Friday, October 23, 2009

[Pustakaloka] Sebuah Rekonsiliasi Batin

-- Warih Wisatsana*

TRAGEDI kemanusiaan atau peristiwa traumatis suatu bangsa, sebagaimana terjadi pada 1965/1966, tidak mudah untuk dihadapi dan disikapi secara jernih, terlebih bila upaya pengungkapan kebenaran sejarahnya masih diliputi berbagai prasangka, dihantui bayangan kecemasan, serta benturan pandangan yang seakan tak berujung. Sebagian percaya dengan melupakan dan tidak ”mengungkitnya”, segalanya akan selesai sendirinya. Sebagian lain beranggapan, justru melupakan dan mengingkari adanya tragedi malahan akan menjadi ”kotak pandora” bagi generasi penerus.

Silang sengkarut ini tecermin dalam acara peluncuran buku Lobakan di Denpasar, Bali, 23 Agustus 2009, tampil dalam bentuknya yang terkesan paradoks, yakni bagaimana menyelesaikan masa lampau sekaligus menyelamatkan masa depan.

Antologi cerpen Lobakan digagas sastrawan Putu Oka Sukanta, memuat 22 karya dari 14 pengarang berbagai latar usia, berisikan cerita seputar peristiwa traumatis di Bali pada kurun 1965/1966. Tentu saja, tujuan luhurnya adalah bagaimana kita, melalui karya sastra, dapat memetik pelajaran dari masa lalu agar kekerasan—dalam bentuk dan atas nama apa pun—tidak menimpa kembali bangsa ini. Dengan demikian, karena terkait peristiwa yang pernah terjadi, di mana sebagian penulisnya adalah korban dan saksi sejarah, cerita di dalam buku ini tidak bisa sepenuhnya dianggap realitas imajiner atau kisah fiksi semata. Dalam tataran tertentu, kisah rekaan yang dihadirkan pengarangnya boleh jadi sebagian besar tersusun dari kepingan kenyataan, remah kenangan, dan pengharapan.

Di sisi lain, bisakah kumpulan cerita pendek, terilhami sejarah penuh kekerasan, tampil tidak semata sebagai karya sastra yang mewartakan kesaksian, melainkan berperan lebih jauh menjadi sarana katarsis bagi pencipta maupun pembacanya, terutama yang mengalami langsung tragedi kemanusiaan itu? Bahkan, dalam tanya yang bernada optimistis, atau cenderung utopis, mungkinkah karya cerpen, yang hakikatnya adalah ”dunia” rekaan, kuasa mendorong lahirnya upaya rekonsiliasi yang lebih sungguh-sungguh serta menyeluruh?

Paradoks

Selain mencerminkan aneka paradoks, kehadiran dan peluncuran buku Lobakan agaknya menggambarkan pula hal yang lebih mendasar, yang kerap dinyatakan ahli sejarah sebagai le non-dit des sociétés, sesuatu yang tak dikatakan oleh masyarakat, yakni lapis-lapis kecemasan bawah sadar yang berwujud tabu-tabu, yang mungkin bagi sebagian kalangan tidak disadarinya; sebentuk lalai dan abai yang menghalangi sikap kritis untuk memahami kenyataan sebagai kenyataan.

Akibatnya, reaksi yang timbul, bila mereka bersentuhan dengan hal-hal ”tabu” tersebut, bisa berlebihan, terkadang meluap menjadi perilaku sosial komunal ataupun individual yang tak terduga. Paling kasatmata adalah penolakan sekelompok orang, atas nama keyakinan atau alasan lain, tidak menghendaki wilayahnya dijadikan lokasi shooting sebuah film yang diduga berlatarkan peristiwa ’65. Atau yang lebih memprihatinkan, adanya pembakaran buku-buku sejarah, bukan hanya oleh orang awam, melainkan juga oleh kaum terdidik tertentu. Tidakkah kenyataan itu menunjukkan betapa tragedi ini, yang selalu mengundang silang tafsir ahli sejarah, masih menyisakan persoalan; apakah itu berupa stigma-stigma tak terhapuskan atau diam-diam menjadi sesuatu yang terwariskan serta mencekam bawah sadar masyarakat.

