-- Asvi Warman Adam
KLAIM seni-budaya dan teritorial selain masalah TKI menjadikan hubungan Indonesia-Malaysia memanas dari waktu ke waktu.
Saat tertentu masalah ini mereda atau diimpit isu lain, tetapi muncul lagi pada saat lain.
Saat kasus blok Ambalat mencuat, sekelompok pemuda di Jawa Tengah mendaftarkan diri untuk diterjunkan di sana. Mereka mengira, Ambalat adalah pulau seperti Ligitan dan Sipadan. Padahal, terjun ke Ambalat berarti terjun ke laut.
Berperang dengan Malaysia diserukan seorang tokoh masyarakat di layar televisi. Jika kita bertempur dengan Malaysia, kalah atau menang tetap rugi. Kalau kalah, jelas malu karena Malaysia lebih kecil daripada kita. Kalau menang, bukan prestasi.
Mengapa kita tidak berpikir sebaliknya, menggabungkan atau mengintegrasikan Malaysia dengan Indonesia; tentu saja tidak dengan invasi atau aneksasi, tetapi secara damai. Gagasan tentang Indonesia Raya yang mencakup bekas Hindia Belanda plus Semenanjung Melayu bukanlah hal baru karena ini sudah digagas seusai Perang Dunia II oleh Ibrahim Haji Yaacob yang kemudian dikenal di Indonesia dengan nama Iskandar Kamel.
Ibrahim Haji Yaacob adalah seorang Melayu keturunan Bugis. Ia lahir 27 November 1911 di Kampung Tanjung Kertau, Temerloh, Pahang. Leluhurnya telah merantau ke Pahang awal abad ke-20. Saat bersekolah di Maktab Perguruan Sultan Idris tahun 1928-1931 di Tanjong Malim, Perak, guru-gurunya mengajarkan gerakan nasionalisme India, Mesir, Indonesia, dan Jepang. Ibrahim Yaacob membaca surat kabar yang datang dari Indonesia, seperti Persatuan Indonesia dan Fikiran Rakyat.
Tahun 1939 Ibrahim Yaacob dengan beberapa rekannya mendirikan Kesatuan Melayu Muda (KMM). Tahun 1940, pada usia 29 tahun Ibrahim menjelma sebagai nasionalis radikal yang mengagumi Soekarno. Pada 1941, dengan bantuan uang dari Konsul Jenderal Jepang di Singapura, Ibrahim membeli koran Melayu di Singapura Warta Malaya.
Ketika meletus Perang Pasifik 7 Desember 1941, Ibrahim bersama 110 anggota KMM ditangkap Inggris. Namun, saat tentara Jepang mendarat di pantai timur Semenanjung Melayu, pemuda- pemuda dari KMM menjadi pandu penunjuk jalan dan juru bahasa bagi tentara Jepang. Jepang membentuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Pulau Jawa, sedangkan di Sumatera dan Malaya dibentuk Giyugun. Ibrahim mendapat latihan enam bulan dan Juni 1944 dilantik sebagai Komandan Giyugun dengan pangkat letnan kolonel.
Peristiwa Taiping 1945
Tahun 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membicarakan tapal batas negara, apakah bekas Hindia Belanda, atau Hindia Belanda ditambah Malaya, Niauw Guinea, Borneo Utara, dan Timor Portugal. Ataukah bekas Hindia Belanda minus Niauw Guinea. Muhammad Yamin menganjurkan alternatif kedua, yakni Indonesia Raya. Soekarno setuju dan pada pemungutan suara 39 dari 62 anggota Badan itu memilih Indonesia Raya. Namun, dalam UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945, wilayah Indonesia tidak dinyatakan eksplisit.
Pada 8 Agustus 1945, delegasi Indonesia yang terdiri dari Soekarno, Hatta, dan Radjiman berangkat ke Vietnam menemui Marsekal Terauchi. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, delegasi itu mampir di Taiping Perak. Di sana mereka bertemu Ibrahim Yaacob, yang memberitahukan kepada Soekarno dan Hatta bahwa orang-orang Melayu ingin mencapai kemerdekaan bagi Malaya dalam kerangka Indonesia Raya. Dia mengusulkan agar kemerdekaan Malaya juga diumumkan akhir Agustus.
Soekarno yang duduk di samping Hatta terharu oleh semangat Ibrahim Yaacob. Dijabatnya tangan Ibrahim, lalu berujar, ”Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka dari keturunan Indonesia.” Ibrahim menjawab, ”Kami orang Melayu akan setia menciptakan ibu negeri dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka. Kami orang Melayu bertekad untuk menjadi orang Indonesia.”
Semua itu tidak pernah menjadi kenyataan. Jepang menyerah 15 Agustus 1945. PETA dan Giyugun dibubarkan Jepang. Cita-cita Indonesia Raya kandas. Tanggal 19 Agustus dengan pesawat Jepang, Ibrahim ke Jakarta bersama istrinya, Mariatun Haji Siraj, ipar Onan Haji Siraj, dan Hassan Hanan. Karena situasi di Semenanjung Melayu tidak aman, Soekarno menyarankan agar Ibrahim dan rekannya bergabung dalam perjuangan di Pulau Jawa untuk mencapai cita-cita Indonesia Raya.
Bulan November 1955, kurang lebih dua tahun sebelum Malaya merdeka, Tengku Abdul Rachman mengunjungi Jakarta atas undangan Presiden Soekarno. Secara informal Ibrahim Yaacob sempat dipertemukan dengan Tengku, tetapi pendirian mereka berlawanan. Tengku menginginkan Malaya merdeka dalam Commonwealth Inggris, sementara Ibrahim Yaacob menghendaki Malaya merdeka, bergabung di bawah Indonesia Raya. Tahun 1973 di bawah PM Tunku Abdul Razak, Ibrahim Yaacob dibolehkan berkunjung ke Malaysia.
Pada masa demokrasi terpimpin, Soekarno menunjuk Ibrahim Yaacob sebagai anggota MPRS mewakili Riau. Saat Soekarno jatuh pasca-Gerakan 30 September 1965, Ibrahim melepaskan diri dari kegiatan politik dan berkiprah dalam bidang swasta. Saat meninggal di Jakarta 8 Maret 1979, ia tercatat sebagai Direktur Utama Bank Pertiwi. Ibrahim Yaacob dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Integrasi kiranya lebih positif ketimbang konfrontasi meski bentuk/tingkat dan prosesnya perlu didiskusikan lebih lanjut.
* Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI
Sumber: Kompas, Selasa, 13 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment