Setiap manusia punya jodohnya masing-masing
Seperti Mesir dan Sungai Nil
ANDA yang sempat menyaksikan Ayat-Ayat Cinta di bioskop tentu masih ingat barisan kalimat sarat makna di atas. Salah satu dialog antara tokoh Fahri bin Abdullah Shiddiq (Fedy Nuril) dan Maria Girgis (Carissa Putri) itulah yang menggambarkan kedekatan kedua insan -- yang saat itu belum dipersatukan dalam ikatan pernikahan.
Namun, jika Anda telusuri novel dengan judul yang sama karya Habiburrahman El Shirazy, niscaya adegan nan romantis itu tak akan Anda temukan.
Ya, begitulah kenyataannya. Novel dan film adalah dua komoditas yang berbeda. Lantaran memang berbeda 'wujud' maka tak adil untuk membandingkan keduanya, antara film besutan Hanung Bramantyo dengan novel fiksi Islami kreasi Habiburrahman.
Saat menelusuri lembaran novel, Anda bebas mengkhayalkan setting ataupun wajah tokoh. Namun, ketika menonton versi filmnya, pembaca buku tak akan bisa bebas berimajinasi. Para pembuat film telah memilihkan 'perwajahannya' untuk Anda nikmati. Inilah kekhasan sebuah film. Ditambah lagi, cerita dalam sebuah novel --yang best seller sekalipun-- bisa mengalami adaptasi, sesuai dengan kepentingan pasar perfilman.
Pasar penikmat film dan pecinta buku sepertinya memang tak mutlak sama. Tetapi, begitu novel dijadikan film, pembaca buku sedikit banyak terdorong untuk menonton. Seperti yang dilakukan Dewi Pahalaningsih, peggandrung novel berusia 32 tahun.
Dewi mengaku amat menyukai novel Ayat-Ayat Cinta. Ibu dua anak ini membacanya dua kali. ''Begitu dikabarkan akan dibuat filmnya, saya sangat antusias menanti,'' kata head teller bank syariah di Bekasi, Jawa Barat.
Menonton versi layar lebar Ayat-Ayat Cinta, Dewi kecewa. Pasalnya, film tak dapat menggambarkan banyak hal tentang tokoh-tokoh dalam novel. ''Tokoh Fahri, contohnya, tidak bisa terasakan kharismanya. Mengapa empat gadis jatuh hati padanya, itu tak tergambarkan,'' kata Dewi.
Jalan cerita yang melompat-lompat juga diprotes Dewi. Ia tidak bisa memahami mengapa tokoh Maria bersyahadat justru setelah pernikahan, minta diajari sholat setelah berhari-hari menikah, dan tak menghapus tato salib di pergelangan tangannya meski telah menjadi mualaf. ''Tidak masuk akal,'' keluhnya.
Menghadirkan Ayat-Ayat Cinta dalam bentuk film merupakan jawaban Habiburrahman atas desakan banyak pembaca. Di samping itu, penulis yang akrab disapa Kang Abik ini punya alasan lain. ''Supaya syiar-nya lebih luas,'' katanya.
Kang Abik mengaku mengawal ketat proses penulisan skenario film Ayat-Ayat Cinta. Namun, peran itu lebih banyak dilakukannya di saat awal pembuatan film. ''Saya ingin mengawal sisi syariahnya saja,'' kata jebolan Universitas Al Azhar Kairo itu.
Alotkah perdebatan antara penulis naskah film dengan Kang Abik? Ia menjawab pertanyaan tadi dengan tertawa. ''Alot nggak alot,'' celetuk pria kelahiran Semarang, 30 September 1976.
Meski Ayat-Ayat Cinta rampung difilmkan, Kang Abik rupanya belum puas. Terlebih, film tersebut tak sepenuhnya sama dengan isi novelnya. ''Shooting-nya tidak di Mesir,'' tutur peraih Pena Award 2005 itu.
Hal lain juga mengusik Kang Abik. Terutama tentang penokohan Fahri. Di dalam novel, Fahri tergambar sebagai sosok yang amat menjaga perilaku. Sedangkan, di film, mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo itu tampak lebih cair. ''Lihat saja adegan pertemuannya dengan Maria, terlihat seperti by design, disengaja,'' katanya.
Catatan dari Novel Ca Bau Kan
Mengangkat novel ke layar lebar bukanlah hal baru, termasuk di Indonesia. Jauh sebelum jaringan bioskop sebanyak sekarang, pernah diputar film Roro Mendut, Atheis, Si Doel Anak Betawi, dan Salah Asuhan. Belakangan, ada Ca Bau Kan, Eiffel I'm In Love, Jomblo, Cintapucino, dan Mereka Bilang Saya Monyet.
Sutradara Nia Dinata menganggap novel merupakan bahan yang bisa dieksplorasi sebagai inspirasi pembuatan film. Setelah berpuluh kali membaca Ca Bau Kan karya Remy Silado, Nia pun terdorong mengangkatnya ke layar lebar. ''Visualisasinya sangat kuat, baik penokohan maupun latar belakang tempat,'' kata Nia.
Nia mengaku proses adaptasi berlangsung tak mudah. Dari sekitar 400 halaman novel, ia ringkas menjadi skrip 120 lembar. ''Yang penting, inti ceritanya tertangkap dan harus setia pada karakter tokoh,'' ujar Nia yang sibuk roadshow film Perempuan Punya Cerita.
Itu berarti tidak semua adegan bisa masuk. Ada sebagian yang dihilangkan. ''Dua puluh halaman novel berisikan perjalanan sang tokoh selama berbulan-bulan, visualisasinya paling cuma lima detik,'' ungkapnya.
Bagi Nia, mengadaptasi novel menjadi film bukanlah pekerjaan mudah. Ada kesetiaan pada visi penulis novel yang harus dijaga. Pembuat film pun dituntut untuk menuruti pakem tersebut. ''Lebih mudah membuat karya orisinal, saya lebih bebas menentukan segalanya,'' komentar Nia.
Memfilmkan Ca Bau Kan, Nia tak menganggap novel best seller sebagai jaminan kesuksesan hasil garapannya. Sebab, jumlah pembaca buku di Indonesia masih kalah banyak dibandingkan penonton film. ''Tetapi, yang sudah baca buku biasanya akan menonton versi filmnya,'' kata Nia yang pernah menggarap beberapa iklan televisi.
Menghadapi keluhan pembaca buku menyusul tidak persisnya jalan cerita pada film Ca Bau Kan, Nia adem-ayem saja. Sejak awal, ia sudah menyadari risiko itu. ''Tiap pembuat film yang mengadaptasi novel pasti sadar risiko tersebut,'' katanya. (reiny dwinanda)
Sumber: Republika, Minggu, 02 Maret 2008
No comments:
Post a Comment