Saturday, October 10, 2009

Nobel Perdamaian yang Kontroversial

SEJUMLAH pakar dan pengamat yakin, Nobel Perdamaian tahun ini akan kembali ke pejuang hak asasi karena sejak Shirin Ebadi dari Iran yang menerima Nobel Perdamaian 2003, belum ada lagi pejuang hak asasi yang mendapatkannya. "20 tahun setelah Tiananmen? Mungkin kali ini warga Tiongkok?" tebak Dan Smith dari kelompok perdamaian International Alert yang bermarkas di London.

Sejumlah kalangan berharap pembangkang yang ditahan, Hu Jia bisa mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut pada tahun ini, tepat pada 60 tahun pemerintahan komunis Tiongkok yang dirayakan dengan parade spektakuler.

Di sisi lain, Direktur Institut Norwegia untuk Masalah Internasional Jan Egeland menominasikan Denis Mukwene, dokter yang merawat korban-korban perkosaan di Kongo. Spekulasi juga berfokus pada Perdana Menteri Zimbabwe Morgan Tsvangirai, senator Kolombia, pengacara hak asasi warga Chechnya, Lidiya Yusupova, dan aktivis perempuan dari Afghanistan. Pada tahun ini, komite Nobel menerima 205 kandidat untuk dinominasikan.

Tak heran kalau pengumuman Nobel Perdamaian untuk Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama telah mengundang keterkejutan. Ada yang memuji dan menganggap dia pantas mendapatkan itu, tetapi tidak sedikit yang menilai penghargaan itu terlalu cepat.

Memang nama Obama masuk dalam daftar kandidat, tetapi banyak yang yakin tidak ada indikasi dia menjadi calon kuat. Apalagi, ia baru duduk di kursi kepresidenan kurang dari dua pekan sebelum tenggat waktu nominasi 1 Februari.

Komite dinilai terburu-buru dalam memutuskan Obama. Kebijakan presiden kulit hitam pertama AS ini, dianggap belum memperlihatkan hasil konkret. Perang di Irak dan Afghanistan belum selesai, lagi pula ia baru memerintahkan serangan kontraterorisme di Pakistan dan Somalia. Demikian pula terkait relasi dengan Dunia Muslim maupun penghentian penyebaran senjata nuklir. Komitmennya memang teguh dan upayanya keras. Tetapi, itu semua baru awal dari langkahnya.

Mantan Presiden Polandia Lech Walesa yang menerima Nobel Perdamaian 1983, misalnya, menganggap Obama belum memberikan kontribusi nyata. "Ia baru memulai tindakannya," komentar Walesa

Simbolis

Komite Nobel mengakui, penghargaan tahun ini tidak bertumpu pada pengakuan atas pencapaian konkret, melainkan cenderung untuk mendorong prakarsa atau visi yang harus membuahkan hasil, yakni pengurangan senjata nuklir, mengurangi ketegangan antara AS dan negara-negara Islam dan memperkuat peran AS dalam memerangi pemanasan global.

"Aspek mengesankan dan penting dari Nobel Perdamaian adalah penghargaan ini juga diberikan kepada seseorang yang memiliki wewenang untuk memberikan sumbangsih bagi perdamaian," ujar Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg.

Jadi, pemberian Nobel juga ditujukan pada orang yang sangat potensial dan mendorongnya untuk mewujudkannya. Komite Nobel dikenal cenderung melakukan isyarat simbolis untuk mempengaruhi agenda dunia. Pada 1989, misalnya, ketika terjadi pembantaian gerakan prodemokrasi di Lapangan Tiananmen, pada tahun itu Nobel Perdamaian diberikan kepada Dalai Lama.

Penghargaan kali ini tampaknya menjadi tamparan keras untuk George W Bush. Komite Nobel mengirimkan sebuah kritikan tajam bagi Bush yang gemar melontarkan kalimat permusuhan dan melancarkan aksi unilateral pasca 11 September 2001.

Komite Nobel memuji Obama atas upayanya menciptakan iklim baru dalam politik internasional. Ia dianggap mengembalikan diplomasi multilateral dan institusi internasional seperti PBB ke tengah panggung dunia. Dalam pemberian hadiah, Komite Nobel telah memperluas interpretasi makna "perdamaian" yang ditetapkan. [SP/Yohanna Ririhena]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 10 Oktober 2009

No comments: