-- Wahyu Susilo
HIRUK-PIKUK pembentukan kabinet, mulai dari tahapan pemanggilan dan wawancara (istilah populernya audisi) di Cikeas, pemeriksaaan kesehatan, hingga tahap pembatalan calon, pelantikan kabinet terpilih dan penilaian masyarakat terhadap kemampuan kabinet terpilih hingga saat ini belum usai. Tentu saja, ini merupakan rutinitas lima tahunan yang tidak bisa dilewatkan, terutama bagi mereka yang menaruh perhatian pada masa depan politik ekonomi Indonesia.
Di antara hiruk pikuk tersebut, ada keprihatinan mendalam terhadap kabinet terpilih yang dinamai oleh Presiden SBY sebagai Kabinet Indonesia Bersatu II. Keprihatinan tersebut muncul dari pemakaian tiga semboyan (istilah Presiden SBY tagline) kabinet ini dalam bahasa Inggris yang ditetapkan dalam sidang kabinet yang digelar pertama kali pada tanggal 23 Oktober 2009.
Tiga semboyan itu adalah "Change and Continuity", "De-bottlenecking, Acceleration, and Enhancement" dan "Unity, Together We Can". Walau Presiden SBY kemudian menerjemahkan dan menjelaskan secara rinci semboyan tersebut dalam bahasa Indonesia, tetap harus dipertanyakan mengapa harus terlebih dahulu menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia?
Lebih memprihatinkan lagi, peristiwa ini terjadi pada bulan Oktober, yang telah ditetapkan sebagai bulan bahasa Indonesia. Penetapan ini merupakan penghormatan terhadap "Soempah Pemoeda", buah politik pergerakan kaum muda yang berhasil merumuskan identitas bangsa dalam wujud bahasa Indonesia.
Lunturnya kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi politik domestik mencerminkan watak kekuasaan yang abai pada nilai-nilai kebangsaaan dan cenderung untuk mengintegrasikan diri dalam kekuataan global yang mungkin menjadi panutan dan penopang kekuasaannya. Sebenarnya, bukan pertama kali ini, Presiden SBY dan para pembantunya terlalu banyak menggunakan bahasa Inggris dalam komunikasi politik domestik. Selain dinilai tidak menghargai bahasa Indonesia, perilaku ini juga sering menjadi bahan tertawaan karena salah penggunaan.
Salah satu contoh yang nyata adalah penggunaan istilah "one man, one tree" yang dipakai dalam iklan layanan masyarakat Departemen Kehutanan untuk Hari Menanam Nasional. Para pegiat lingkungan hidup menyesalkan istilah “one man, one tree” karena bias gender dan mengabaikan peran perempuan dan anak. “Man”, sekarang tak bisa lagi diterjemahkan sebagai orang, tetapi sebagai “laki-laki”. Dalam khazanah ilmu politik, kosakata politik klasik “one man, one vote” pun juga telah diganti dengan “one person, one vote”, untuk menghindari bias gender. Dengan demikian istilah “one man, one tree” tidak inklusif dan mengabaikan perempuan dan anak. Mengapa tidak langsung menggunakan semboyan yang lebih lugas dalam bahasa Indonesia dan tidak bias gender: "Satu orang, satu pohon!"
Menteri Keuangan Dr Sri Mulyani juga merupakan salah seorang pembantu Presiden SBY yang gemar mengumbar istilah-istilah dalam bahasa Inggris meskipun sebagian besar pendengar pidato dan wawancaranya adalah pengguna bahasa Indonesia.
Penulis pernah melakukan kajian terhadap “kesia-siaan” penggunaan bahasa Inggris dalam pidato Presiden SBY pada berbagai kegiatan kepresidenan di dalam negeri. Mengapa sebuah "kesia-siaan"? Karena sebagian besar pendengar pidato Presiden SBY adalah pengguna bahasa Indonesia. Selain itu, istilah yang disampaikan dalam bahasa Inggris, sebenarnya juga telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Dalam kajian terhadap Pidato Kenegaraan Presiden pada bulan Agustus sepanjang tahun 2006 – 2009, penulis menemukan banyak kesia-siaan penggunaan bahasa Inggris, bahkan juga menemukan kesalahan penggunaan istilah dalam bahasa Inggris. Pada pidato kenegaraan bulan Agustus 2006, terdapat kesalahan penggunaan istilah Millennium Development Index. Istilah ini tidak pernah ditemukan dalam diskusi tentang Millennium Development Goal. Kesia-siaan ditemukan ketika istilah energi alternatif berbasis nabati dan sistem peringatan dini yang sebenarnya sudah banyak dipahami masyarakat, masih tetap disertai terjemahannya dalam bahasa Inggris. Sebaliknya ada istilah asing yang disebut presiden sebagai survailance tidak diterjemahkan.
Dalam pidato kenegaraan bulan Agustus 2007 hingga Agustus 2009, makin banyak bertaburan istilah dalam bahasa Inggris, mulai dari kutipan pidato Bung Karno (Indonesia is breaking up, A nation in collapse, istilah-istilah terkait perubahan iklim dan ekonomi. Bahkan istilah growth with equity (pertumbuhan yang disertai dengan pemerataan) berulang kali disampaikan. Ini tentu terkait dengan penegasan dan pilihan strategi ekonomi pemerintahan SBY. Istilah rule of law dan good governance (bahkan ditambahkan oleh Presiden SBY menjadi good and clean governance) masih terus disebut, meskipun sudah ada padanan kata dan populer dalam percakapan bahasa Indonesia. Istilah ekonomi pro growth, pro poor dan pro job bahkan sering disebut dan menjadi mantra dalam kampanye pemilihan presiden dan pasti akan terus disebut dalam pemerintahan baru ini.
Tentu bukan sebuah kebetulan, jika istilah-istilah dalam bahasa Inggris yang bertaburan tersebut adalah istilah-istilah baku dalam model pembangunan yang diperkenalkan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional (seperti Bank Dunia/World Bank, Dana moneter Internasional/International Monetary Fund dan Bank Pembangunan Asia/Asian Development Bank) serta negara-negara maju yang selama ini menopang pembiayaan pembangunan Indonesia melalui utang luar negeri.
Keadaan tersebut di atas menjadi ironi karena pada tahun 2003 Susilo Bambang Yudhoyono (waktu itu Menteri Koordinator Politik dan Keamanan) pernah mendapat penghargaan dari Pusat Bahasa sebagai pejabat publik yang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
Keprihatinan akan makin lunturnya kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi politik domestik ini erat kaitannya dengan kekhawatiran akan masa depan bangsa Indonesia. Kajian pidato kenegaraan dan kaitannya dengan pilihan kebijakan ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa kedaulatan bangsa berada dalam ancaman, bukan hanya tercabik-cabik di ranah ekonomi, tetapi juga telah kehilangan kebanggaan atas bahasa dan kebudayaan. Ini wujud dari ketidakpercayaan diri para pemegang kuasa politik di Indonesia.
* Wahyu Susilo, Belajar bahasa dan sejarah di Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta
Sumber: Media Indonesia, Rabu, 28 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment