Sunday, March 23, 2008

Esai: Menapaki Lorong Sastra

-- Fathor Lt.*

SASTRA akan memberi hikmah bagi orang yang mencari hikmah. Sastra akan memberi hiburan bagi orang yang menginginkan hiburan. Tapi, sastra tidak akan memberikan apa-apa bagi orang yang tidak memiliki apresiasi sastra. Begitula jawaban yang diberikan penyair Madura, Zawawi Imron, ketika ia diminta Gubernur Gorontalo Ir. Fadel Muhamamad untuk menceritakan suatu--cerita rakyat--kepadanya. Adapun yang diceritakan Zawawi antara lain, kedekatan hubungan seorang sufi yang diberi julukan Bahlul yang ternyata mampu menjadi kontrol kekhalifahan Harun Al-Rasyid.

Sebagaimana Bahlul, Zawawi pun demikian. Dengan mengambil peran sastra sebagai kontrol terhadap kekuasaan, Zawawi bisa diterima oleh berbagai kalangan, tak terkecuali apakah ia pejabat tinggi negara atau masyarakat bawah. Dengan bersandar pada nilai-nilai keilahian, pandangan Zawawi tentang sastra tak jauh beda dari ajaran Plotinos (205--270) yang mendekatkan pengalaman estetik dan pengalaman relegius, menjadi satu-kesatuan tak terpisahkan, hingga dapat memunculkan kesadaran akan keesaan Tuhan, yang kemudia dikenal dengan filsafat emanasi (pengaliran).

Terlepas dari semua itu, ada hal menarik dari dua hubungan anatara Zawawi Imron sebagai sastrawan dan Ir. Fadel Muhammad sebagai gubernur. Dua sisi kehidupan yang jauh berbeda namun bisa dipertemukan, dan dua posisi yang memiliki wilayah berbeda "dalam teori negara modern--namun bisa berjalan beriringan, saling berpengertian dan saling menghormati." Yang satu hidup dalam birokrasi pemerintahan dan yang satu lagi hidup di wilayah nonformal. Tapi kedua-duanya bisa saling bertutur sapa.

Tak ada lain yang memberi alasan kenapa mereka bisa bertemu, kecuali sastralah yang menjadi jembatan bagi mereka berdua untuk berjalan bersama untuk saling mengureksi diri. Sebab dalam sastra, selain mengutamakan keindahan material (kata-kata) seperti yang digemari para penganut Epikurisme, ia juga memiliki keindahan jiwa dan kedalaman makna. Seorang penganut Plotinus, Monroe C. Beardsley mengungkapkan, beauty enthrones itself keindahan sekali-kali akan sirna, terkecuali di situ ada keindahan jiwa yang di dalamnya ada hubungan akrab dan hangat dengan sumber pemberi kehidupan (Kanisius; 1993).

Puncak Pencapaian


Untuk mencapai kesempurnaan sebuah karya seni, Aristoteles memberi pandangan tentang katarsis (pemurnian). Di mana ia mengatakan katarsis adalah puncak kesempurnaan seni, hingga makna dari karya tersebut dapat memberi bekas dalam diri penonton. Dalam perkembangannya saat ini, teori katarsis tidak hanya ditekankan pada penonton saja, akan tetapi bagaimana seorang pemeran juga dapat menjiwai sebuah karya yang akan diperankankan (totalitas). Jika dikaitkan dengan teori emanasi (pengaliran) yang merupakan filsafat plotinus seperti yang telah dijelaskan di atas, maka di disitulah katarsis dapat tercapai. Beauty enthrones itself, keindahan materi mesti berpadu dengan keindahan jiwa.

Walau teori katarsis oleh Aristoteles banyak ditujukan pada seni drama atau panggung, tidak menutup kemungkinan teori itu juga mengarah pada seni sastra. Sebab dalam drama tidak bisa mengabaikan sastra. Sebaliknya sastra akan terasa kaku jika tidak ada unsur-unsur teaterikalnya. Jadi, baik drama atau pun sastra merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Maka sah-sah saja jika ada aksioma bahwa katarsis adalah puncak kesempurnaan karya sastra. Bergantung pada sejauh manakah sastrawan melebur dalam karyanya dan sedalam apakah karyanya membekas di hati pembaca atau pendengarnya. Yang tentunya tidak sepenuhnya meletakkan kata-kata sebagai poros utama keindahan, melainkan bagaimana keagungan makna dapat memberi keindahan pada kata-kata. Kemudian bagaimana makna itu benar-benar mengakar pada diri seorang pengarangnya. Sehingga yang membaca dan yang mendengarkan ikut larut di dalamnya, tanpa diperintah ia akan membenarkan dan mengikuti makna dari kata-kata tersebut.

Seperti halnya yang terjadi pada Gubernur Gorontalo Ir. Fadel Muhamamad. Setiap kali bertemu Zawawi, ia pasti minta diceritakan sastra sufi. Termasuk di antaranya cerita seperti yang penulis jelaskan di atas. Padahal cerita tersebut mengandung kritikan tajam terhadap seorang penguasa. Tapi ketika sastra mulai bicara, seorang gubernur pun tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan ia merasa ketagihan dengan cerita-cerita tersebut.

Begitulah sekilas contah gerakan sastrawan, Zawawi Imron, sebagai agen of change dan agen of control yang merupakan perwujudan pertanggungjawaban keintelektualannya kepada sesama dan Sang Penciptanya kelak. Dengan bahasa nurani dan kejujuran, sastra senantiasa bejubahkan perdamaian dan melangkah di jalan antikekerasan. Lain halnya dengan gerakan-gerakan politik, yang selalu meninggalkan bekas luka, dendam, dan kebencian. Seperti yang saat ini melanda pada bangsa kita, di mana permusuhan antarkelompok elite politik tak henti-hentinya berdengung.

Andai saja manusia Indonesia termasuk juga para pemimpinnya mau memilih gerakan sastra sebagai gerbong untuk menuju negara yang berkedaulatan dan berkeadilan, tentunya harta dan tahta bukanlah sesuatau yang pantas dipertaruhkan. Tapi, kenyataan negara kita bukan seperti Malaysia, China, Jepang dan lain sebagainya, yang memandang sastra sebagai salah satu penentu identitas dan pendewasaan bangsa. Sehingga layaknya kitab suci, di sana sastra mendapatkan tempat yang agung. Lain di Indonesia, sastra selalu dipandang sebelah mata. Sebab itulah mencari sastra dan sastrawannya di Indonesia sangatlah mudah, ia bisa dijumpai di kolom jembatan, emperan pertokoan, gang-gang kumuh dan sebagainya. Gerakan sastra untuk mendewasakan bangsa ini selalu dipandang remih dan dikucilkan. Lantas sampai kapankah negeri ini berjalan di tengah kehampaan dan kekosongan, jika kesadaran akan pentingnya sastra masih belum juga tumbuh dan ditumbuhkan, khususnya bagi para pemimpin bangsa ini. Seperti ungkapan Zawawi, "akan melompong bagi orang yang tak memiliki apresiasi sastra".


* Fathor Lt., penyair dan cerpenis kelahiran Madura, Sumenep 22 November 1982. Saat ini tinggal di Jalan Minggiranan MJ II/1482-B Yogyakarta. Selain menjadi mahasiswa pada Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, juga bergiat pada Sanggar Kutub Yogyakarta. Berbagai tulisannya telah dipublikasikan di berbagai media massa, baik lokal atau pun nasional.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 Maret 2008

2 comments:

Airky said...

wah sy tercengang ketika melihat alamat anda karena juga kota kelahiran saya... sukses selalu....

Airky,
http://marketingbiznet.com

Airky said...

alhamdulilah .... saya tercengang ketika melihat alamat di profil anda ... karena juga kota kelahiranku . sukses selalu . .. ..