MUSEUM Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106, Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, tidak seperti biasanya pada Selasa (27/10). Keriuhan suara ratusan anak sekolah, memecah keheningan museum itu.
Petugas museum sibuk memberi informasi dan membimbing pengunjung. Jelang peringatan Sumpah Pemuda, tempat yang dulunya bernama Gedung Kramat 106 itu, memang ramai dikunjungi.
Mayoritas pengunjung adalah siswa SD, SMP, dan SMA se-Kota Jakarta. Selain dalam rangka program menyambut hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada Rabu (28/10), siswa yang ditemani para guru itu, datang untuk melihat dan mengenal lebih dalam mengenai sejarah lahirnya Sumpah Pemuda, para tokohnya, dan sejarah berdirinya museum tersebut.
Tidak hanya berkeliling melihat tempat pameran, siswa juga dibekali dengan pengetahuan dasar mengenai sejarah Sumpah Pemuda oleh petugas, dibantu para gurunya. SD Kenari 05, misalnya, setelah berkeliling melihat patung para tokoh dan foto saat kongres dulu, mereka diharuskan mengisi lembar pertanyaan seputar sejarah Sumpah Pemuda, seperti, ketika lahirnya Sumpah Pemuda, nama tokohnya, isi sumpah pemuda, arti Sumpah Pemuda, dan lagu yang digunakan saat Sumpah Pemuda dibacakan.
"Ini bagian dari pelajaran sejarah. Kalau di sekolah mereka hanya tahu teorinya saja, bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda ini, kami ingin anak-anak melihat dan merasakan langsung suasana Kongres Sumpah Pemuda di tempat ini," ujar Sukarni Widyaningsih, Guru Kelas 5 SD Kenari 05
Ikham Mawardha, siswa Kelas V SD Kenari 05 mengaku, senang dengan kunjungan ini. "Saya senang bisa kenal Bapak Soegondo Djojopoespita sebagai Ketua Sumpah Pemuda, ada Bapak Muhammad Yamin sebagai Sekretaris, dan lagu Sumpah Pemuda dan Indonesia Raya karya Bapak WR. Supratman," ujarnya lincah menyebut nama tokoh.
Amalia Arifin, salah satu petugas pembimbing dan informasi museum mengakui, tidak semua siswa yang berkunjung, mengenal lebih dalam mengenai Sumpah Pemuda. Sebagian besar guru pun tidak tahu kalau ada museum Sumpah Pemuda. Anak-anak sekarang lebih menyukai hal-hal yang bernuansa modern, seperti pergi ke pusat mal, bermain play station, dan internet, ketimbang mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Hiburan yang ada pun lebih banyak menceritakan sejarah dan tokoh bangsa lain, film Jepang dan Tiongkok misalnya. Akibatnya, anak pun lebih mengidolakan tokoh-tokoh luar, dibanding tokoh nasional. [SP/Dina Manafe]
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 28 Oktonber 2009
No comments:
Post a Comment