Bagaimanakah dengan acara peluncuran buku? Seberapa jauhkah tabu-tabu atau lapisan kecemasan bawah sadar membayangi?

Dua pembicara Lobakan adalah sastrawan, tamatan dan mahasiswa Antropologi Universitas Udayana, Wayan Sunarta (35) dan Ni Made Purnamasari (20). Sunarta lebih banyak mengulas cerpen-cerpen melalui sudut pandang estetik dan stilistik. Walau di awal teksnya sempat mengurai latar kerumitan dan kengerian dari tragedi itu, tetapi belumlah mengeksplorasi lebih dalam kaitan antara capaian karya bersangkutan dan kenyataan sejarah yang menjadi acuan. Ada semacam kegamangan untuk menukik lebih mendasar sehingga karya-karya yang diulasnya seolah terlepas dari realitas getir yang coba dikisahkan para pengarangnya.

Namun, bukan berarti apa yang disampaikan Sunarta kurang berbobot, malahan ia terbilang cukup cermat menganalisis cerpen sebagai karya sastra. Kegamangan atau keengganan mempertautkan antara cerpen dan latar realitas senyatanya agaknya menunjukkan betapa masih terkungkungnya memori kolektif kita oleh ”rekayasa” sejarah atau oleh warisan kecemasan bawah sadar, di mana setiap perbincangan tentang masa lalu selalu ditafsirkan sebagai upaya menguak luka lama atau menyulut dendam kesumat berkepanjangan. Cara pandang itu, tulis Sunarta, ditegaskan lewat ungkapan orang Bali, yakni de nundun macan medem, jangan membangunkan macan tidur, bentuk kiasan agar hati-hati menceritakan tragedi itu.

Stigma

Sebagian besar penanggap, rata-rata berusia anak-anak, remaja, atau menjelang dewasa ketika tragedi itu terjadi, dibayang-bayangi hal senada. Ada yang melulu mengkritisi mutu tulisan, tampilan buku, serta kualitas kurasi, tanpa sedikit pun menyinggung para korban dan stigma traumatisnya. Beberapa seakan melakukan testimoni, bercerita panjang lebar, seolah dirinya adalah korban langsung tragedi ’65, tetapi tak menawarkan kemungkinan penyelesaiannya. Ada pula yang menyiratkan prasangka berbaur kecemasan, kenapa harus menerbitkan buku ini, seolah itu akan memicu bencana berikutnya. Sementara yang lain mencoba melampaui kerumitan dan jeratan masa lalu sambil mengingatkan kemungkinan berulangnya aksi kekerasan itu. Tersirat secara keseluruhan, yang mengemuka dari para penanggap, termasuk pengakuan pengarang—sekaligus juga saksi korban—adalah betapa latennya trauma yang mencekam ini. Hal mana menjelaskan mengapa tak ada suatu pandangan utuh yang mampu diungkap secara lebih leluasa, baik tentang Lobakan sebagai karya sastra nan subyektif maupun sebagai ”dokumen” sosial penyanding atau pembanding bagi kajian sejarah yang seharusnya obyektif, rasional, dan faktual.

Dalam konteks tirani ingatan itu, menarik dicermati bagaimana pengarang dalam Lobakan ini berupaya mengelak atau mengatasi trauma yang menghalangi keleluasaan penciptaan. Para penulis yang terdiri dari May Swan, Komang Ariani, Happy Salma, Satria Kusuma, dan lain-lain, hampir sekitar 80 persen karyanya justru bertutur dalam posisi orang ketiga di mana alur kisahan mengacu pada sosok ”ia” ataupun nama tokoh lain. Bukan hanya pengarang yang mengalami peristiwa ’65, semisal Martin Aleida, Soeprijadi Tomodihardjo, T Iskandar AS, Sunaryono Basuki, atau Oka Sukanta, generasi yang jauh dari itu, semisal Sonia Piscayanti, Fati Soewandi, dan juga Dyah Merta pun sama-sama menjadikan sang ”ia” sebagai pusat penceritaan. Tidakkah ini menunjukkan bahwa para penulisnya, disadari atau tidak, seakan enggan atau gamang menjadi ”aku” orang pertama dalam karya fiksi ini, yang boleh jadi dalam lapis kesadaran masing- masing, seolah-olah hal itu serta-merta menjadikan si aku pengarang adalah korban atau pelaku kekerasan yang sesungguhnya.

Hal sebaliknya dilakukan Fajar Arcana. Ketiga cerpennya, semisal ”Seonggok Daging Beku”, melihat tahun dan tempat penciptaannya tidaklah ditulis untuk melayani tema pesanan buku Lobakan. Tokoh-tokohnya adalah ”aku” penutur pertama, saksi sekaligus korban tragedi. Namun, itu tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa sang pengarang relatif bebas dari tirani trauma sehingga bisa bercerita lebih leluasa. Bila menelisik suasana dasar cerpen-cerpennya, penuh kekerasan dan anyir darah, Arcana jelaslah terobsesi tragedi ’65 ini dan dengan susah payah, sebagaimana pengarang lainnya, Aryantha, Martin Aleida, Oka Sukanta, dan Soeprijadi, berusaha menjaga tafsir ”obyektif” atas peristiwa ’65 guna ”menjernihkan” diri selaku pencipta ataupun warga negara.

Hakikat yang dituju oleh buku ini adalah ”penyembuhan”. Karena itu, pengarang hendaknya menempatkan peristiwa literer di seputar tragedi di dalam suatu rangkaian sebab-musabab. Nyatanya hampir sebagian besar hanya menggambarkan pengalaman individu yang tertimpa ”nasib” yang seolah ahistoris saja, cerita-cerita ngambang, yang tampil adalah ”mereka tidak bersalah”, dan yang ”salah” adalah nasib atau pelaku kekerasan, seakan tak terkait dengan ideologi serta pertarungan historis apa pun. Menyikapi sejarah, penulis, tentu juga kita, sepatutnya berupaya se-”fenomenologis” mungkin—meski mustahil tercapai secara sempurna. Moral yang sesungguhnya adalah hasil dari proses pengetahuan obyektif: kita mengerti dan serta-merta berhenti membenci dan berpihak.

Upaya tafsir ”obyektif” juga tergambar dari paparan Ni Made Purnamasari. Boleh jadi, lantaran lahir dan tumbuh jauh selepas generasi pasca-’65, ia memiliki ”jarak emosi” yang memungkinkannya menelaah tragedi tersebut secara leluasa. Walau belum didukung data yang lebih komprehensif, seolah tanpa dibayangi trauma, ia menguraikan secara runut serta sederhana, berbaurnya fakta dan fiksi di buku-buku sejarah selama ini. Namun, tidaklah berarti bahwa semua generasi sebayanya memiliki ”jarak emosi” tersebut. Itu hanya mungkin diraih bila yang bersangkutan memiliki sikap kritis yang terlatih dan kepedulian tinggi akan sejarah.

Dengan kata lain, memaknai kehadiran Lobakan ini, tak ada salahnya kita berasumsi bahwa cengkeraman trauma dari tragedi yang masif dan sistematis hanya mungkin terlampaui oleh adanya sikap kritis yang matang (untuk mereka yang terlibat) atau sikap kritis yang jernih serta terlatih bagi generasi penerus. Sikap kritis itu tak lain bermula dari adanya ”kesadaran” anak bangsa, terutama kesadaran historis, tentang pentingnya menyelesaikan masa lampau sekaligus menyelamatkan masa depan. Bila trauma sungguh telah terlampaui, sejarah negeri ini tentu akan ditulis dan dicermati dengan lebih leluasa, dengan kata atau ungkapan yang lebih bebas dari selubung tabu tertentu. Hingga tahapan ini, Lobakan bolehlah disambut sebagai sebuah tawaran rekonsiliasi batin.

* Warih Wisatsana, Sastrawan

Sumber: Kompas, Jumat, 23 Oktober 2009

No comments: