-- Katrin Bandel*
TULISAN Amanshauser tentang novel Saman juga penuh pujian gombal yang membosankan terhadap Ayu Utami, tapi sambil lalu dia memberi informasi yang sangat menarik. Dua kali Amanshauser mengutip sebuah teks yang dijadikannya rujukan untuk "membuktikan" kehebatan Ayu Utami, yaitu pidato yang disampaikan pada saat Ayu Utami menerima penghargaan Prince Claus Award di Belanda pada tahun 2000.
Pidato tersebut ditulis oleh seseorang yang namanya tentu tidak asing lagi bagi kita: Goenawan Mohamad. Berikut salah satu dari kedua kutipan tersebut:
"the novel is a new departure from the tradition of indonesian prose writing also in its treatment of god, politics and sexuality. underlying its lyricism is an urge to discover freedom at each stage of writing and reading. one can see the novel as a story of liberation in which the words are no longer sacrificial horses -- as if to anticipate the historical moment of 1998, when suharto's dictatorship collapsed." (Pemakaian huruf kecil adalah bagian dari gaya sok eksentrik Amanshauser.)
Sudah jelaslah sekarang dari mana asal klaim tentang Saman sebagai pertanda perubahan politis dan gagasan bahwa Saman sama sekali berbeda dari karya-karya sastra Indonesia sebelumnya!
Setelah menemukan kutipan tersebut, saya berusaha mencari keseluruhan pidato Goenawan Mohamad tersebut lewat internet, tapi tidak berhasil menemukannya. Di website Prince Claus Fund saya hanya menemukan penjelasan yang sangat singkat tentang alasan kemenangan Ayu Utami. Bahwa Goenawan Mohamad terlibat pembuatan pidato pemberian penghargaan sama sekali tidak disebut-sebut.
Entah kegagalan saya mencari informasi dan mencari teks pidato tersebut disebabkan oleh kekurangtelitian saya dalam pencarian, atau pidato itu memang sengaja disembunyikan dari kita agar kita tidak sadar akan keterlibatan Goenawan Mohamad dalam pemberian Prince Claus Award pada Ayu Utami, sejarah nanti yang akan membuktikannya.
Kutipan dari Goenawan Mohamad yang kedua lebih pendek, menceritakan peristiwa Ayu Utami kehilangan pekerjaan karena keterlibatannya di AJI.
Berkaitan dengan kegiatan Ayu Utami sebelum Saman terbit, di samping pekerjaannya sebagai wartawan, Amanshauser menyebut bahwa "di masa perjuangannya sebagai disiden tersebut dia menulis beberapa novel yang semuanya ditolak oleh penerbit".
Sejauh mana Ayu Utami memang mengalami pemecatan dan pencekalan akibat tanda tangannya di Deklarasi Sirnagalih (pembentukan AJI) tidak bisa saya nilai -- mungkin hal semacam itu lebih tepat dilakukan wartawan Indonesia yang bergelut di dunia jurnalistik pada masa itu.
Tapi terlepas dari benar atau tidaknya informasi yang diberikan seputar hal itu, saya rasa menarik untuk direnungkan mengapa kegiatan tulis-menulis Ayu Utami di masa Orde Baru begitu banyak disebut-sebut dalam teks-teks berbahasa Jerman itu. Dalam keterangan tentang penulis di edisi Saman berbahasa Indonesia yang saya miliki (cetakan ke-15, Agustus 2000) hanya dikatakan:
"Sekitar tahun 1991 menulis kolom mingguan Sketsa di Berita Buana edisi Minggu. Ia pernah bekerja sebagai wartawan di Matra, Forum Keadilan dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor dan Detik tahun 1994, Ayu ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang memprotes pembredelan, dan setahun kemudian dipecat dari Forum Keadilan sehubungan dengan itu."
Mengapa di Jerman dan Austria tambahan mengenai artikel dan esei di media underground, buku anonim tentang rejim Soeharto dan novel-novel yang tidak pernah diterbitkan (bertentangan dengan keterangan dalam edisi Indonesia bahwa Ayu Utami "jarang menulis fiksi") dirasakan perlu?
Sepertinya kesan yang ingin ditimbulkan adalah bahwa sejak dulu Ayu Utami sudah giat menulis, tetapi karena tulisan dan kegiatan lainnya terlalu "subversif", dia baru dapat menampakkan bakatnya secara terbuka setelah Orde Baru tumbang.
