JAKARTA, KOMPAS - Walaupun tingkat apresiasi terhadap genre puisi relatif tinggi, pembaca lebih menyukai puisi liris. Dari survei yang dilakukan Balai Sastra Kecapi terhadap 100 responden mahasiswa di Jakarta, ternyata 71 responden menyukai puisi liris.
Dominasi genre puisi liris di dalam konfigurasi wacana puisi Indonesia yang lebih bersifat hegemoni, ternyata melahirkan semacam ideologi sastra tertentu yang disebut sebagai lirisisme. Hampir seluruh budaya tradisi kita sebenarnya ditopang oleh lirisisme.
Demikian benang merah yang mengemuka dalam diskusi sastra bertajuk ”Imperium Puisi Liris Indonesia” di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Rabu (19/3). Diskusi yang digelar BBJ dan Kompas bekerja sama dengan Balai Sastra Kecapi menghadirkan penyair dan akademisi Sapardi Djoko Damono, penyair Afrizal Malna, dan pengamat sastra Kris Budiman, dengan moderator sastrawan Radhar Panca Dahana.
Menurut Sapardi, puisi terbuka untuk ditafsirkan. ”Meskipun hubungan antara si penyair dan kita sebagai pembaca bisa saja ada, penyair tidak berhak mengganggu pembaca dalam upaya penafsiran itu,” ujarnya.
Sapardi menjelaskan, penyair tidak menyodorkan masalah, apalagi menggariskan amanat dan menentukan kebijakan karena ia bukan ilmuwan, wakil rakyat, pengacara, guru, atau kiai. Ia sekadar mencoba untuk mengungkapkan sumber pertanyaan; oleh karena itu setiap sajak yang ditulisnya tidak lain adalah percobaan dengan kata.
Afrizal Malna, yang berbicara tentang ”Mata Bahasa”, mengatakan, lirisisme merupakan mainstream dalam puisi Indonesia modern. Mainstream lirisime mengalami pembusukan oleh dirinya sendiri sebagai produk budaya lisan yang diturunkan lewat media tulisan.
Berkembangnya seni pertunjukan pembacaan puisi sejak tahun 70-an, memperlihatkan ketegangan yang signifikan antara media lisan dan media tulisan dalam puisi. Sebagian besar penyair yang membacakan puisinya justru seperti melakukan pembunuhan atas dimensi tulisan puisi-puisinya sendiri yang dibacanya. Aspek kelisanan mengatasi aspek tulisan,” katanya.
Afrizal menduga, banyak penyair Indonesia mengalami hal di mana mainstream puisi yang menguasai cara-caranya menulis puisi, tidak bisa lagi berjalan sama dengan perkembangan intelektualitasnya dan kenyataan yang dihadapionya. Artinya, lirisisme memang pada dirinya sendiri tidak memiliki kapasitas menghadapi realitas bahasa di sekitarnya.
Adapun Kris Budiman yang berbicara tentang ”Lirisisme dalam Tradisi Puisi Indonesia” mengatakan, di sepanjang riwayatnya yang sudah seabad ini, puisi Indonesia telah sangat diwarnai oleh puisi-puisi liris. Mulai dari generasi pionir seperti Mohammad Yamin dan Rustam Effendi, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Rendra, Gunawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, sampai dengan penyair terkini macam Zen Hae atau Mashuri.
Hasil survei
Hasil survei Balai Sastra Kecapi yang dipaparkan di forum diskusi Imperium Puisi Liris Indonesia di BBJ, mengemukakan kenyataan yang menarik. Walau puisi liris disukai pembaca, pengetahuan tentang puisi liris tidak selalu diperoleh dari pengajaran-pengajaran di sekolah formal. Kalaupun ada pengajaran puisi liris, hal ini dinilai cukup menumbuhkan minat dan kemampuan untuk mengidentifikasi puisi liris.
Pembaca yang mengandrungi puisi liris mengaku suka membacanya dari koran 50 persen dan dari majalah 77,4 persen. (NAL)
Sumber: Kompas, Sabtu, 22 Maret 2008
No comments:
Post a Comment