-- Tjahjono Widijanto
TEKS sastra bukan saja merupakan dokumen keindahan bahasa semata, melainkan juga dokumentasi sejarah yang di dalamnya penuh dengan luka. Luka manusia, juga luka sebuah bangsa. Dalam soal luka ini, peristiwa dalam sejarah ”resmi”, oleh sastra, tak dianggap sebagai realitas tunggal yang ”benar” dan valid. Sastra mengolahnya sebagai satu hal yang harus dipertanyakan kembali.
Katakanlah dalam penokohan. Sastra kerap mengangkat tokoh yang tidak diperhitungkan sama sekali dalam ”sejarah resmi”. Atau pahlawan ditampilkan tidak sedahsyat atau seperkasa kisahnya dalam ”sejarah resmi”.
Roman Surapati karya Abdoel Moeis, Surabaya, Corat-coret di Bawah Tanah (Idrus), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), Keluarga Gerilya, Perburuan, Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer), serta Roro Mendut dan Burung-burung Manyar karya JB Mangunwijaya, misalnya, hampir semua menunjukkan sisi paradoksal antara hero dan antihero, heroisme dan ironi atau tragedi.
Tokoh Guru Isa dalam Jalan Tak Ada Ujung, tidaklah tampil sebagai tokoh gerilyawan yang super hebat seperti hero-hero yang dilukiskan dalam pelajaran sejarah. Tetapi, justru lebih menampilkan seseorang yang peragu dan penakut, bahkan harus menjadi seorang yang impoten terlebih dahulu sebelum mendapatkan keberanian.
Tragedi luka-luka kemanusiaan beriringan dengan hero dan antihero ini semakin tampil mencekam dalam novel-novel Pramoedya. Menjadi luka kemanusiaan yang masuk hingga pada ruang pribadi atau keluarga. Karena itu, dalam cerita-cerita Pramoedya dapat kita temukan sebuah kegetiran dan tragedi yang dahsyat ketika seorang anak tega memenggal kepala bapaknya yang menjadi mata- mata musuh. Dapat pula ditemukan seorang kakak yang menukar kehormatannya dengan nyawa adiknya yang tertangkap musuh.
Pada titik itu pembaca pun didesak pada situasi tragis pada makna sebuah kepahlawanan. Bahkan bisa menjadi luka. Apa pun bentuk atau estetika sastranya, satir, parodi, bahkan komedi, luka itu tetap menganga. Dalam Corat-coret di Bawah Tanah dan Surabaya, Idrus memandang dari sisi lain peristiwa pertempuran Surabaya.
Cerpen-cerpen Idrus ini mengingatkan pada naskah Don Quixote de La Mancha karya Carvantes. Melalui tokoh heronya, Don Quixote (Don Kisot), Carventes menyindir kaum bangsawan dan ksatria pada zamannya yang gemar memosisikan diri sebagai hero. Bagi Carventes (juga Idrus), hero dan heroisme tak lebih dari khayalan menggelikan dari segelintir orang yang merasa telah berbuat sesuatu yang besar yang sebenarnya hanyalah ilusi belaka dari ketakberdayaan. Heroisme tak lain adalah sebuah pelarian dari sebuah utopia.
Luka Korea
Berkaitan dengan luka bangsa ini, sastra kita tentu tak sendirian. Dalam cerpen-cerpen Korea dapat ditemukan pula kegetiran akan luka bangsa yang mencekam. Dalam cerpen Pertemuan karya Kim Tongni, dilukiskan pertemuan yang mengharukan antara tokoh Sokkyu yang mencari Kim Pong Ho, anaknya yang menjadi tentara yang berada di garis depan. Tidak ada suasana kegagahan atau kebanggaan, kecuali kegetiran dan ketakikhlasan menghadapi perang. Tak ada pahlawan dan yang ada hanyalah korban.
Demikian juga dalam cerpen Ha Geun Chan berjudul Dua Genarasi Teraniaya, luka itu ditampilkan dengan sangat menyayat dengan menggambarkan seorang bapak yang buntung lengannya akibat perang melawan Jepang menjemput anaknya yang pulang dari medan tempur dalam perang Korea. Sang bapak yang buntung lengannya harus menerima kenyataan bahwa si anak ditemuinya dalam keadaan buntung kaki.
Dalam perjalanan pulang, sang bapak sering kali harus menggendong anaknya. Cerita ini dilukiskan dengan gaya realisme, dengan tanpa risi Ha Geun Chan mendeskripsikan tubuh cacat tokoh-tokohnya.
Gaya realis ini mengingatkan pada gaya Idrus dalam cerpennya Corat-coret di Bawah Tanah yang yang tanpa ragu mendeskripsikan sebuah dahak akibat TBC, ”lendir berwarna kehijauan dengan bulatan merah di tengahnya di lantai trem kereta”.
Dalam cerpen Si Bongkok dari Seoul karya Kwan Taeung, dilukiskan juga bagaimana perang justru melahirkan tokoh-tokoh culas yang memanfaatkan perang untuk kepentingan sendiri. Hal yang mirip dengan apa yang diceritakan Mochtar Lubis dalam novelnya Senja di Jakarta.
Lenyapnya nilai lama
Luka manusia seperti di atas, tentu tidak melulu disebabkan oleh perang. Kehilangan masa lalu yang digerus oleh perkembangan zaman juga merupakan tragedi yang menyakitkan.
Dalam cerpen Korea berjudul Jalan ke Shampo karya Hwong Sok Yong dan Bung Kim di Kampung Kami karya Lee Moon Go, juga dapat disaksikan gambaran pergeseran sistem tata nilai budaya masyarakat agraris tradisional menuju sistem tata nilai industrial.
Pada akhirnya, penghadiran luka-luka manusia atau bangsa dalam sastra ini, meskipun bukan merupakan realitas faktual dan empiris, tetap saja ia menjadi fakta batin dan jiwa dari sejarah seorang manusia, sebuah bangsa. Di dalamnya dapat ditemukan upaya memahami, berkomunikasi, atau berkreasi sebuah masyarakat saat harus menyikapi pengalaman, permasalahan, dan perubahan pada masa lalu dan kini.
Dalam konteks ini, teks sastra hadir sebagai upaya manusia (atau sebuah bangsa) kembali pada nilai dasar dan universal kemanusiaannya. Sastrawan hadir, tentu bukan sebagai sejarawan, tetapi pencatat, pemikir, dan kreator, ia memiliki cara dan kemampuan tersendiri dalam menampilkan sejarah ”mental” sebuah bangsa. Dari situ, mungkin, pelajaran terpenting dari sejarah bisa kita dapatkan.
* Tjahjono Widijanto, Penyair dan Esais, Tinggal di Ngawi, Jawa Timur
Sumber: Kompas, Sabtu, 17 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment