-- Fadly Rahman
DELAPAN puluh satu tahun silam, tepatnya pada 28 Oktober, para pemuda Indonesia bersumpah untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia.
Mereka adalah para pemuda yang gelisah akan nasib Tanah Air-nya. Kegelisahan mereka itulah rahim yang melahirkan bayi Indonesia.
Politik etis
Sebelum ikrar—yang kini dikenal sebagai Sumpah Pemuda itu—dicetuskan, tindak tanduk para pemuda awal abad ke-20 begitu menegangkan Pemerintah Hindia Belanda. Aktivitas politik para pemuda menghadapi pengawasan ketat melalui Politieke Inlichtingen Dienst (PID, semacam dinas intelijen politik Hindia Belanda). Tulisan bernapas politik hingga rapat perkumpulan pribumi mendapat sensor.
Pemerintah Hindia Belanda harus menelan ludahnya sendiri. Pasalnya, salah satu poin kebijakan politik etis pemerintah adalah mengembangkan pendidikan di tanah jajahan. Hal ini berdampak buruk bagi keamanan dan ketertiban Hindia. Para pemuda yang mengenyam pendidikan Barat, yang sebelumnya diharapkan menjadi tenaga terdidik untuk ditempatkan di kantor-kantor pemerintah, justru kian menyadari kebangsaannya dan menuntut kemerdekaan. Mereka sadar, menjadi abdi pemerintah berarti kian meneguhkan eksistensi politik kolonial.
Selain itu, embrio kebangsaan yang semula muncul dari organisasi bersifat kedaerahan, seperti Boedi Oetomo (1908) serta sederet perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa, dan Jong Batak, terkikis keinginan untuk bersatu. Mereka sadar, para agen kolonial memecah belah pribumi dengan menanamkan identitas etnik. Tujuannya, agar tidak terjadi persatuan di tanah koloni. Kesadaran pemuda ini, sebagaimana disebut filsuf Ernest Renant, merupakan hasrat hidup bersama.
Rajin membaca
Hasrat para pemuda itu dilandasi pendidikan sebagai senjata untuk menekuk kolonialisme Belanda. Ungkapan ”pengetahuan adalah kekuatan” yang disuarakan Francis Bacon nyata dinikmati para pemuda semisal Soekarno, Moh Hatta, Sutan Sjahrir, dan Moh Yamin. Penguasaan mereka terhadap bahasa asing membuat mereka rajin membaca karya-karya besar.
Sjahrir yang membaca Immanuel Kant, Karl Marx, John Stuart Mill, hingga Ortega Y Gasset membawanya pada benang merah, ”Timur makin memerlukan ilmu pengetahuan dan rasionalisme Barat, Timur tidak lagi memerlukan mistisisme dan kepasrahan yang membuatnya menderita”.
Di tangan pemuda, bekal pengetahuan dan rasionalisme Barat yang mereka pelajari itu benar-benar menjadi bumerang bagi kolonialisme Belanda di Indonesia, seperti terjadi di tanah jajahan lain (misal Gandhi di India, Jose Rizal di Filipina, dan Sun Yat Sen di China).
Tidak ada dan tidak perlu ada kekuatan fisik dan senjata. Para pemuda menyadari, aneka gerakan sosial tidak terorganisasi yang banyak terjadi pada masa-masa sebelumnya, akhirnya tumpas di tangan militer kolonial. ”Senjata” pemuda pada masanya adalah pemikiran yang lahir dari ujung-ujung pena.
Seperti diucap ”bunga akhir abad ke-19”, Kartini, melalui kumpulan surat yang dibukukan Door Duisternis tot Licht, ”banyak, segalanya dapat diambil dari diri kita, tetapi bukan pena saya. Pena tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin menggunakan senjata itu; Saya dapat menyeret dengan pena saya, jika mencelupnya dalam darah jantung saya.” Ketajaman pikiran yang dimiliki Kartini terus merambat hingga awal abad ke- 20, saat kepekaan dan kemelékan para pemuda/pemudi terhadap isu-isu politik kolonial di dalam dan luar negeri kian terasah.
Suatu saat, Hatta muda menulis esai, Hindania! Esai itu bertutur tentang seorang janda kaya bernama Hindania. Ia menyesal menikah dengan Wollandia. Suami barunya itu mengeruk habis harta Hindania. Alegori dalam esai Hatta itu membuat pemerintah gelisah dan tak mengira seorang pribumi muda mampu menulis sarkasme seperti itu.
Tak cukup dengan pena. Para pemuda mengorganisasi diri melalui berbagai perkumpulan politik, hal yang mengingatkan pada apa yang diteriakkan seorang orator terhadap Jurgis dalam penutup novel Upton Sinclair, The Jungle: ”Organize! Organize! Organize!” Hanya dengan konsolidasi politik yang terorganisasi, jalan menggapai persatuan terwujud. Bisa dibayangkan saat senjata pena anak muda Indonesia kian tajam oleh pertemuan antarpemikiran rekan sebaya.
Melalui organisasi, mereka yang semula membuka album Indonesia. Bermula saat perkumpulan Indische Vereniging (1908) dibangun para mahasiswa Indonesia di Belanda, anak-anak muda kian intens terlibat persoalan politik.
Wilayah Hindia yang pernah disebut oleh George Samuel Windsor Earl dengan Indu-nesian (1850), Indonesians oleh James Richardson Logan (1863), dan Adolf Bastian dengan Indonesien (1884), mulai dikukuhkan secara politik oleh para pemuda pada awal abad ke-20, mengganti kata Indische yang dirasa berkonotasi labelisasi buatan kolonial dengan nama: Indonesia. Maka, nama Indische Vereniging berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (1922); disusul organisasi lain seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (1926), Partai Nasional Indonesia (1928), dan Indonesia Muda (1930).
Mereka adalah para pemuda yang tercerabut dari masa-masa yang—semestinya—mengalami keingarbingaran hedonisme lazimnya jiwa-jiwa muda. Sungguh mereka ”tidak normal”. Saat anak-anak muda berdansa-dansi di societeit, mereka berjibaku dengan buku dan pena, memikirkan sebuah bangsa yang dicita-citakan, kelak. Semestinya, pemuda yang hidup masa kini, iri dengan jiwa-jiwa muda seperti itu seraya membayangkan: andai kita hidup sezaman dengan mereka.
Delapan puluh satu tahun silam, para pemuda bersumpah untuk bangsanya. Kini, bagaimana rupa kegelisahan kita memikirkan bangsa ini; atau giliran kita bersumpah untuk menjaga sumpah para pemuda itu, mereka yang telah mewariskan sebuah bangsa bernama: Indonesia.
* Fadly Rahman, Pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran
Sumber: Kompas, Rabu, 28 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment