Sunday, March 09, 2008

Sejarah Sastra: Kanonisasi dan yang Terlupakan

-- Sudarmoko*

SEJARAH sastra Indonesia, seperti halnya sejarah sosial lainnya, masih belum memperlihatkan kondisi yang sebenarnya. Bangunan sejarah sastra Indonesia rumpang di sejumlah bagian. Ini diakibatkan oleh studi sastra yang berpedoman pada kanonisasi dan kategorisasi sastra, pengukuhan periodeisasi yang telah ditulis sebelumnya, di samping juga karena keterbatasan sumber data dan kritikus yang ada.

Penulisan sejarah sastra memunculkan sejumlah nama dan karya yang dianggap mewakili periode tertentu dalam pembabakan yang diciptakan. Selain disangkutkan pada peristiwa sosial, pembabakan ini juga memperlihatkan pada kecenderungan capaian estetika tertentu, sesuai dengan semangat zamannya. Karena itu, kita mengenal periode Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan sebagainya. Inilah risiko yang harus dijumpai hingga saat ini, bagaimana sejarah perjalanan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks sosialnya. Setidaknya, pandangan ini memperlihatkan hubungan yang erat antara sastra dan masyarakatnya.

Di luar kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk, sejumlah genre sastra kita hilang atau tidak banyak dibicarakan. Karya-karya yang ada di media massa, terutama yang terbit di berbagai koran daerah, luput dari kajian. Karya-karya yang dianggap picisan atau terbitan penerbit partikelir pribumi juga tak masuk dalam pembicaraan. Bahkan, beberapa karya awal sejumlah pengarang besar yang terbit di koran dan penerbit kecil tak masuk dalam daftar riwayat kepengarangan, yang sebenarnya penting untuk dibicarakan dalam proses kreatif kepengarangan. Bahkan sejumlah karya tidak dapat ditemukan lagi, baik akibat sensor dan pembredelan pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaan, maupun karena telah hancur karena umurnya yang sudah tua.

Namun, kajian sejarah sastra Indonesia, terutama yang membicarakan karya-karya yang tidak masuk dalam kanonisasi ini, telah dilakukan oleh sejumlah ahli sastra dan hasilnya dapat kita temukan. Wendy June Solomon (1993) dan Mikihiro Moriyama (2005), misalnya, dengan cukup komprehensif membahas karya-karya sastra yang terbit di Jawa Barat dan sejarah penerbitannya. Demikian juga dengan George Quinn (1992) yang meneliti novel-novel Jawa. Ada juga Sitti Faizah Rivai (1963) yang pernah menulis skripsi di Universitas Indonesia tentang roman-roman picisan pada zaman penjajahan. Kajian yang menarik juga muncul di sejumlah artikel dalam buku Clearing a Space yang dieditori oleh Keith Foulcher dan Tony Day (2006). Doris Jedamski (2007) juga melakukan penelitian terhadap polemik karya sastra yang terbit di Medan pada masa penjajahan.

Jika kita baca sejumlah penelitian yang disebutkan di atas, yang sebagian besar dilakukan oleh para peneliti dari luar negeri, ternyata nama dan karya di luar kanonisasi dan kategori yang dibentuk dalam kajian sejarah sastra Indonesia cukup menarik untuk dibahas. Sejumlah hal menarik muncul. Tentu saja dengan sudut pandang kajian yang menawan pula. Paling tidak, kita bisa membaca kajian dengan obyek yang masuk dalam kanonisasi yang termaktub dalam tesis Watson (1972) tentang sosiologi karya-karya terbitan Balai Pustaka yang cukup luas. Atau bagaimana pengaruh pengarang Minangkabau dalam karya-karya Balai Pustaka yang dibahas oleh Freidus (1977). Perspektif yang digunakan dalam kajian-kajian mereka cukup jernih, dalam artian bagaimana mereka memperlakukan obyek kajiannya tanpa tendensi pengaruh kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk.

Inilah yang menjadi tantangan lain dalam penulisan dan kajian sejarah sastra kita. Tanpa harus mempertahankan dan melanjutkan tradisi kanonisasi, yang hanya akan berakibat pada pembenaran dan penguatan kesimpulan yang ada sebelumnya. Penulisan sejarah sastra kita dapat disemarakkan oleh berbagai revisi atas kesimpulan terdahulu. Dan hal ini tampaknya memerlukan pengkaji baru, jika tidak ada perubahan sikap keterbukaan para peneliti yang ada, yang berbicara atas penemuan mereka, bukan pada upaya mempertahankan pernyataan-pernyataan yang telah mereka buat.

