-lamanya.
Tentu, sangat layak jika Yoseph Iskandar mendapat penghargaan dari pemerintah atas karya-karya dan perjuangannya dalam nanjeurkeun Ki Sunda.***
* Dhipa Galuh Purna dan Yulianto Agung, Peminat sastra Sunda
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 Maret 2008
No comments:
Post a Comment