Mungkin keterangan-keterangan itu dirasakan perlu untuk menjustifikasi apresiasi yang diberikan padanya, antara lain pemberian penghargaan Prince Claus, yang akan terasa janggal kalau dipertimbangkan bahwa Ayu Utami saat itu baru menerbitkan satu novel saja dan namanya pun tidak dikenal secara luas sebelumnya. (Dan akan terkesan lebih janggal lagi kalau kita mengetahui bahwa terjemahan ke dalam bahasa Belanda belum selesai pada waktu Ayu Utami memenangkan Prince Claus Award, dan versi bahasa Inggrisnya pun belum ada.)
Mengapa di Indonesia sendiri tulisan-tulisan "bawah tanah" Ayu Utami itu jarang atau tidak pernah disebut? Saya tidak tahu jawabannya. Tapi saya yakin bahwa seandainya tulisan-tulisan itu disebut, pasti publik Indonesia, khususnya orang yang punya kepedulian terhadap sastra Indonesia, akan bertanya: di manakah tulisan yang begitu banyak dan beragam itu? Di media underground mana Ayu Utami menulis, di mana buku anonim tentang korupsi rejim Soeharto itu, di mana novel-novel yang ditolak penerbit itu?
Saya rasa bukan tidak mungkin bahwa tulisan-tulisan "bawah tanah" itu sengaja tidak disebut di Indonesia karena Ayu Utami tidak siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu!
Dengan latar belakang informasi tentang politik pencitraan Ayu Utami sebagai pemberontak yang subversif di atas bisa dipahami mengapa novel Saman bisa muncul di sebuah website yang menurut pandangan saya sama sekali bukan tempatnya, yaitu website amnesty international.
Buku Saman dengan keterangan singkat mengenai isinya saya temukan di website kelompok Verfolgte AutorInnen und JournalistInnen (pengarang dan wartawan yang dicekal/terancam secara politis, atau persecuted writers and jounalists dalam bahasa Inggris) yang menjadi bagian dari amnesty international Jerman. Ayu Utami sebagai pengarang yang terancam secara politis? Sebagai pengarang yang berhak dan perlu dibela amnesty international? Bukan main!
Kasus amnesty international itu menunjukkan betapa jauh pengaruh politik sastra KUK. Saya tidak tahu atas usul siapa Saman dimasukkan ke website tersebut, dan saya tidak bermaksud menuduh Ayu Utami, KUK atau penerbit Horlemann melakukan rekayasa agar Saman dimasukkan. Tapi masuknya Ayu Utami ke dalam daftar buku di halaman website amnesty international itu tentu tidak bisa dilepaskan dari politik pencitraan dirinya sebagai "disiden" dan "pemberontak" yang saya bicarakan di atas.
Dan, dengan adanya pidato Goenawan Mohamad yang saya sebut di atas, semakin nyata bahwa citra itu tidak timbul begitu saja, atau hanya diciptakan penerbit dan penerjemahnya, tapi bahwa KUK pun mendukung dan dengan aktif dan sengaja mengarahkan pencitraan Ayu Utami yang demikian rupa di luar Indonesia.
Pencitraan Ayu Utami tersebut menyebabkan terciptanya reputasi yang tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak adil bagi sastra Indonesia secara umum -- bukankah banyak pengarang Indonesia lain yang juga (atau malah lebih) layak mendapat perhatian?
Lebih jauh lagi, pencitraan itu juga menjadi bagian dari representasi Indonesia di mata orang asing yang cenderung sangat negatif. Mari kita kembali sejenak pada laporan wawancara Katrin Frigge yang sudah saya bicarakan di awal tulisan ini. Figge membuka laporannya dengan kedua kalimat:
"Ayu Utami kommt zu spaet. Eine typisch indonesische Angewohnheit -- aber wohl ihre einzige." (Ayu Utami datang terlambat. Kebiasaan yang khas Indonesia -- tapi sepertinya satu-satunya kebiasaannya yang khas Indonesia.")
Bukankah penggambaran tersebut luar biasa rasis?
* Katrin Bandel, Kritikus sastra asal Jerman
Sumber: Republika, Minggu, 30 Maret 2008
No comments:
Post a Comment