KERINDUAN terhadap kebudayaan Batak, sebagai salah satu khazanah kekayaan budaya Indonesia yang relatif unik, tetapi jarang tampil, sedikit terobati, Rabu (14/10) malam di Erasmus Huis, Jakarta.
Fragmentasi Pulo Batu yang dipetik dari karya sastrawan dan budayawan terkemuka, Sitor Situmorang, dan dipentaskan dalam bentuk opera oleh Pusat Latihan Opera Batak (Plot) mengantarkan ratusan penonton ke suasana yang memprihatinkan.
Lebih-lebih tatkala tetabuhan taganing, kecapi hasapi, seruling sulim, dan bunyi sarunai etek tingkah-meningkah. Musik gondang songgot, yang membuka pertunjukan, seakan mempertajam keprihatinan itu.
Pulo Batu, yang disutradarai Thomson HS, berkisah tentang cucu Sisingamangaraja XII, selaku penerus dinasti Sisingamangaraja. Dalam opera itu, keberadaan Sisingamangaraja antara ada dan tiada.
Plot mementaskan opera Pulo Batu sebagai penghargaan kepada Sitor Situmorang, yang berusia 85 tahun. Etnis Batak, Sisingamangaraja, dan Sitor Situmorang, sepertinya tiga hal itu tak bisa dipisahkan.
Sisingamangaraja XII adalah Pahlawan Nasional yang menjadi kebanggaan orang Batak, bahkan kebanggaan kita semua, bangsa Indonesia.
Memperingati ulang tahun ke-85 sastrawan yang berjuluk ”Bapak Puisi Indonesia” itu, tak hanya opera Batak, tetapi juga mengetengahkan berbagai aspek penulisan Sitor dan pengaruh intelektualnya terhadap perkembangan budaya di Indonesia.
Pada sesi diskusi, dikupas soal Sitor dan pengenalannya tentang budaya Batak, sekitar peluncuran bukunya Toba Na Sae.
Menurut budayawan Radhar Panca Dahana, yang menjadi narasumber diskusi, satu kelebihan Sitor Situmorang yang sulit sekali diraih oleh penyair mana pun adalah ruang waktunya.
”Bukan karena usia panjangnya yang kita peringati kali ini, tetapi lebih pada usia kepenyairannya yang dalam pemahaman apa pun mencapai kematangan paripurna, 60 tahun. Plus lima tahun masa kreatifnya sejak ia menjadi wartawan Suara Nasional di Tarutung, 1943.
Duta Besar Belanda Nikolaos van Dam menilai Sitor sebagai bagian dari 85 tahun sejarah Indonesia. Sebuah perjalanan menakjubkan: dari masyarakat tradisional Batak ke pendidikan (Barat) dalam tatanan kolonial Belanda, dari masa penjajahan Jepang ke alam kemerdekaan Indonesia, ke kemasyhuran pada era Soekarno. (NAL)
Sumber: Kompas, Kamis, 15 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment