-- Subur Tjahjono
RASA ingin tahu tak tertahankan saat Margaritha Pareira, pemandu wisata di rombongan wisata kota Lisabon itu, menunjuk patung yang menghadap Sungai Tagus, Lisabon, Portugal, akhir 2007 lalu. Keesokan harinya pemandu lain, Teresa, juga bercerita hal yang sama ketika melewati patung itu.
Patung di tengah taman yang asri adalah patung Afonso (kadang juga ditulis Alfonso) de Albuquerque. Karena tokoh inilah, barangkali yang membuat kawasan Nusantara waktu itu dikenal oleh orang Eropa dan menjadi saat dimulainya kolonisasi berabad-abad oleh Portugis bersama bangsa Eropa lain, terutama Inggris dan Belanda.
Dari Sungai Tagus yang bermuara ke Samudra Atlantik itulah armada Portugis mengarungi Samudra Atlantik, mungkin makan waktu sebulan hingga tiga bulan, melewati Tanjung Harapan Afrika, menuju Selat Malaka. Dari sini penjelajahan dilanjutkan ke Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-rempah, komoditas yang setara emas kala itu.
Tidak jauh dari patung Albuquerque itu terdapat bangunan bekas Biara Santo Jeronimos. Biara yang kini dijadikan Museum Arkeologi dan Museum Maritim tersebut dulunya adalah kapel. ”Pada abad 16 saat petualangan itu dimulai biasanya para pelaut negeri Katolik itu diberkati oleh pastor dan raja sebelum berlayar melalui Sungai Tagus,” kata Teresa. Biara St Jeronimus atau Biara Dos Jeronimos dalam bahasa Portugis itu didirikan oleh Raja Manuel pada tahun 1502 di tempat saat Vasco da Gama memulai petualangan ke timur.
Untuk mengobati rasa ingin tahu, dua hari kemudian, di sela-sela sempitnya waktu dan banyaknya acara, kesempatan tak disia-siakan untuk mengunjungi Museum Maritim dengan taksi, untuk menyaksikan barangkali masih ada tersisa peninggalan Afonso de Albuquerque tersebut. Museum Maritim atau orang Portugis menyebut Museu de Marinha itu didirikan oleh Raja Luis pada 22 Juli 1863 untuk menghormati sejarah maritim Portugis.
Selain patung di taman, lukisan Afonso de Albuquerque juga menjadi koleksi museum itu. Di bawah lukisan itu tertulis, ”Gubernur India 1509-1515. Peletak dasar Kerajaan Portugis di India yang berbasis di Ormuz, Goa, dan Malaka. Pionir kebijakan kekuatan laut sebagai kekuatan sentral kerajaan”. Berbagai barang perdagangan Portugis juga dipamerkan di museum itu, bahkan gundukan lada atau merica.
Ada sejumlah motivasi mengapa Kerajaan Portugis memulai petualangan ke timur. Ahli sejarah dan arkeologi Islam Uka Tjandrasasmita dalam buku Indonesia-Portugal: Five Hundred Years of Historical Relationship (Cepesa, 2002), mengutip sejumlah ahli sejarah, menyebutkan tidak hanya ada satu motivasi Kerajaan Portugis datang ke Asia. Ekspansi itu mungkin dapat diringkas dalam tiga kata bahasa Portugis, yakni feitoria, fortaleza, dan igreja. Arti harfiahnya adalah emas, kejayaan, dan gereja atau perdagangan, dominasi militer, dan penyebaran agama Katolik.
Menurut Uka, Albuquerque, Gubernur Portugis Kedua dari Estado da India, Kerajaan Portugis di Asia, merupakan arsitek utama ekspansi Portugis ke Asia. Dari Goa, ia memimpin langsung ekspedisi ke Malaka dan tiba di sana awal Juli 1511 membawa 15 kapal besar dan kecil serta 600 tentara. Ia dan pasukannya mengalahkan Malaka 10 Agustus 1511. Sejak itu Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah dari Asia ke Eropa. Setelah menguasai Malaka, ekspedisi Portugis yang dipimpin Antonio de Abreu mencapai Maluku, pusat rempah-rempah.
Rui Manuel Loureiro, peneliti dari Pusat Studi Asia Tenggara (Cepesa) Portugal, dalam buku di atas juga menyebutkan, pada periode 1511-1526, selama 15 tahun, Nusantara menjadi pelabuhan maritim penting bagi Kerajaan Portugis, yang secara reguler menjadi rute maritim untuk menuju Pulau Sumatera, Jawa, Banda, dan Maluku.
Kolonisasi hampir 500 tahun itu sekarang masih berjejak, bahkan mungkin tidak dirasakan. Seperti telah disebut di atas, salah satu yang paling mudah diingat adalah kata ”gereja” di Indonesia yang berasal dari bahasa Portugis igreja. Puluhan gereja di Lisabon—orang Portugis menyebutnya Lisboa—sekarang juga disebut igreja. Misalnya sejumlah gereja terkenal di Lisabon, yaitu Igreja de Santa Engracia, Igreja de Sao Roque, atau Igreja de Santo Antonio de Lisboa.
Bekas diplomat Portugal di Indonesia, Antonio Pinto da Franca, dalam bukunya Portuguese Influence in Indonesia (Gunung Agung, 1970), menginventarisasi paling tidak ada 75 kata Indonesia berasal dari Portugis. Beberapa kata mungkin terasa asli Indonesia. Sebut misalnya, sisa dari sisa, terigu dari terigo, tempo dari tempo. Kata lain, misalnya, bangku dari banco, beranda dari varanda, boneka dari boneca, kaldu dari caldo, meja dari mesa, pesta dari festa. Ada juga sekolah dari escola, pigura dari figura, dan sepatu dari sapato.
Selain bahasa, da Franca yang tampaknya sudah berkeliling Indonesia itu mencatat berbagai peninggalan Portugis di berbagai tempat di Tanah Air, mulai dari Aceh, Maluku, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, hingga ke Flores. Beberapa yang masih ada adalah Gereja Tugu di Jakarta Utara, beberapa benteng di Makassar atau Jepara. Bahkan Taman Sari di Yogyakarta dianggap sebagai sisa arsitektur Portugis.
Sumber: Kompas, Rabu, 19 Maret 2008
No comments:
Post a Comment