Modal usaha seperti ini sebenarnya sudah tersedia, dengan memanfaatkan berbagai institusi yang ada, seperti fakultas sastra, balai bahasa, dan perpustakaan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Apalagi sudah banyak kajian awal yang dilakukan oleh para peneliti sastra Indonesia. Beberapa terbitan mengenai sastra di berbagai daerah, sepengetahuan saya, hanya berupa kompilasi sastra, baik kajian maupun karya sastra, yang belum mencerminkan kondisi sesungguhnya dari dinamika sastra Indonesia.

Kontinuitas sastra Indonesia


Sastra Indonesia, dengan penambahan kata ”modern”, sering kali menjadi awal perdebatan ketika berbicara tentang sejarah sastra Indonesia. Pengaruh bentuk dan gaya sastra asing (baca: Barat) dijadikan patokan untuk menyebut sastra Indonesia yang modern. Dalam nuansa dan konteks seperti ini, kesinambungan sastra Indonesia yang modern dengan tradisi sastra yang sudah ada, yang menjadi latar estetik para pengarang, menjadi kabur. Pergaulan pengarang dengan budayanya, dengan tradisi estetik yang diterima secara budaya, sekadar menjadi warna atau setting dalam proses kreatif yang dijalaninya.

Pada masa transisi dari sastra lama ke sastra modern, jika itu ada, dibatasi dan ditandai pada penghormatan akan nama pengarang yang sebelumnya anonim, media publikasi, bentuk pendidikan dan pengetahuan barat, dan pengaruh karya sastra barat. Sebagai akibat, sastra lama kemudian dijadikan artifak, yang dikaji melalui filologi atau arkeologi. Para peneliti sastra, khususnya sejarah sastra, menjadi asing dengan tradisi yang dimiliki oleh sejarah panjang sastra di Indonesia, atau nusantara ini. Hal yang lazim adalah para peneliti sastra menggunakan hasil kajian yang terakhir itu untuk menunjang kerja mereka. Kita tidak pernah betul-betul bersinggungan langsung dengan karya-karya lama kita.

Sementara waktu terus berjalan, jarak ketertinggalan kita dengan persoalan yang serius ini mungkin semakin panjang. Karya sastra Indonesia yang modern dan kontemporer terus lahir, yang belum sepenuhnya mampu dibicarakan. Di lain sisi, sastra lama kita juga semakin jauh dan asing. Kegundahan yang menyelimuti kajian sastra Indonesia, terutama para penelitinya, tampaknya tergambar dalam situasi seperti ini.

Kecenderungan penulisan

Penulisan sejarah sastra Indonesia telah banyak dilakukan peneliti sastra. Ajip Rosidi (1983. cet.3), Jacob Sumardjo (2004, 1999), Yudiono KS (2007), Korrie Layun Rampan (1983, 1986), Agus R Sarjono (2001), HB Jassin (tentu saja dalam berbagai buku yang ditulis atau dieditorinya), dan sebagainya. Namun, dengan menekankan pada periodisasi berdasarkan konteks sosial, seperti yang sudah dikenal secara luas, masih meninggalkan sejumlah fakta yang cukup penting.

Sastra dianggap penting ketika ia berkorelasi dengan situasi di luar dirinya, atau keterlibatan pengarang dalam aktivitas sosial. Aspek sosiologi dari sastra mau tak mau dijadikan dasar pijakan dalam penulisan sejarah sastra. Beban sosial ini dengan segera menjadi dasar kriteria dalam menentukan kualitas karya, dan menempatkannya dalam deretan penting karya sastra yang tercatat dalam sejarahnya. Capaian bentuk estetika karya, karenanya, menjadi pertimbangan berikutnya.

Pertimbangan sosiologi ini memang menjadi salah satu indikasi yang menonjol, karena peneliti sastra dapat merujuknya dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia. Namun kemudahan ini tentu saja bukan menjadi alasan utama ketika kita harus berbicara tentang sastra, termasuk dalam penulisan sejarah sastra, dengan perangkat estetika yang tidak melulu berbicara tentang aspek sosialnya.

* Sudarmoko, Peneliti Sastra Indonesia, Tinggal di Padang

Sumber: Kompas, Minggu, 9 Maret 2008 | 03:22 WIB

No comments: