Sunday, March 16, 2008

Esai: AAC, Film Dakwah, Pesona Budaya Massa

-- Damanhuri*

NOVEL Ayat-ayat Cinta (AAC) Habiburrahman El Shirazy mungkin bisa dianggap sebagai sebuah karya yang sejak awal proses kelahirannya memang seolah telah ditunangkan dengan kesuksesan sebagai jodohnya. Barangkali mirip dengan Sungai Nil yang sejak awal telah dijodohkan dengan Mesir, begitu kata Maria Girgis kepada Fahri suatu ketika.

Angka penjualan yang fantastis tentu saja salah satu wujud "paling nyata" dari kesuksesan itu. Namun, jangan abaikan juga sederet pujian (baik dari para sastrawan maupun figur publik awam sastra) yang berjubel saling berebut tempat untuk menjelma jadi blurb dan endosemen di sampul depan-belakang novel dan bahkan di beberapa halaman pembukanya.

Bagi Ahmad Tohari, misalnya, AAC adalah "novel tentang santri salaf-metropolis dan musafir yang haus ilmu". Novel yang "berhasil menggambarkan latar sosial-budaya Timur Tengah dengan sangat hidup tanpa harus memakai istilah-istilah Arab", kata Ahmadun Yosi Herfanda. Pujian yang kian dipertebal oleh tilikan Helvy Tiana Rosa yang menabalkan AAC sebagai "novel yang tidak klise dan tak terduga pada setiap babnya."

Di seberang lain, Ratih Sang malah membubuhkan impresinya tentang AAC dengan agak berlebihan. "Membaca AAC," tulis mantan peragawati itu, 'membuat angan kita melayang ke negeri seribu menara dan merasakan "pelangi" akhlak yang menghiasi pesona-pesonanya.

Sastra Islam, Film Dakwah


Begitulah, novel AAC melenggang menjadi--meminjam judul tulisan Detti Febrina di koran ini beberapa waktu lalu--"novel fenomenal tanpa resep tunggal". Novel yang konon, kembali memparafrasekan kalimat Detti, hadir sebagai oase yang menjadi antitesis dua kutub fiksi Islam dan sastra profan. Dan, deretan madah itu, sayangnya bisa dikatakan hampir seluruhnya sonder tilikan kritis.

Ihwal fiksi Islam yang dihadap-hadapkan dengan "sastra profan", misalnya, seorang pembaca yang sempat meluangkan secelah ruang bagi kritisismenya dalam membaca (ulasan tentang) AAC tentu saja masih bisa menginterogasi tilikan Detti yang disandarkan kepada Hadi Susanto itu. Pertanyaan lain pun layak ditujukan pada pernyataan Ahmadun ihwal keprigelan Habiburrahman El Shirazy yang menurutnya menulis AAC dengan tanpa banyak memakai istilah-istilah Arab.

Padahal, siapa pun yang pernah membaca AAC rasanya rada sulit bisa mengiyakan apa yang dikatakan Ahmadun. Dengan berat hati harus saya katakan, saya sendiri malah merasa "keletihan" dan hampir saja tidak sanggup merampungkan membacanya, antara lain karena begitu meroyaknya istilah-istilah Arab (juga catatan kaki sebanyak 121 itu lo); di samping, ini yang paling krusial, pelbagai klise yang menurut Helvy Tiana justru absen dalam sekujur AAC dan menjadi salah satu keunggulan novel terlaris di Asia Tenggara itu.

Soal penilaian klise atau tidak tentu saja masih menyuguhkan ruang mahaluas untuk perdebatan. Seorang pembaca yang dengan sepenuh hati telanjur menempatkan sosok seperti Fahri--anak ndeso yang dianugerahi Tuhan wajah ganteng, berotak encer, meraih beasiswa di Universitas Al-Azhar, dikerubuti empat perempuan cantik--sebagai prototipe ideal pemuda masa kini, tentu saja tak akan pernah sudi menyematkan kata "klise" pada karakter-karakter dalam AAC. Namun, bagi pembaca lain, karakter-karakter serupa, meski tak sama persis, sebenarnya juga kerap disuguhkan dalam pelbagai tayangan sinetron kita yang tak bosan-bosannya mengejek akal sehat itu.

Namun, segala "kecerewetan" di atas boleh jadi memang tak begitu relevan dan terlalu dihiraukan saat membaca novel AAC, dan untuk sementara harus segera diinterupsi. Tentang endosemen dari "otoritas" sastra dan para tokoh publik atas suatu karya sastra, tak terkecuali AAC, yang terkesan sekadar "penglaris" dan tak bisa dipertanggung jawabkan itu, saya barangkali hanya bisa mengulangi kemasygulan yang suatu saat juga dilontarkan dengan keras oleh kritikus sastra Jakob Sumardjo saat mengomentari fenomena serupa.

Yang jelas, satu hal tak bisa ditampik: AAC adalah novel terlaris sepanjang sejarah negeri Zamrud Katulistiwa dan pada gilirannya memendarkan berkah tak tepermanai bagi pundi-pundi rupiah sang penulis, penerbit, dan semua jejaring industri perbukuan.

Dengan acuan cerita sukses penjualan novel AAC itu, hampir bisa dipastikan kesuksesan serupa juga akan segera diraup saat novel AAC diadaptasi jadi sebuah film dengan judul sama oleh Hanung Bramantyo. Setidaknya jika melihat gelegak antusiasme penonton di berbagai kota di mana film produksi MD Pictures yang disebut-sebut sang sutradara dalam blog-nya sebagai "film agama" itu diputar.

Tak keliru pula rasanya menahbiskan film AAC sebagai satu-satunya film nasional, dan untuk pertama kali dalam sejarah industri perfilman kita, yang dengan memukau mampu memesona hampir semua lapis sosial masyarakat Indonesia. Sebab, jika kesuksesan film-film lain biasanya ditopang oleh kejelian dalam membidik segmen masyarakat tertentu, AAC seakan menyangkal kelaziman tersebut. Dalam satu tarikan napas, AAC justru sukses menggoda kuriositas sekaligus keterpesonaan penonton dari lapis anak baru gede (ABG), mahasiswa, hinggga ibu-ibu anggota jemaah pengajian.

Sekadar membuktikan rasa penasaran saya atas isi sebuah resensi filmnya di salah satu koran Jakarta yang mengutip pernyataan sang Sutradara tentang keberhasilan film AAC "mengundang" ibu-ibu anggota jemaah pengajian menginjakkan kaki di berbagai gedung bioskop Jakarta, saya pun menyempatkan diri mengunjungi Malang Town Square beberapa jam sebelum memulai tulisan sederhana ini. Dan, masya Allah (kata hamba penuh dosa ini dalam hati), saya menyaksikan antrean panjang mengular di depan gedung bioskop.

Tentu saja, seperti membenarkan kata-kata Hanung Bramantyo di atas, orang-orang yang ada dalam antrean itu "tak berwajah seragam". Antrean itu seolah menampakkan satu bianglala yang mengandung pelbagai warna dan dengan spektrum yang begitu luas terbentang: para ABG dengan segala dandanan punky-nya, para mahasiswa dengan pasangannya masing-masing, dan--ini justru yang paling dominan--perempuan-perempuan berjilbab (lebar) yang di hari-hari lain hampir bisa dipastikan sulit kita jumpai di tengah antrean panjang loket sebuah gedung bioskop.

Sampai titik ini, sebagaimana saat menyaksikan sukses novel AAC, saya pun kembali tertarik mencari tahu rahasia sukses film AAC dalam menyedot jumlah penonton.

Sejak awal pemberitaan tentang rencana produksi film AAC, saya memang sudah menduga kesuksesan penjualan novelnya merupakan salah satu pertimbangan penting dalam produksi film yang digarap selama delapan belas bulan itu. Pun embel-embel "film dakwah" untuk AAC akan abu-abu pengertiannya jika dipahami sebagaimana "dakwah" dalam termanya yang konvensional--dakwah yang tak bertaut kelindan dengan soal untung-rugi. Dan belakangan, lewat tulisan bertitel Kisah di Balik Produksi Ayat-ayat Cinta yang disiarkan dalam blog-nya, Hanung Bramantyo ternyata mengiyakan kedua dugaan saya.

Tapi tentu saja bukan di situ duduk perkara sesungguhnya yang hendak disoal. Dua pertimbangan di atas sepenuhnya absah dalam proses produksi industri budaya. Sama absahnya ketika produser AAC menggandeng Din Syamsuddin sebagai penasihat dan karena itu sepenuhnya makes sense jika Ketua Umum PP Muhammadiyah itu, seperti dikutip banyak media, mengiklankan film AAC dengan penuh semangat.

Jebakan Budaya Massa?

Setelah menonton secara saksama dan dengan mengoptimalkan cita rasa estetik saya dalam mengapresiasinya, sebagaimana saya gagal menjumpai keistimewaan novel AAC, hal serupalah yang saya alami saat menonton film AAC. Bukan saja saya tak melihat "sesuatu yang beda", saya malah menemukan berbagai kejanggalan yang tidak selayaknya muncul dalam film yang cukup lama ditunggu-tunggu para calon penontonnya itu.

Buruknya kualitas sulih suara saat Fahri (Fedi Nuril) melakukan talaqqi, misalnya. Juga pilihan menggunakan beberapa dialog berbahasa Arab yang menurut saya justru hanya mengetalasekan "cacat" lain film ini. Pilihan yang semula pasti dimaksudkan untuk lebih menghidupkan nuansa Mesir yang memang merupakan latar film. Namun, karena dialog-dialog berbahasa Arab-Mesir itu hampir seluruhnya wagu, dialog-dialog itu pun akhirnya malah mubazir. Apalagi saat Maria Girgis (Carrisa Putri) membaca beberapa penggal ayat Surat Maryam.

"Kecelakaan" lain terjadi saat berlangsung dialog antara Fahri dengan seorang wartawan Amerika tentang hak-hak perempuan dalam Islam. Dalam dialog berbahasa Inggris tersebut, Fahri (mahasiswa S-2 Al Azhar) kepeleset melafalkan kata nusyuz menjadi nusyu. Kekeliruan yang diulangi dalam terjemahan teks bahasa Indonesia dialog tersebut.

Soal yang bagi sebagian orang mungkin dianggap "remeh" itu saya anggap sangat penting diungkap karena prediket yang telanjur melekat dengan AAC sebagai film dakwah. Apalagi, di balik produksi film AAC juga hadir seorang tokoh Islam yang jadi juru kemudi ormas Islam terbesar kedua di Indonesia. Dan jauh-jauh hari, film AAC pun konon sudah diputar di depan para anggota MUI.

Alhasil, di hadapan mesin gilas kapitalisme yang membonceng dalam kebudayaan massa yang menyihir siapa pun itu, sebagaimana produk kebudayaan lainnya, film AAC pun sejatinya tidak lebih dari sepotong industri kebudayaan yang pada akhirnya harus mengalami komodifikasi dan tentu saja berlebihan mengharapkannya bisa menjadi media pencerahan umat. Sebab itu, mengandaikan film ACC sebagai karya "seni yang kritis", yang akan mampu menampik proses refikasi kesadaran dan bisa memangkas akar-akar stereotip serta pandangan-dunia Manichaean dari isi kepala dan hati umat, sebenarnya merupakan sebuah pengandaian yang jauh panggang dari api.

Film AAC, hemat saya, sejatinya sekadar artefak seni modern yang berhasil memanipulasi emosi massa (dengan menampilkan sosok bak nabi yang dilumuri pebagai keberuntungan, bisa hidup lengang dari pamrih, sukses di dunia yang masai oleh segala kemungkaran, dst.) dan memanfaatkan dengan sempurna simbol-simbol wadah dari agama demi membertebal keuntungan para pemodal dalam belantara industri budaya massa. Hal yang sesungguhnya juga terjadi dalam apa yang pernah disebut-sebut Ahmadun Herfanda sebagai "kapitalisasi sistem produksi" karya fiksi Islam. Sebab, apa yang dengan khidmat kerap kita sebut sebagai sastra Islam itu, ujung-ujungnya juga harus bersimpuh di bawah telapak kaki kuasa pemiliki modal.

Sebab itu, bukan tidak sengaja saya sebut dua pihak (penerbit dan jejaring distribusi industri perbukuan) selain penulis novel ketika membicarakan kesuksesan novel AAC. Sebab, apalah artinya royalti penulis yang "hanya" 12% itu dibandingkan dengan keuntungan berlipat ganda yang direguk dua "institusi" yang disebutkan belakangan. Fakta yang anehnya sering diabaikan ketika kita membincang "kesejahteraan" sastrawan dalam jejaring ruwet produksi industri budaya (massa).

* Damanhuri, alumnus IAIN Raden Intan, mahasiswa S-2 UIN Malang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Maret 2008

No comments: