DI seratus tahun kelahirannya: mengapa nama Takdir abadi, namun karya-karyanya terasa bahari?
Jika seseorang tanpa nama mengirimkan sajak serupa anggitan Sutan Takdir Alisjahbana ke koran-koran hari ini,rasanya tak satu pun redaktur budaya akan menyambut. Beta melihat kilau bergurau/ Beta menyambut suria bersinar/ Segar gembira sukma menggetar/ Menunda melanda pergi berjuang.
Demikian kata Goenawan Mohamad—yang saya setuju—dalam diskusi memperingati seabad tokoh besar itu di Galeri Cipta TIM pekan lalu. Namun, jika ada seseorang tanpa nama mengirimkan sajak serupa yang dibuat Chairil Anwar, rasanya para pengasuh rubrik budaya masih senang memuatnya.Padahal,keduanya pernah hidup pada zaman yang sama.
Bahkan, meski lebih muda 24 tahun, Chairil meninggal lebih dulu. Saya kutipkan sebarang: Laron pada mati/ Terbakar di sumbu lampu/ Aku juga menemu / Ajal di cerlang caya matamu / Heran! Ini badan yang selama berjaga / Habis hangus di api matamu / ‘Ku kayak tidak tahu saja.
Mengapa puisi Chairil modern dan puisi Takdir tidak? Apa yang membuat sesuatu modern dan sesuatu yang tidak? Tak ada yang meragukan sumbangan Takdir kepada bahasa dan sastra Indonesia. Namun mengapa, tak hanya puisi dan romannya, tawarannya di bidang linguistik pun terasa kuna hari ini? Takdir menulis Tatabahasa Baru Indonesia Jilid 1 dan 2.
Dia memiliki pendekatan fonetik yang terasa menyederhanakan dan aneh di zaman yang hingar bingar ini. Misalnya, mengganti semua akhiran –e (pepet) untuk kata serapan menjadi a.Akibatnya,nasionalisme menjadi nasionalisma, liberalisme menjadi liberalisma, organisme menjadi organisma (dengan demikian, orgasme menjadi orgasma).
Dia juga menolak konsonan berhimpitan.Sumatra menjadi Sumatera, pribahasa menjadi peribahasa. (Apakah dengan demikian Brawijaya menjadi Berawijaya, saya tidak tahu). Seperti penulisan puisinya,usulan fonetiknya juga telah ditinggalkan orang sekarang. Namun, tetap ada sesuatu yang menyala dari baranya sampai hari ini. Jadi, apa alasan Sutan Takdir menyederhanakan fonetik Bahasa Indonesia? Bukankah dia sangat melihat ke Barat?
Saya bertanya dan Jos Daniel Parera menjawab. Tampaknya orang sudah lupa alasan yang tepat.Namun, sesungguhnya itu bukan penyederhanaan. Demikian Parera. Takdir menghilangkan e (pepet) dibelakangtapitidak menghilangkan bunyi f. Itu karena dia mencari dari khasanah bahasa-bahasa nusantara.
Dalam penyelidikannya, bahasa-bahasa di kepulauan Indonesia ini tak ada yang mengenal bunyi e (pepet) di akhir kata. Karena tidak dikenal,maka digantilah dengan yang bunyi akhir a, yang dikenal baik di nusantara. Namun, bunyi f yang tidak dikenal suku di sisi Barat Indonesia justru dikenal di Timur Indonesia.
Berbalikan dengan orangorang di kepulauan Barat,orang-orang Indonesia Timur bahkan ada yang mengenal hanya f dan tidak p.Karena itu Takdir mempertahankan f. Sesungguhnya,proses yang dilupakan orang ini sangat menarik.Takdir, seperti kita tahu, mengembangkan layarnya menuju Barat. Sementara Sanusi Pane mengagungkan masa lalu nusantara.
Di antara mereka ada polemik kebudayaan.Namun, pada saat yang sama, dalam merumuskan tata bahasa modern Indonesia Takdir justru menggali dari khazanah nusantara. Dia berusaha untuk tidak menggunakan apa yang tidak dikenal oleh bahasa-bahasa kepulauan. Dia berusaha untuk tidak terlalu banyak menanamkan hal baru dan memilih menggali dari yang ada.
Hal itu mungkin karena dalam hal konsep, dia telah penuh dengan ide-ide Barat sehingga untuk perimbangannya, dia menginginkan tubuh bahasa yang se- Indonesia mungkin,saya tak tahu. Jadi, meski karya dan usulannya tampak kuna, mengapa Takdir tetap dikenang hingga seratus tahun setelah kelahirannya? Chairil tak menurunkan banyak teori. Namun, sajaknya lebih abadi.
Saya kira,Chairil adalah seorang seniman sejati yang berkarya dengan api intuisi.Takdir adalah seorang guru. Dia tidak terutama mencipta.Dia memetakan masalah yang tetap kita hadapi sampai sekarang. Meski jalan yang dia tunjukkan tak lagi dipilih orang,peta itu tetap kita wariskan.(*)
Ayu Utami
utami.ayu@gmail.com
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 30 Maret 2008
No comments:
Post a Comment