Judul : 'Ular di Mangkuk Nabi'
Penulis : Triyanto Triwikromo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetak : 2009
Tebal : xii + 168 halaman
CERPEN telah jadi ruang untuk kemungkinan dan ketidakmungkinan dari realitas. Narasi sebagai strategi teks menjadi pertaruhan imajinasi dan pergulatan realitas dengan permainan tanda dan produksi makna. Cerpen pun menanggung beban dalam bentuk negasi dan afirmasi atas hasrat naratif pengarang pada pembaca sebagai subjek pencari-penemu makna. Kumpulan cerita Ular di Mangkuk Nabi anggitan Triyanto Triwikromo adalah contoh dari kehadiran pelbagai ketidakmungkinan untuk "mungkin" dalam konstruksi kata dan makna dengan tegangan-tegangan surealisme.
Pembaca bakal menghadapi menu-menu cerita dengan keliaran imajinasi sebagai bentuk subversi atas realitas. Percampuran fakta dan fiksi membuat adonan cerita rimbun oleh tanda dan cerita menjelma labirin makna. Triyanto Triwikromo seperti mengantarkan pembaca pada kamar-kamar terbuka dengan pelbagai realitas dan dekorasi. Peta cerita tidak memberi jaminan pembaca untuk selamat sampai pintu akhir atau tersesat dan sekarat dengan khidmat.
Cerpen Delirium Mangkuk Nabi merupakan contoh kelihaian pengarang dalam menghadirkan retakan dan jejaring peristiwa. Pembaca susah untuk berlari dalam cerita karena ada hambatan-hambatan tanda untuk jeda dan istirahat mengurusi tautan referensial dan kemungkinan pembebasan imajinasi. Konstruksi bahasa jadi senjata pengarang untuk memikat dan menebar sihir melalui kehadiran tokoh-tokoh ganjil dalam peristiwa-peristiwa memukau dan mirip kenakalan imajinasi hitam. Cerita mungkin luput dari genggaman karena cerpen ini sesak dengan acuan-acuan semiotik.
Sinopsis atas cerita nyaris disajikan sebagai menu lezat. Cerita-cerita Triyanto Triwikromo justru kerap mengusung lakon dari jagad kelam meski mendapati lambaran teologis. Kumpulan cerita menjelma realisasi teologi estetika tanpa rikuh dalam kebebasan tafsir atas lakon-lakon sejarah dan suci. Pengarang juga membebaskan diri dari dikotomi kaku atas karakterisasi tokoh dalam stereotip publik. Kontradiksi-kontradiksi identitas tokoh dan peristiwa memberi sihir estetis tapi kritis.
***
Cerpen-cerpen tentang salib dan penyaliban menjadi suguhan ajaib. Tafsir pengarang cenderung melampaui batas curiga pembaca terhadap kelaziman cerita. Adegan penyaliban pada Yesus ditranformasikan ke dalam adegan-adegan lain dengan pluralitas makna. Narasi penyaliban dalam cerpen Matahari Masih Dingin bisa dijadikan acuan teologis terhadap adegan penyaliban tapi lekas memencar dalam adegan penyaliban dengan keterpecahan makna asal.
Kutipan kecil ini mungkin jadi benih subversi atas kelaziman tapi masih mengusung jejak-jejak pemaknaan teologis: "Dalam dingin tak terperi itu, siapa tahu mereka bisa menatap motif tusukan-tusukan lembing sedadu serupa tato daun-daun hijau ungu di sekujur tubuh Kristus yang tertunduk pasrah menerima kehendak Allah, di salib yang tak kelihatan, di tangan yang telah kehilangan paku-pakunya, di kaki yang tak lagi menetes-neteskan darah kental."
Ketelatenan dan kekhusukkan menggarap narasi-narasi salib dan penyaliban membuktikan gairah Triyanto Triwikromo memasuki tegangan-tegangan tafsir teologis dalam pertaruhan estetika. Gairah itu telah muncul sejak lama dan terus mengalami eksplorasi tanpa henti. Pembaca bisa melacak kembali anutan estetika salib dalam buku kumpulan cerpen Sayap Anjing (2003) dan Malam Sepasang Lampion (2004). Triyanto Triwikromo menjelma pengarang dengan memanggul salib untuk mewartakan lakon-lakon hidup dalam ambang batas kemungkinan dan ketidakmungkinan.
Triyanto Triwikromo (2003 : x) mengakui: "Cerita-cerita saya juga dipenuhi idiom penyaliban Isa dan atau orang-orang yang diharuskan menerima siksaan penyaliban. Sebagai manusia yang hidup dalam pengaruh dua agama besar (nenek saya muslimah yang taat dan kedua orangtua pemeluk Kristen Protestan), saya menganggap tragik terbesar manusia adalah ketika mereka tak bisa menghindarkan diri dari kutuk sekaligus anugerah penyaliban."
***
Pengarang juga suntuk menggarap tokoh-tokoh iblis, setan, hantu, atau jin. Estetika iblis menjadi pertaruhan pewartaan realitas dalam remang dan menegangkan. Triyanto Triwikromo fasih mengonstruksi identitas iblis untuk menjadi tanda kunci dalam kehadiran cerita dan pembongkaran makna. Kehadiran tokoh-tokoh malaikat kadang jadi tandingan tapi juga kerap masuk dalam kerimbunan ambiguitas metafisika. Cerpen Malaikat Kakus pantas jadi contoh kesuraman tokoh-tokoh (malaikat dan iblis) dengan narasi gelap dan keras.
Estetika iblis dalam cerpen-cerpen Triyanto Triwikromo merupakan pergulatan panjang dengan kesadaran ada subversi atas pandangan hitam putih terhadap makhluk-makhluk Tuhan. Konstruksi tokoh dijadikan sebagai strategi untuk melesapkan sifat atau karakter dengan kritik-kritik keras atas nama manusia atau "tak manusia". Pembaca bisa membuka kembali cerpen-cerpen lama dengan tokoh dan tentang sifat-sifat iblis. Barangkali cerpen Keluarga Iblis (2004) jadi eksplisitas kegairahan Triyanto Triwikromo memasuki jagat kelam dan tema ini jarang dirambah oleh pengarang-pengarang lain.
Kumpulan cerita Ular di Mangkuk Nabi pantas jadi buku prestisius untuk prosa dalam kesusastraan Indonesia mutakhir. Triyanto Triwikromo membuktikan diri sebagai pengarang mumpuni dan tokoh penting dalam gerak pembaharuan prosa di Indonesia. Penahbisan Triyanto Triwikromo sebagai pengarang fenomenal tahun ini merupakan bentuk penghormatan terhadap pergulatan estetika dan penghadiran cerita-cerita memukau tanpa jatuh dalam sensasi dan kontroversi. Otoritas kepengarangan Triyanto Triwikromo juga menemukan legitimasi dalam pembahasan kritis oleh Goenawan Mohamad dan Budi Darma dalam buku ini. Begitu.
Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai
Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment