Sunday, October 25, 2009

Di Antara Duka 235 Juta

-- Geger Riyanto

SEBAGAI anak Indonesia yang seumur jagung, saya hanya pernah mengalami empat peristiwa kepergian besar. Pagi hari 30 April 1996,dengan seragam yang melekat di kulit karena keringat, anak-anak di sepanjang Indonesia menyampaikan duka untuk Ibu Negara yang tempo hari meninggal karena serangan jantung.

Meninggalnya Siti Hartinah— yang dikenal luas dengan sebutan Ibu Tien—adalah kematian pertama. Berjalan sepuluh tahun, mantan Presiden, The Smiling General, meninggal di tengah hujan keringat para dokter yang berusaha memperpanjang kehidupannya— kehidupan yang telah menyaksikan Indonesia dari sedikitnya delapan geladak sejarah yang berbeda, Belanda hingga reformasi.

Sekujur negeri tiba-tiba kelabu, dipersatukan media massa yang menjadi halaman obituari selama seminggu penuh. Lalu, tak ada yang menyangka tawa lepas orang tua berambut gimbal itu adalah tawa yang melepas kehidupannya—Mbah Surip yang sedang berada di puncak ketenarannya berpulang.Dua hari kemudian, sang Burung Merakterbang meninggalkan negeri yang mencatat namanya sebagai pejuang.Sebuah buku sejarah yang telah ditulis selama 75 tahun akhirnya ditutup— WS Rendra pergi.

Kematian (dan) Sejarah

Sukar untuk menyikapi kematian dan duka dengan dingin,tetapi duka 235 juta manusia negeri ini jendela yang paling jelas untuk melihat di tangan siapa pena (baca: kekuasaan menulis) sejarah saat itu berbaring. Seorang kawan menuturkan, masa lalu menjadi sangat berharga karena tak dapat kembali.

Kematian lebih lagi—peristiwa kepergian tersebut begitu mencabik mereka yang ditinggalkan, orang yang mereka sayangi tak akan kembali lagi. Dan manusia adalah makhluk yang sentimentil. Karena itu, sejarah sangat mudah ditentukan pada hari ini. Kita tahu, biografi seseorang kerap ditentukan dengan bagaimana kehidupannya ditutup. Kematian bukan hanya sebuah peristiwa sejarah—kematian adalah sejarah itu sendiri.

”Skala obituari”, dalam hal ini,menunjukkan siapakah sosok yang pergi. Setahun sebelum reformasi, Lady Diana dari Wales meninggal karena kecelakaan mobil.Kediamannya segera menjadi danau bunga belasungkawa, dan pemberitaan kepergiannya pun menyeberang lautan. Beberapa hari berlalu, kepergian tersebut disusul oleh kepergian sosok dunia lainnya,Bunda Teresa dari Calcutta.

Tetapi siapa pun yang hidup di Indonesia pada masa itu tahu, kedua kepergian besar tersebut adalah peristiwa di suatu tempat yang jauh— ia terlihat kecil dipandang dari negeri ini, dipandang dari minggu kepergian Ibu Tien yang merundungi negeri tiga zona waktu ini dengan awan gelap.

Tibatiba, bandingkan dengan peristiwa kematian Michael Jackson, yang dapat saja saya tambahkan sebagai satu setelah empat kepergian besar dalam sejarah kehidupan saya. Kepergian sosok yang mengambil beberapa bab sendiri dalam buku sejarah industri hiburan begitu mengejutkan dunia,Indonesia pun tak terkecuali.

Saya membayangkan,pertama— maaf—seandainya Michael Jackson pergi dalam keadaan Indonesia sepuluh tahun yang lalu. Barangkali, kepergian tersebut juga akan kita saksikan dari jauh seperti kita menyaksikan kepergian Elvis dan John Lennon.Pena kisahkisah besar di Indonesia sepuluh tahun yang lalu masih digenggam erat-erat oleh lingkaran kekuasaan negara, di mana jarak antara negeri ini dan negara-negara lain dalam berbagai hal terasa sangat jauh.

Kendati kenyataan- kenyataan di belakang layar memperlihatkan kedekatan kepentingan negara ini dengan negara- negara lain kerap tak berjarak, hingga sepuluh tahun yang lalu negara dipertunjukkan sebagai penentu penuh peristiwa-peristiwa yang bergulir di negeri ini.

Imajinasi seolah-olah Indonesia berdiri sendiri, terpisah dari dunia, memungkinkan lingkaran penguasa negara menampilkan diri sebagai aktor yang berkuasa penuh atas negeri ini. Keadaan itu telah berubah, dunia telah merenggut kekuasaan terakhir negara ini yakni mendefinisikan kenyataan di mata warganya.

Kepergian Michael Jackson menandai bagaimana kita telah kehilangan batasan dengan dunia luar, dan pada saat yang sama kita kehilangan diri sendiri.Globalisasi disebut-sebut membuka mata kita ke dunia luar. Ironinya, kerap lupa tersebut: pada saat yang sama ia menutup mata kita dari dunia dalam.

”Naif”

Barangkali kita ingat, barangkali tak ingat, seseorang yang meninggal dalam perlakuan tak manusiawi negara yang didirikannya sendiri.Tiga hari sebelum ia meninggal dalam kesunyian, ia berjumpa dengan sahabatnya.Tak ada kata-kata, ia berbicara dengan Hatta yang memijiti lengannya hanya melalui mata yang menitikkan air mata.

Barangkali,hanya barangkali, puluhan tahun persahabatan indah mereka terkilas dalam beberapa puluh menit itu—persahabatan yang melahirkan negara yang akhirnya melupakan mereka. Sepuluh tahun kemudian,Bung Hatta pun pergi dalam kesunyian dan negara yang telah menutup telinga darinya.

Kepergiankepergian pendiri bangsa menjadi kesunyian saat dipandang dari riuhnya obituari pada hari kepergian mereka yang memegang pena sejarah.Namun,di akhir tulisan ironis ini, izinkan saya untuk memaparkan sepotong paragraf ”naif” bagi kita yang hidup di tengah dunia yang ditulis oleh segelintir orang ini.

Ketika sejarah nyaris terlupakan di kepala mereka yang menghidupinya, kepergian WS Rendra mengingatkan kita kembali tentang sejarah kepenyairan yang ditulis tidak dengan pena kekuasaan— tetapi pena darah dan raungan. Di sanalah, potongan sejarah yang otentik tersibak— melalui pemberontakan kisah-kisah getir manusia Indonesia terhadap kisah-kisah indah versi penguasa yang menutup-nutupinya. Dan sejarah yang otentik ini hanyalah kisah kecil di antara duka 235 juta manusia.(*)

* Geger Riyanto, Alumnus Sosiologi Universitas Indonesia

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 25 Oktober 2009

No comments: