YOGYAKARTA, KOMPAS - Bangsa Indonesia perlu lebih menghargai para ilmuwan, termasuk sejarawan yang banyak berjasa bagi perkembangan bangsa. Mereka telah menyumbangkan pemikiran-pemikiran mereka untuk membangun bangsa. Buah-buah pikiran mereka bahkan masih lestari walau tokoh-tokoh tersebut sudah meninggal dunia.
Ajakan tersebut mengemuka dalam peringatan 100 hari meninggalnya sejarawan Sartono Kartodirdjo yang digelar di Gedung UC Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat (14/3). Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Akhmad Syafii Ma’arif mengungkapkan, bangsa Indonesia belum menghargai tokoh-tokoh yang sudah mengabdikan diri bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
”Saya sedih, sewaktu Pak Sartono meninggal, hanya sedikit yang datang melayat. Bangsa ini memang tidak menghargai ilmu. Coba kalau yang meninggal pejabat,” tutur Syafii. Padahal, para sejarawan banyak berperan dalam membangun peradaban. Sayang, jasa-jasa mereka seolah berlalu begitu saja.
Peluncuran buku
Dalam peringatan 100 hari meninggalnya Sartono Kartodirdjo kemarin, diluncurkan dua buku mengenai begawan sejarah Indonesia itu. Buku pertama adalah Membuka Pintu bagi Masa Depan: Biografi Sartono Kartodirdjo karya M Nursam, diterbitkan oleh Penerbit Kompas. Buku kedua, Sejarah yang Memihak: Mengenang Sartono Kartodirdjo, diedit oleh M Nursam dan diterbitkan bersama oleh Penerbit Ombak dan Rumah Budaya Tembi.
Stefanus Nindito yang mewakili keluarga Sartono Kartodirdjo mengemukakan rasa syukur dan terima kasih atas penghargaan yang diberikan dalam bentuk buku tersebut.
”Semoga buku ini mampu mendorong perkembangan ilmu sejarah selanjutnya yang lebih kritis, reflektif, pluralis, dan multiinterpretasi. Semoga sejarah tidak sekadar ilmu, tetapi dengan rendah hati juga mampu mengungkap fakta,” kata Stefanus.
Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas P Swantoro menambahkan, kedua buku yang baru saja diluncurkan itu paling tidak cukup bagi mereka yang ingin mengenal Sartono Kartodirdjo. Namun, kedua buku itu belum mampu menyelami aspek-aspek spiritualitas asketisme intelektual yang dipegang Sartono. (DYA)
Sumber: Kompas, Sabtu, 15 Maret 2008
No comments:
Post a Comment